Sambil bersiul-siul kecil, kaki Djiwa memasuki halaman sebuah bangunan bergaya industrial yang menjulang setinggi lima lantai. Dengan jendela-jendela besar yang mengantarkan cahaya alami di setiap kamar. Terdapat sebuah kolam ikan selebar lima puluh senti yang mengalir di sekeliling bangunan, diisi ikan-ikan kecil berwarna-warni yang berenang dengan bebas.
Sudah satu bulan Djiwa tinggal di rumah kos seharga dua juta per bulan itu. Selain lokasinya yang hanya berjarak lima belas menit jalan kaki dari kantor, suasana yang tenang menjadi pertimbangan utama baginya. Meski tinggi, tapi bangunan itu hanya memiliki dua kamar di setiap lantai dengan fasilitas penuh. Ia tidak perlu keluar kamar hanya untuk mandi seperti di tempat tinggal sebelumnya. Ia juga bisa membuat teh dan kopi karena disediakan mini kitchen di setiap kamar.
Setelah bekerja sehari penuh, Djiwa ingin beristirahat dengan nyaman. Dan harga yang ia bayar sesuai dengan kualitas istirahat yang ia dapatkan.
"Djiwa ...."
Langkah Djiwa terhenti tepat di depan pagar. Sedetik sebelum tangannya membuka kunci, seorang wanita menghampiri. Meski ragu, pemuda itu tetap menoleh untuk memastikan siapa yang menyebut namanya barusan. Rahang Djiwa seketika mengeras kala melihat sosok yang dua belas tahun lalu membuangnya seperti sampah. Sosok yang ia benci, bahkan tidak ingin diingat lagi.
Djiwa tidak mengira, wanita yang melahirkan dan meninggalkan dirinya tanpa belas kasih itu berani datang ke hadapannya tanpa merasa berdosa. Dengan penampilan rapi dan terawat. Terlihat jelas kehidupan wanita itu selalu baik-baik saja.
Dada Djiwa seketika sesak. Bayangan masa kecilnya yang kejam kembali menyeruak membangunkan ingatan.
"Ibu mau ke mana?" Djiwa berlari mengejar sang ibu yang berjalan cepat menuju sebuah sedan mewah berwarna hitam, yang ada seorang lelaki berkacamata gelap di dalamnya. Pria yang menginginkan ibunya, tapi tidak sudi menerima dirinya dan sang kakak.
Sedan tersebut melaju kencang meninggalkan Djiwa yang berlari mengejar tanpa alas kaki. Tubuh kurus bocah empat belas tahun itu bahkan kalah oleh angin dan nyaris terpental.
"Ibu ...!" teriak Djiwa sekuat tenaga.
Meski tidak didengar, ia terus berlari hingga kakinya terluka karena aspal yang kasar. Kalah. Djiwa tersungkur. Ia mengaduh kala sebuah kerikil menancap di lututnya yang kurus.
"Bu, bagaimana dengan aku dan Kakak?" ucapnya lirih. Debu di wajahnya membuat air mata yang mengalir berubah gelap. Bibirnya memucat dan gemetar mengikuti irama tangis yang keluar dari mulutnya.