"Bagaimana kabarmu, Nak?"
Djiwa menepis tangan wanita itu ketika ingin menyentuhnya. "Ada urusan apa Anda ke sini?" tanya Djiwa dengan penuh kebencian. Ia bahkan tidak ingin tahu bagaimana wanita itu menemukannya.
"Ibu sedang terlilit hutang dan membutuhkan bantuanmu, Nak. Ibu ...."
"Jangan panggil aku Nak!" teriak Djiwa lantang. "Pergi dari hadapanku dan jangan pernah kembali lagi. Aku tidak peduli apa pun kesulitan yang sedang Anda hadapi."
"Djiwa, aku ini ibumu, ibu yang melahirkanmu."
"Pergi!" Kali ini Djiwa melangkah maju dan mendekatkan wajahnya ke arah wanita itu. Kedua matanya merah seolah darah di tubuhnya berpusat di sana.
"Maafkan Ibu, Djiwa. Sungguh Ibu menyesal."
"Aku sudah tidak punya Ibu. Pergilah. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Karena aku tidak peduli apa pun yang Anda lakukan. Pergilah, seperti yang Anda lakukan saat itu. Bedanya, kali ini aku tidak akan berlari mengejar. Pergi!"
Meski wanita itu berusaha meraih kakinya, Djiwa tetap melangkah masuk dan menutup pagar kuat. Beberapa penghuni kos yang sedang duduk di teras bisa mendengar keributan itu dan mereka hanya diam saat Djiwa masuk dengan mata yang sudah berembun.
Di kamarnya, Djiwa berteriak sambil mengacak-acak rambut. Semua memori pahit itu kembali hingga ia tidak bisa mengontrol emosi yang meluap bagai lahar panas.
Sambil terus meraung, ia memukul wajah dan kepalanya sendiri. Dengan begitu, ia berharap semua bayangan buruk itu akan pergi. Ia tidak peduli saat kukunya melukai beberapa bagian wajah hingga berdarah. Meninggalkan bekas yang tidak akan hilang selama beberapa hari.
Bukan ditinggalkan oleh sang ibu yang paling dibenci oleh pemuda itu. Melainkan kematian sang kakak. Saat Maya masih hidup, ia selalu bisa mengabaikan segala rasa sakit. Walaupun beberapa kali ia melihat sang ibu berjalan bersama suami barunya.
Kepergian sang kakak rupanya memicu bom waktu yang selama ini tertahan di titik 00.01 detik.
***
Tidak seperti biasa, kali ini Djiwa berjalan ke kantor dengan lemas. Ia tidak menyapa para pedagang asongan yang sedang berdiri menunggu lampu merah di pinggir jalan seperti yang selalu ia lakukan. Di tengah jalanan yang macet, pemuda itu menyusuri trotoar dengan kepala tertunduk dalam.
Rambutnya acak-acakan karena tidak disisir setelah mandi. Kemeja yang lengannya selalu terlipat rapi hingga siku, pagi ini bahkan tidak terpasang kancingnya. Djiwa benar-benar kacau.
Setelah lima belas menit berjalan, ia tiba di pintu masuk kantor. Namun, kedua kakinya seperti terpaku. Ia berdiri menatap gedung tinggi itu cukup lama. Hingga suara klakson yang kencang menyadarkannya.
Kayra, yang sudah di sana selama lima menit dibuat terheran-heran dengan kondisi Djiwa yang tidak seperti biasa. Ia hampir tidak mengenali sosok yang berdiri menghalangi jalannya.
"Ada apa dengannya?" gumam Kayra sambil menekan klakson panjang.
Alih-alih bertanya, Kayra justru melewati Djiwa begitu saja. Ia tidak ingin menimbulkan fitnah dan kesalahpahaman.