"Mang!"
Kayra melemparkan kunci ke arah Anwar yang langsung menangkapnya.
"Tolong, maaf, dan terima kasih," ucap Kayra sambil terus berlari mengejar elevator yang hampir tertutup. Ia terlambat karena harus mengantarkan si kembar pulang terlebih dahulu.
Pumps heels maroon yang ia kenakan beradu dengan lantai marmer dan menimbulkan bunyi yang menarik perhatian orang-orang. Namun, Kayra tidak peduli. Ia sudah terlambat satu jam. Padahal, pagi ini ada presentase penting dengan direktur pemasaran. Entah teguran seperti apa yang akan ia terima nanti.
"Terlambat?" tanya seseorang yang sedang berdiri menatap Kayra sejak tadi.
"Ya," sahut Kayra lemas. Ketika menoleh ke arah sumber suara, Kayra tercengang melihat sosok yang satu tahun lalu menghilang tanpa pamit dari hidupnya. "Bhumi?" Kedua matanya membelalak tak percaya.
"Halo, Kayra." Pemuda pemilik mata gelap itu melayangkan senyum ke arah Kayra. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya setengah berbisik.
"Ka--kabarku baik. Kamu ...." Muncul lekukan di jembatan hidung Kayra, yang menandakan tanda tanya besar di kepalanya. "... akan kembali bekerja di sini?" tanyanya ragu.
"Ya. Ayah memintaku duduk di bagian produksi. Karena menurutnya, ada banyak hal yang harus aku awasi di sana."
"Ah ...." Kayra merasa lega karena pria itu tidak bekerja bersamanya. "Tidak masalah. Kamu hanya diminta untuk duduk, bukan?"
Mendengar gurauan Kayra, tawa Bhumi pecah hingga menggema di dalam lift yang hanya ada mereka berdua. "Aku berharap begitu," ucapnya kemudian.
Bhumi Agung Permata. Putra sulung pemilik Permata Group, yang sejak lahir masa depannya sudah dijamin cerah. Seperti emas batangan, Bhumi ditempa oleh sang ayah dan dirancang sebaik mungkin untuk menjadi penerus terbaik. Bersekolah di tempat terbaik, dikirim ke Singapura saat SMP, lalu diterbangkan ke Amerika untuk menempuh pendidikan sekolah atas. Segala fasilitas dan kemewahan seolah membalut tubuh pria itu.
Satu tahun yang lalu, kisah Bhumi dan Kayra pernah menjadi perbincangan hebat. Semua orang menyaksikan, ketika Bhumi menghiasi lobi kantor dengan ribuan tangkai bunga segar, dan berlutut mengarahkan cincin berlian mahal ke hadapan Kayra.
"Azkayra Hajaraniya Azzahra, menikahlah denganku dan jadilah Ratu di istanaku."
Wajah Kayra memerah, tak percaya bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian di tengah-tengah lobi yang disulap menjadi taman bunga. Dalam kekacauan emosi, dia merenungkan kenyataan tak terduga; dilamar oleh putra konglomerat. Namun, di tengah rasa terkejut yang teramat, terbersit ketidakpercayaan mendalam saat Bhumi melangkah maju dengan penuh keyakinan. Dalam hati, Kayra tahu bahwa lamaran itu akan ia tolak dengan tegas.
"Terima! Terima! Terima!" sorak semua orang sambil bertepuk tangan.
"Kay ...."
"Bhumi!" Kayra memotong ucapan pria itu dan menatapnya lekat. "Ikut aku," pintanya yang langsung melangkah diikuti Bhumi menuju pintu darurat.
"Ada apa?" tanya Bhumi masih dengan senyum penuh percaya diri. Sejak awal ia pikir Kayra akan menerima lamaran itu. Meski tidak ada proses pendekatan di antara mereka berdua, tapi Bhumi tahu bahwa Kayra masih sendiri.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Kedua mata Kayra bak anak panah yang siap menghujam dada pria yang perlahan kehilangan senyum di hadapannya.
"Aku ... Aku melamarmu."
"Atas dasar apa kamu melamarku di hadapan semua orang?"
"Kay, aku hanya ingin memberimu kejutan. Bukankah ini semua hal romantis yang diinginkan oleh semua gadis?"
Kayra tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Terlihat jelas dadanya naik-turun pertanda emosinya siap untuk meluap.