Setelah satu jam mengemudi di tengah gerimis yang melanda Bandung sejak beberapa hari belakangan, Kayra membelokkan mobil ke arah rumah dua lantai berpagar putih, dengan halaman luas dan hijau. Berbagai macam bunga tumbuh terawat, memanjakan mata siapa pun yang datang berkunjung. Tak jarang, lebah dan kupu-kupu tampak beterbangan di pagi hari, menambah kehidupan dan keindahan di sekelilingnya.
Kedua alis Kayra menekuk tak beraturan saat menyadari ada mobil asing yang terparkir di halaman, bersebelahan dengan mobil sang kakak. Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya kuat. Hatinya berbisik dan meyakini bahwa di dalam rumahnya saat ini ada seorang pria yang datang untuk melamar. Meski tidak pernah dipaksa untuk segera menikah, Kayra seringkali merasa terbebani oleh kehadiran para pelamar. Ia lelah dengan segala prosesnya. Ia juga lelah karena harus berpura-pura mendengarkan mereka memperkenalkan diri. Setiap kali, Kayra juga harus menyusun kalimat penolakan dengan hati-hati agar tidak menyakiti perasaan pria-pria tersebut.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa alaikumussalam." Dengan senyum lebar, Sekar berjalan menghampiri sang putri yang baru saja melangkah masuk. "Kamu sudah shalat asar?" tanyanya lembut.
"Alhamdulillah sudah, Bu." Kedua mata Kayra langsung menangkap sosok asing yang duduk di hadapan Azzam. Pria yang kepalanya menunduk sangat dalam. Dari caranya berpakaian, Kayra tahu, pemuda itu pastilah seseorang yang saleh.
"Kayra, ayo, ikut Ibu sebentar." Tangan Sekar menuntun sang putri menuju dapur. Ditutupnya pintu rapat agar apa pun yang ia ucapkan, tidak akan didengar oleh tamunya.
"Ada apa, Bu?" tanya Kayra heran. Pasalnya, raut wajah sang ibu terlalu berseri-seri, sehingga membuatnya sedikit khawatir.
"Di depan itu ada Dhuha. Sepupu Teh Aish ...."
"Ibu ...."
"Dengarkan ibu dulu," bisik Sekar lembut.
Kayra tidak menjawab. Ia menatap sang ibu dan menunggu.
Sekar meraih kedua tangan Kayra dan mengusapnya lembut. "Dhuha datang untuk meminang kamu. Tapi tolong jangan langsung ditolak. Ini adalah kali pertama Ibu merasa sangat mengagumi sosok lelaki muda yang datang ke rumah. Sikapnya sangat lembut dan sopan. Ibu sangat yakin dia adalah lelaki beriman."
"Ibu mau aku bagaimana? Karena aku tidak mau menerima begitu saja."
"Ibu tidak akan memaksa kamu untuk menerimanya. Tapi Ibu minta tolong, beri diri kamu waktu untuk mengenalnya. Dia akan menetap di Indonesia beberapa bulan. Jika setelah beberapa kali pertemuan kamu merasa tidak cocok, kamu bebas menolaknya."
"Ibu benar-benar menyukainya?" Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Kayra bisa melihat sinar cerah di kedua mata sang ibu. Yang berarti, ada sesuatu di dalam diri pria itu yang membuat ibunya tergila-gila.
"Hem ...." Kepala Sekar mengangguk cepat. "Ibu baru bicara dengannya kurang dari tiga puluh menit, dan Ibu sudah jatuh hati pada sikapnya."
Tidak ingin membuat sang ibu kecewa, Kayra akhirnya mendesah pasrah. "Baiklah, aku akan mencoba. Tapi tolong jangan terlalu berharap," bisiknya.
"Sayang, Ibu selalu berdoa yang terbaik untukmu. Apa pun keputusanmu, Ibu yakin itu adalah jawaban doa-doa yang Ibu panjatkan. Ibu tidak akan pernah kecewa pada ketetapan Allah."
Ibu dan anak itu saling menatap cukup lama. Kemudian dengan perasaan cinta yang besarnya tak terkira, mereka saling memeluk, mengalirkan hangat dan ketulusan.