Bunga Kembang Sepatu

Ratselini
Chapter #3

Chamomile

"Selamat ulang tahun, Ibu!"

Tawa bahagia menghiasi wajah Sekar saat mendapat pelukan erat dari kedua anak, menantu, dan cucu kembarnya. Bertahun-tahun ditinggalkan oleh suami, tidak sekali pun ia merasa kesepian.

Kayra yang selalu pulang ke rumah tepat waktu dan lebih memilih menemani dirinya daripada bermain. Azzam yang meskipun sudah menikah dan memiliki rumah sendiri, selalu menyempatkan datang setelah bekerja meski hanya satu jam untuk memastikan kondisi ibunya. Menantunya --Aisyah-- yang lebih senang menghabiskan akhir pekan di rumah sang mertua daripada berkeliling mall. Tidak ada alasan bagi Sekar untuk merasa kesepian.

"Bu ...." Azzam berlutut di hadapan sang ibu, kemudian meraih tangan wanita paruh baya itu lembut. "Terima kasih karena telah melahirkan aku dan Kayra. Aku selalu berdoa semoga Allah memanjangkan umur Ibu. Agar Ibu bisa melihat si kembar tumbuh dewasa. Agar Ibu bisa menyaksikan kesuksesanku. Insha Allah sebentar lagi pabrik sepatu yang aku rencanakan sejak lama akan dibuka, dan aku ingin Ibu ada di sana untuk memotong pita. Yang lebih penting, Ibu harus panjang umur untuk menyaksikan Kayra menikah. Terima kasih karena Ibu masih mendampingi kami sampai saat ini. Aku tidak akan pernah melupakan setiap perjuangan Ibu untuk membesarkan kami. Terima kasih telah menjadi Ibu yang hebat. Selamat ulang tahun, Bu."

Air mata haru membayang di kedua netra Sekar. Ditangkupkannya kedua tangan di pipi sang putra. "Terima kasih karena sudah lahir dan menjadi lelaki yang hebat. Terima kasih kamu selalu memperlakukan Ibu dengan baik dan tidak pernah lupa rumah. Ibu selalu bangga dan selalu ingin ada saat kamu merayakan apa pun. Ibu tidak pernah merasa kekurangan karena kamu, Ibu tidak pernah merasa kehilangan dan kesepian. Tetap jadi Azzam yang saleh dan takut akan Allah. Jadilah suami yang pantas untuk ditaati, jadilah ayah yang layak diteladani. Karena bagi lelaki yang sudah menikah, menjadi anak yang berbakti saja tidak cukup untuk membawamu ke Surga. Meskipun Surgamu selalu ada di kaki Ibu, tapi jika kamu zalim hingga istrimu tidak bahagia dan tidak rida, maka Allah tidak akan memberikan Surga. Cintai Ibu, tapi jangan lupa cintai istri dan anak-anakmu."

Azzam menggenggam tangan sang ibu, kemudian menciuminya berulang kali. "Insha Allah, Bu," bisiknya lirih.

"Sudah!" Kayra meraih kotak tisu dan memberikan kepada kakak dan ibunya. "Kalian selalu seperti ini," gerutunya seraya mengusap air mata yang sejak tadi mengalir deras di kedua pipi.

"Kamu!" Azzam mengarahkan telunjuk kepada Kayra dengan kedua mata menyipit tajam. "Cepat menikah. Mau sampai kapan kamu jadi anak manja yang selalu tidur di pangkuan Ibu?"

"Aku akan menikah tentu saja dan aku akan selalu tidur di pangkuan Ibu meskipun sudah menikah nanti," ucap Kayra yang mengundang tawa semua orang.

"Kay ...." Aisyah membuka suara. "Teteh punya sepupu lulusan Al Azhar Mesir. Sekarang dia bekerja di Mesir dan belum menikah."

"Teh Aish, tolong jangan ikuti Aa dan Ibu." Kayra menyatukan kedua tangan dan memasang wajah memelas. "Aku memang tidak ingin pacaran, tapi bukan berarti aku tidak ingin mengenal karakter lelaki yang akan menjadi suamiku kelak," sambungnya.

"Bu." Aisyah beralih kepada ibu mertuanya. "Sepupu Aish ini lelaki yang saleh. Insha Allah taat dan ia juga penghafal Al Qur'an. Tolong ikat Kayra dan kita nikahkan saja dia dengan paksa," katanya seraya menahan tawa.

"Aa setuju!" seru Azzam menimpali.

"Ibu ...." Seperti biasa, Kayra merengek seperti anak kecil dan mencari pembelaan di pelukan sang ibu.

Sekar tertawa pelan. Ia memang ingin melihat Kayra segera menikah. Ia bahkan sudah berdoa meminta jodoh untuk putri semata wayangnya itu sejak berusia dua puluhan. Namun, Kayra selalu memiliki sudut pandang sendiri dan tidak ada yang bisa memaksanya dengan alasan apa pun.

"Tidak masalah kapan pun Kayra mau menikah. Ibu hanya berharap, suamimu kelak adalah lelaki yang datang dengan membawa rida dari Allah, lelaki yang bisa memperbaiki saat kamu melakukan kesalahan, lelaki yang akan menutup aibmu, lelaki yang akan menjadi sebaik-baiknya rumah tempatmu berlindung. Tapi...." Sekar mengusap punggung sang putri lembut. "Jangan terlalu sering menolak. Kenali dulu lelaki yang datang dengan niat baik. Bagaimana bisa kamu menolak hanya dengan satu kali pertemuan? Percayalah, Ibu, Aa, dan Teh Aish ingin yang terbaik untukmu. Kami tidak akan memberikan kamu kepada lelaki yang salah. Kami akan selalu mengutamakan kebahagiaanmu."

Kayra tersenyum. Ia tahu bahwa sang ibu akan selalu membelanya. "Terima kasih, Bu," bisiknya.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, acara ulang tahun Sekar ditutup dengan makan bersama. Rendang daging buatan Aisyah selalu menjadi primadona. Kayra yang tidak terlalu suka makan nasi, akan mengisi piringnya dua kali lipat lebih banyak jika kakak iparnya memasak rendang.

Semua orang akan cemburu melihat keluarga kecil itu. Para tetangga seringkali membandingkan anak lelaki mereka dengan Azzam. Orang tua di komplek menjadikan Kayra sebagai tolok ukur kesuksesan untuk anak gadis mereka. Tak jarang banyak wanita sebaya Sekar yang mengeluhkan sikap menantu mereka yang tidak seperti Aisyah. Meski sebenarnya mereka lupa, bahwa untuk mendapatkan anak seperti Azzam dan Kayra, juga menantu seperti Aisyah, mereka harus menjadi ibu seperti Sekar.

Lihat selengkapnya