"Memangnya kenapa jika Tuhan kita berbeda? Tuhanmu dan Tuhanku yang membuat kita bertemu. Mereka bekerja sama membuatku jatuh cinta kepadamu!"
"Djiwa!" Kedua mata Kayra berkaca-kaca menatap pemuda di hadapannya. "Berhenti sampai di sini. Aku mohon berhenti sebelum kamu jatuh terlalu jauh. Cintamu yang besar, usahamu yang kuat, tidak akan membuat kita bisa bersama."
"Kenapa, Kayra? Katakan dengan jelas apa alasannya?"
"Kamu tahu alasannya ...."
"Jangan menjadikan Tuhan sebagai alasan!" Djiwa mengacak rambut tebalnya kasar. Ia mulai putus asa setelah berbulan-bulan menahan perasaan, lalu saat akhirnya cinta itu terungkap, dirinya seolah dipaksa untuk menerima fakta bahwa cintanya harus berakhir bahkan sebelum dimulai. "Sekali lagi aku katakan, Tuhan saja membuat kita bertemu. Artinya tidak ada yang salah dengan kita berdua."
"Djiwa, dengar ...." Kayra maju selangkah dan menatap lurus ke arah mata cokelat keemasan milik pemuda yang selama ini telah berhasil mengguncang pendiriannya. "Aku tidak bisa meninggalkan Tuhanku. Dan jika aku tidak menjadikan Tuhan sebagai alasan, lantas ke mana arah hidupku nanti?" ucapnya lirih.
"Aku tidak memintamu untuk meninggalkan Tuhanmu, Kay. Apa salahnya kita saling jatuh cinta dan tetap menyembah Tuhan kita masing-masing? Seperti ...." Ucapan Djiwa terjeda, ia mencoba berpikir untuk meluluhkan hati gadis bermata almond itu. "Seperti bunga melati dan mawar. Keduanya berbeda, tapi masih bisa diletakkan ke dalam vas yang sama dan tetap indah, 'kan?" lanjutnya dengan suara yang mulai melunak.
"Indah memang. Tapi hanya sebagai hiasan belaka. Lantas bagaimana setelahnya? Mereka layu dan mati tanpa arti. Melati kehilangan harumnya dan mawar kehilangan indahnya." Kayra menggigit bibir bawahnya kuat untuk menahan berisik yang memenuhi kepala. "Jika aku memaksa untuk bersama denganmu, sama saja aku mengkhianati Tuhanku, Djiwa ...."
"Bagaimana bisa ... Kayra, katakan dengan jelas. Aku tidak mengerti!" Setiap jawaban yang keluar dari mulut Kayra membuat Djiwa bertanya-tanya. Dadanya mulai sesak. Matanya memanas dan mulai basah. Ia benar-benar mencintai gadis berkerudung biru tua yang kini berdiri empat langkah di depannya.
"Aku tidak bisa hidup di dalam rumah yang menyembah dua Tuhan, Djiwa. Aku lahir sebagai seorang Muslim, aku tumbuh sebagai seorang Muslim. Dan aku ingin mati sebagai seorang Muslim. Satu rumah dengan dua Tuhan, sama dengan pengkhianatan." Kayra kembali melangkah mundur. Kemudian tertunduk dalam dan mengepalkan kedua tangan untuk menahan pilu di dada. "Jadi, Djiwa ... Maafkan aku. Tolong berhenti mengejar dan berusaha. Karena perjuanganmu tidak akan ada artinya. Kita sudah kalah sejak hari pertama. Biarkan melati dan mawar tumbuh di tempatnya masing-masing."
Djiwa mengerang kesal ketika langkah Kayra menjauh. Gadis itu meninggalkan dirinya tanpa menoleh dan tanpa jeda. Hanya menyisakan bayangan yang ada di benak Djiwa.
"Ini semua karena-Mu!" teriak Djiwa sambil menunjuk ke arah langit yang kelabu. "Kenapa Engkau mempertemukan kami? Kenapa Engkau membuatku jatuh cinta? Kenapa Engkau mempermainkan perasaanku? Kenapa?!" teriaknya lantang hingga urat-urat di lehernya tampak menonjol.
Ini adalah kali pertama Djiwa merasa Tuhan tidak memihaknya. Ia tetap tegar ketika sang ayah meninggal dunia dalam kecelakaan. Ia juga tidak mengutuk ketika sang ibu menikah lagi dan meninggalkan dirinya dan sang kakak yang kehilangan kedua kaki. Namun, kali ini ia tidak bisa menahan lagi. Segala kutukan dikeluarkan bersama dengan tangis dan teriakan pilu yang hilang digulung udara dingin.
Sementara itu, Kayra yang tak kalah patah, tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Karena sebesar apa pun rasa cintanya terhadap manusia, ia tidak ingin meninggalkan Tuhan. Air mata gadis itu mengalir sederas hujan. Kedua netranya kelam layaknya malam.
Tidak ada yang bisa Kayra lakukan selain pulang dan berlari ke pelukan sang ibu. Menangis dan mengadu.
"Bu, bagaimana bisa Allah membuatku jatuh cinta kepada seseorang yang rumah ibadahnya saja berbeda denganku?" Di pangkuan sang ibu, air mata Kayra mengalir semakin deras. "Aku mencintainya, Bu ...," rintihnya diiringi isak yang membuat sesak.
"Kayra, putriku ...." Dengan lembut Sekar mengusap kepala putri bungsunya yang baru merasakan cinta pertama itu. "jangan pernah bertanya kenapa dan bagaimana Allah merangkai takdir untukmu. Jatuh cinta adalah bentuk ujian paling berat bagi manusia. Allah sedang menguji, benarkah cintamu kepada-Nya lebih besar atau justru kalah oleh cintamu kepada manusia. Jangan mengeluh, jangan bersedih hati. Bersujud dan berdoalah agar Allah menghapuskan cinta yang akan membuatmu lupa kepada-Nya. Berdoa juga agar Allah segera mendekatkan cintamu kepada manusia yang tepat. Karena cinta yang besar saja tidak cukup untuk memulai sebuah rumah tangga. Jika kamu ingin istana yang kokoh, maka pastikan kamu membangunnya dengan pondasi yang kokoh pula."
Kayra tidak pernah mengira, bahwa ia akan jatuh cinta kepada Djiwa. Pemuda yang pernah menabraknya di depan toko roti hingga menjatuhkan kue ulang tahun yang dibeli untuk sang ibu.