Sepuluh menit berlalu, sampai saat ini Rangga masih belum datang dan itu membuat Zeta semakin gelisah.
Rangga:
Ga, lo di mana?
Lo gak lupa sama janji lo kan?
Lo bakal datang kan, Ga?
Please, Ga. Lo di mana sekarang?
Zeta menatap layar ponselnya dengan perasaan kecewa saat semua pesan yang ia kirim meninggalkan jejak ceklis satu.
Kembali lagi cewek itu menatap ke arah jalan yang menuju ke danau, menajamkan penglihatannya kali ini. Zeta hanya bisa berharap bahwa sebentar lagi ada Rangga yang datang dari kejauhan dengan senyum yang selalu Zeta tunggu. Ia tidak pernah berharap lebih, dia akan benar-benar membuang perasaannya jika itu bisa mengembalikan Rangga. Ya, Rangga harus datang sekarang, sebagai sahabatnya.
Kemudian, Zeta menoleh ke samping kiri. Menatap ponsel yang ada di tangan Arkan yang terus menghitung mundur.
Sepuluh...
Sembilan...
Delapan...
Sial! Mengapa Zeta jadi ikut-ikutan menghitung mundur?
Zeta semakin gelisah, degupan jantungnya semakin berpacu. Perlahan Zeta menutup matanya, berusaha berpikir positif dengan terus meyakinkan dirinya bahwa Rangga pasti datang.
"Apapun yang terjadi, kita bakal tetap terus sahabatan kan, Ga?"
Kalimat yang pernah Zeta berikan pada Rangga kala itu berbisik di telinganya. Bersahut-sahutan dengan bayangan Rangga yang sedang tersenyum juga mengangguk untuk meng-iya-kan permintaannya.
Di detik berikutnya Zeta membuka mata saat sebuah tangan menepuk pundaknya. Namun, ternyata bukan Rangga yang ia lihat kali ini. Tetapi Arkan yang tengah menatap lurus ke arahnya. Tatapan mereka terkunci, dengan jarak yang cukup dekat.
"Udah lima belas menit," ujar Arkan memberitahu.
Refleks, Zeta menoleh ke arah jalanan tadi, kosong.
"Sekarang gue gak percaya kalau dia bakalan datang," sambung cowok itu sembari memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana.
Zeta berdecak, keyakinannya langsung runtuh detik itu juga. Dia sudah tahu. Tetapi apakah Arkan harus memperjelasnya dengan mengatakan kalimat itu?
Gerimis mulai turun, tangan kanan Zeta diposisikan di atas kepalanya untuk memberikan sedikit perlindungan diri dari rintik air itu. Memang tidak sakit jika terhantam oleh gerimis, tapi kan nanti basah.
"Lo tunggu di sini! Gue pergi sebentar." Zeta menoleh kala Arkan mengeluarkan kalimat itu. Belum sempat ia bertanya, namun cowok itu sudah berjalan ke arah motornya dan pergi meninggalkan Zeta sendiri, membuat kerutan di dahi Zeta terlihat jelas.
Memangnya Arkan mau ke mana?
o0o
"Sumpah ya, lo berdua ngapain di sini?"
Rafael dan Nuno menampilkan cengiran tanpa dosa saat suara Vira sudah meninggi ketika melihat mereka.
"Biasa, mau berantakin rumah lo Ra," jawab Rafael dengan enteng. Di tangan kanan cowok itu sudah ada dua keresek hitam berukuran sedang dan Vira yakin jika isinya adalah makanan.
"Kenapa lo berdua gak kasih tau gue sih, kalau mau ke sini?"
Kening Nuno berkerut, kini giliran dia yang mengeluarkan suara. "Tumben harus bilang-bilang dulu. Biasanya juga enggak."
"Ck! Mending lo berdua pulang! Gue gak terima tamu."
Namun, saat Vira hendak menutup pintu, tangan kanan Nuno dengan cepat menahan pintu kayu itu dan Rafael langsung masuk ke dalam rumah dengan santainya, disusul oleh Nuno. Hal itu membuat Vira kesal setengah mati. Dua orang ini sangat sulit untuk diusir.
"Ngaku lo! Ada yang lo sembunyiin kan dari kita berdua?" tuduh Rafael ketika Vira baru saja ingin memarahi mereka lagi. Aneh saja menurutnya jika Vira marah-marah tanpa sebab.
Vira diam sembari menatap lurus ke arah Rafael yang sibuk mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam kantong kresek yang ia bawa tadi. Sedangkan Nuno tengah meraih remote dan sibuk mencari-cari channel televisi yang ingin ia tonton.
Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah biasa Vira lihat. Ia memang sering menyuruh Rafael, Nuno, maupun Zeta untuk menemaninya di rumah apalagi saat ia sedang sendirian karena orang tuanya sedang sibuk.
Namun, melihat kedua cowok itu datang saat ini membuat Vira cukup terkejut. Yang pertama, sebentar lagi mereka pasti akan bertanya ke mana Zeta sekarang, karena mereka tahu jika Zeta kemarin menginap. Vira tidak tahu harus menjawab apa nanti, ia belum memikirkan alasan yang pas, sebab ini terlalu tiba-tiba. Dan yang kedua, astaga! Kenapa Vira bisa lupa?
Setengah berlari, Vira menaiki anak tangga menuju kamarnya dua-dua sekaligus. Terkadang, disituasi panik seperti ini ia ingin langsung menelepon Papa-nya agar dibuatkan lift supaya Vira tidak usah lari-lari seperti ini. Ah, ya! Syukurlah Rafael tidak bertanya lanjut atau menahan Vira untuk meminta jawaban dari pertanyaan tadi. Sepertinya cowok itu tengah fokus dengan makanan yang ia bawa.
Kini Vira sudah sampai di depan kamar yang pintunya sengaja di buka setengah. Di depan pintu itu tertempel stiker hello kitty yang pernah Nuno belikan untuknya saat mereka masih kelas delapan. Kala itu Vira ingin membelinya saat ada penjual mainan yang berjualan di dekat sekolahnya, tetapi uang sangunya habis. Beruntung ia sedang pulang bareng dengan Nuno saat itu, cowok itu dengan baik hati mau membelikannya. Walaupun awalnya meledek, karena Vira masih saja suka dengan kartun itu.
Langsung saja Vira masuk ke dalam kamar itu dan menghampiri cewek yang tubuhnya dibalut jaket jeans berwarna maroon, cewek itu sedang duduk di atas kasur sambil bermain handphone.
Cewek itu menoleh saat sadar ada Vira yang berdiri di dekatnya dengan napas ngos-ngosan.
"Kenapa?" tanya cewek itu pada Vira. "Siapa yang datang?" namun Vira tidak langsung menjawab karena masih fokus mengatur napas.