Tahun ajaran baru telah dimulai. Para siswa yang sudah menjalani libur mereka kini telah kembali masuk untuk melakukan kegiatan sekolah seperti biasa. Belajar, bertemu guru, membandel, ke kantin, menyambut tugas yang sebentar lagi akan menumpuk, dan hal-hal yang tidak mereka alami saat libur kini sudah berangsur seperti sebelumnya. Padahal rasanya baru kemarin mereka libur.
Arkan, Rafael, Nuno, juga Rian kini memulai semua aktivitas itu dengan sedikit berbeda. Menyesuaikan diri dari SMP ke SMA yang rasanya tidak sama, banyak perbedaan.
SMA Garuda, sekolah yang menjadi lanjutan pendidikan mereka saat ini. Sekolah yang terletak tepat di depan SMP lama mereka yang juga kebetulan satu yayasan.
Pagi ini, hari ketiga mereka untuk menjalankan kegiatan MOS dengan tujuh kelas yang sudah disiapkan untuk angkatan tahun ini. Terdiri dari empat kelas jurusan IPA juga tiga kelas jurusan IPS. Selama tiga hari, ketujuh kelas tersebut diberi nama-nama suku sebagai kelas sementara sebelum nanti diumumkan kelas tetap untuk mereka. Ada kelas Toraja, Osing, Banjar, Asmat, Jawa, Bugis, dan Dayak.
Kebetulan Arkan, Rafael, Nuno, dan Rian dipertemukan di kelas yang sama, yaitu kelas Banjar. Kegiatan yang mereka lakukan selama tiga hari ini pun cukup banyak. Mulai dari perkenalan sekolah lalu berlanjut dengan mengikuti games yang dibuat oleh para OSIS.
Ditambah lagi, mereka diwajibkan untuk membuat papan nama dari kardus dengan ukuran 20x20 senti meter. Isinya terdiri dari nama, tanggal lahir, juga asal sekolah mereka. Tak ketinggalan untuk diberi hiasan pelengkap berupa gambar yang berhubungan dengan suku dari setiap kelas. Papan nama itu nanti diberi tali rapia kemudian dijadikan kalung.
Dan yang terakhir, mereka harus mengumpulkan tanda tangan para panitia OSIS dengan cara menuruti dan melakukan dengan baik akan semua tantangan yang diberikan oleh mereka. Satu tanda tangan, satu tantangan. Kira-kira seperti itu.
"Ini kalau bukan Kakak kelas yang nyuruh, udah ogah gue turutin," keluh Rian, membuka pembicaraan. "Kalau tau gini, mending dari kemarin gue jeplak ajalah tanda tangan mereka."
"Kemarin gue minta sama.. Siapa ya? Gataulah, gue lupa nama kakaknya siapa pokoknya cewek. Intinya, kemarin, masa gue disuruh bikin pantun. Serius sih, susah banget! Mana gue gak bisa lagi bikin begituan," imbuh Nuno.
"Terus gimana? Jadi itu pantun?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah Nuno. Cowok itu sibuk memunguti sampah dengan Arkan, Rafael, dan Nuno yang juga melakukan hal yang sama.
Tantangan mereka kali ini mengumpulkan sampah yang ada di tempat sampah hingga penuh satu kresek merah, membawanya ke kakak cowok yang menyuruh mereka tadi, lalu membuangnya lagi ke tempat sampah. Cukup mudah, tapi rasanya buang-buang waktu!
"Jadilah! Orang dia nyolong pantunnya jarjit," Rafael nimbrung. "Gini nih isi pantunnya. 'Dua, tiga bunga raya.. Kamu bukan kawan saya!' terus kakaknya jawab. 'Yaiyalah! Orang kita aja gak kenal.' Terus dijawab lagi sama Nuno, 'yaudah, save-save -an yuk, Kak! Kali aja nyaman, nanti gue tinggalin."
Nuno menatap Rafael tajam, tidak terima jika ia harus difitnah seperti ini. "Mana ada! Gak kaya gitu."
Rian tertawa, sebenarnya ia juga tidak percaya dengan apa yang Rafael katakan tadi. Namun, ia sangat mendukung jika Nuno memang betul-betul mempraktekkan hal itu.
Disaat ketiganya mulai hanyut dalam obrolan receh, yang dilakukan Arkan hanya diam saja. Cowok itu memilih untuk cepat-cepat mengumpulkan sampah, ia ingin segera menyudahi kegiatan un-faedah ini.
Tak sengaja, matanya menemukan Zeta yang sedang duduk di pinggir lapangan basket bersama Vira. Senyuman tercetak di bibir Arkan.
Selama ia mengenal Zeta, kehidupannya sedikit berubah. Ia masih ingat bagaimana pertemuan pertama mereka saat Zeta membantunya di halaman belakang sekolah kala itu. Lalu berlanjut saat ia tidak sengaja menemui Zeta yang sedang menangis di bawah hujan.
Mulai masuk ke kehidupan cewek itu dengan alasan ingin menjadi temannya. Arkan mulai mengetahui tentang Zeta dari mulut ke mulut, ia jadi tahu sedikit bahwa ternyata dahulu Zeta di pandang buruk. Entah bagaimana kelanjutannya, Arkan tidak tahu, karena ia hanyalah tamu yang masuk tanpa tahu apa isi keseluruhan dari rumah itu.
Setelah kejadian di danau tiga hari yang lalu pun, Zeta masih bersikap seperti biasa. Namun Arkan sadar, ada yang berbeda dari sikap cewek itu. Karena Arkan terlanjur kepo dengan hal yang berhubungan dengan Zeta, sepertinya ia harus nekat masuk ke dalam rumah itu untuk mengetahui apa isinya.
Benar kan?
o0o
"AKHIIIIIIRNYAAAAA GUE SMA JUGAA!"
"Ra, jangan kenceng-kenceng. Lo gak malu liat kita sekarang jadi pusat perhatian?"
Vira mengatup mulutnya bersamaan dengan tangan yang ikut membekap ke mulutnya sendiri saat melihat banyak tatapan aneh mengarah padanya. Ditambah lagi, ada tiga siswi yang duduk tak jauh dari mereka sedang berbisik-bisik dengan ekor mata yang melirik ke arahnya, mungkin Kakak kelas. Vira yakin ia dijadikan topik obrolan oleh mereka.
"Bego! Bego! Bego!" Vira mengumpati dirinya sendiri membuat Zeta tertawa.
"Lagian lo juga, lebay banget tau."
Vira yang awalnya duduk di pinggir lapangan dengan Zeta langsung berdiri, tidak terima dia. Cewek itu langsung berdiri di depan Zeta untuk menghalangi pandangan Zeta agar tidak menonton permainan basket dan hanya fokus padanya.
"Awas, woi!" ujar Zeta kesal dan langsung menarik lengan Vira agar kembali duduk di sampingnya.
"Makin lama, lo banyak tingkah ya. Lo liat tuh ke arah gerbang." Vira menurut, mengikuti arah telunjuk Zeta. "SMP kita masih berdiri kokoh di seberang sana. SMP Garuda sama SMA Garuda itu cuma seberangan, gak lupa kan lo? Jadi gak usah berlagak seolah lo lagi ada di luar negeri, gak usah lebay. Biasa aja!" lanjut Zeta, jengkel.
Menurutnya sikap Vira sudah berlebihan. Toh, saat masuk SMA ini tidak terlalu banyak perubahan. Teman-teman se-angkatan mereka juga tidak banyak berubah, masih sama. Kakak kelas pun juga banyak yang Zeta kenal karena mereka alumni SMP Garuda juga.
Sedangkan Vira merotasi bola matanya, pemikirannya tidak sama seperti cewek yang duduk di sampingnya itu. Tak berselang lama, cewek itu teringat sesuatu. Ia langsung mengguncang lengan Zeta dan mengesampingkan kekesalannya tadi.
Zeta menoleh tanpa minat, lalu menyahut. "Apa?"
Vira mengeluarkan selembar kertas yang sempat ia lipat lalu memaksa Zeta untuk melihatnya. Sebenarnya Zeta malas karena ia masih sangat fokus memperhatikan Azka yang sedang bermain basket di lapangan dengan teman-temannya.
Ngomong-ngomong tentang Azka, semenjak kejadian tiga hari yang lalu, cowok itu sukses mendiamkan Zeta. Azka memang tetap peduli, ia masih mengabulkan semua permintaan yang Zeta mau. Hanya saja, biasanya Azka selalu berdebat jika Zeta meminta hal-hal aneh. Namun kali ini, cowok itu langsung menurut tanpa pikir dua kali. Tidak banyak ngomong juga.
Contohnya tadi malam, Zeta meminta Azka untuk membelikannya sate yang biasanya mangkal di dekat rumah lama mereka. Sebenarnya ia iseng karena tidak punya cara lagi untuk mendengar omelan Azka. Jarak dari kontrakan ke rumah lama mereka itu cukup jauh, sekitar lima kilo meter. Jika biasanya Azka menolak karena mager dan alasan-alasan lainnya, tetapi saat itu tidak. Azka langsung mengabulkannya.
Ditambah tadi pagi saat Zeta berniat ingin membuatkan nasi goreng untuk sarapan mereka, ia gagal. Karena Azka sudah menyiapkan semuanya, bahkan sebelum Zeta bangun. Rasanya selama orang tua mereka tidak ada di rumah, semua pekerjaan rumah Azka lakukan tanpa menyuruh Zeta seperti biasanya. Kecuali, jika Zeta yang memintanya maka Azka akan memberikan pekerjaan itu lalu ia mengerjakan pekerjaan yang lain.
Saat berangkat sekolah juga, sepanjang perjalanan mereka hanya bungkam. Azka tidak memberikan tebak-tebakan receh lagi dan Zeta bingung bagaimana caranya untuk membuka obrolan terlebih dahulu.
"Apa ini?" tanya Zeta pura-pura penasaran saat Vira menunjukkan selembar kertas tepat di depan wajahnya.
"Baca dong," suruh Vira, membuat Zeta akhirnya meraih kertas itu lalu membacanya.
Isinya nama-nama cowok yang tidak Zeta kenal, ada sekitar lima belas. Rasanya bertambah malas saja, namun tanpa perintah matanya mulai fokus saat membaca tulisan nama di nomor 4. Berkedip dua kali, Zeta makin bingung.
"Kok ada nama Abang gue di sini?" Zeta merasa ganjil. "Serius, ini apaan maksudnya? Dia punya utang sama lo?"
Vira menggeleng, netranya fokus melihat Azka yang sedang men- dribbel bola dengan keringat yang menumpuk di sekitar dahi hingga lehernya. Ditambah dengan banyaknya suara bising dari beberapa siswi yang juga ikut menonton, mulai dari siswi baru kelas sepuluh seperti dirinya hingga Kakak kelas yang rela berpanas-panasan di pinggir lapangan, hanya ditemani dengan robekan kardus yang mereka jadikan kipas demi menyemangati Azka. Vira tidak menyangka jika pengaruh Azka di sekolah ini seperti itu. Tetapi jika dilihat-lihat, memang benar sih. Bukannya lebay, namun Azka itu memang ganteng pake banget!
"Bukan."
"Lah? Terus ini buat apa?"
"Jadi gini ya, Ta." Vira memperbaiki duduknya untuk menghadap Zeta. "Itu semua bukan gue yang nulis, tapi Dara."
Zeta merespon dengan mulut berbentuk O. Dara, salah satu teman baru mereka yang kebetulan satu kelas selama tiga hari ini. Selain anaknya asik dan mudah bergaul, Ia juga teman dekat Kanya, sehingga tidak terlalu sulit bagi Zeta untuk menyesuaikan diri.
"Ini itu list nama-nama kakak cogan di sekolah ini. Kemari nih, waktu gue sama Dara pergi ke kantin, gue liat banyak banget cowok ganteng. Alumni SMP Rajawali katanya."
Vira mulai banyak berceloteh sehingga Zeta mau tak mau harus mendengarkannya. Kata Kanya, Dara itu banyak mantannya. Sepertinya cewek itu kini sedang mencari mangsa dan Vira mulai terhasut olehnya untuk ikut terjerumus.
"Terus itu, Abang lo kan salah satu cowok terpopuler di SMA ini. Lo bayangin deh kalau gue bisa pacaran sama dia, pasti gue bakalan terkenal." Vira tertawa dengan idenya sendiri membuat Zeta geleng-geleng. "Jadi lo wajib banget buat bantuin gue!"
"Tapi gue gak mau kalau harus punya Kakak ipar kaya lo!" balas Zeta sarkas.
Vira manyun. "Gak asik ah!"
"Widih bahas apa nih? Ikutan dong."
Tiba-tiba Dara datang mengalihkan atensi mereka. Cewek itu berjalan dengan Kanya di sebelahnya, lalu ia mengambil duduk di samping kiri Vira, dan Kanya menyusul untuk duduk di sebelah kanan Zeta.
"Minum, Ta," tawar Kanya setelah itu pada Zeta dengan menyodorkan sebotol air mineral.
Zeta tersenyum dan menggeleng. "Enggak, makasih."
Kanya balas tersenyum dan mengangguk. "Oiya, lo udah dapat berapa tanda tangan?"
"Baru lima sih."