"Culas ah! Masa lo gak pernah cerita sih kalau punya adik cewek," ujar Angkasa kesal. Bukan apa, masalahnya selama setahun mereka berteman Azka tidak pernah mengatakan jika ia memiliki seorang adik--Zeta pula. Jika tahu begitu, Angkasa pasti akan mengenal Zeta dari dulu, ya hitung-hitung menambah koleksi cewek.
Berbeda dengan Angkasa, Bagas malah tersenyum. Cowok itu mengangkat kedua belah tangan seperti sedang berdoa lalu menengadahkan wajahnya menatap langit. "Ya Allah, terima kasih telah mengabulkan doa hambamu ini." Masih tersenyum, ia menoleh ke arah Azka, "gak sia-sia gue rajin doa selama ini. Berarti, gue boleh dong deketin adek lo?"
"Enak aja! Gak boleh!" tolak Angkasa. "Dia jatah gue," ujar Angkasa melanjutkan.
Azka menatap Angkasa dengan tatapan tajam, membuat cowok itu nyengir.
"Gak jadi deh, gak jadi. Pawangnya galak."
"Jatah lo, jatah lo. Semua cewek lo bilang jatah lo. Gue heran, sebenarnya waktu itu tulang rusuk lo hilang berapa sih?" ujar Bagas.
Angkasa mencibir, jika saja tadi ia tidak di pelototi oleh Azka, sudah dipastikan ia akan memiting kepala Bagas detik ini juga.
Sementara Senja sejak tadi hanya diam, membuat Azka sedari tadi terus memperhatikan cewek itu. Kini mereka berempat sedang berdiri di sisi pohon besar yang ada di pinggir lapangan, memperhatikan Zeta juga Arkan yang sedang duduk berdua di bangku panjang tempat Zeta menonton Azka bermain basket tadi.
Sebenarnya, ketiga temannya itu sudah memaksa Azka untuk menghampiri Zeta, mungkin memeriksa keadaan Zeta lebih dekat itu lebih baik. Mereka tahu, sebagai seorang Kakak, Azka sudah pasti sangat khawatir. Namun, sejak tadi juga Azka selalu menolak. Hingga berakhir mereka kini berdiri di sini, tanpa Zeta ketahui.
"Lo kenapa?" tanya Azka akhirnya pada Senja. Hal itu membuat Angkasa dan Bagas yang sejak tadi sibuk berdebat langsung diam. Selama delapan detik, hening berhasil menguasai mereka berempat.
"Gue kayak pernah liat itu cowok," ujar Senja memecah keheningan itu. Ketiga cowok di sampingnya langsung melempar pandangan ke arah Arkan yang sedang mengobrol dengan Zeta.
"Yakin lo?" tanya Bagas.
Senja mengangguk. Kini ia kembali diam, berusaha membongkar semua ingatan hanya untuk memastikan ucapannya, membuat ketiga temannya menunggu. Sepertinya Senja baru sekali melihat Arkan, terbukti dengan dirinya yang benar-benar lupa sekarang.
"Ah, iya! Gue inget." Senja menepuk-nepuk bahu Azka cukup keras, bahagia karena ia berhasil menemukan memori itu.
"Inget sih, inget. Tapi ya gak usah mukulin gue juga kali," kata Azka. Senja nyengir.
"Lo inget gak, Ka. Gue pernah cerita kan kalau ada cowok yang dateng nyariin kontrakan lo karena mau ketemu Zeta? Yang malam-malam itu loh."
Azka mengangguk, ia benar-benar tidak ingat jika Senja tidak mengingatkannya. Padahal, ia ingin bertanya pada Zeta secara langsung mengenai ini, namun belum juga hingga sekarang. Maklum, lupa.
"Nah, itu tuh cowoknya."
Azka terdiam sebentar. "Lo yakin?"
"Yakin banget!"
Kini Azka meneguk ludah. Angkasa yang berdiri terhalat dengan Bagas yang ada di sebelahnya mengulurkan tangan, mencolek bahu Azka dari belakang.
"Entah ini firasat gue atau beneran. Cowok yang duduk di samping adek lo itu... Bukannya cowok yang waktu itu ngajakin lo balapan ya?"
Kembali hening, Bagas memperhatikan Azka tanpa menoleh sedikitpun, menunggu jawaban dari cowok itu. Ia sepemikiran dengan Angkasa, merasakan hal yang sama saat tadi pertama melihat Arkan. Sedangkan Senja, ia cukup terkejut. Sumpah, ia tidak tahu sama sekali tentang ini.
Azka menatap temannya satu-persatu, kemudian mengagguk. "Iya."
Senja melotot karena kaget. "Zeta tahu?" tanyanya.
"Enggak."
"Firasat ke- play boy -an gue bilang. Cowok itu suka sama adek lo."
"Enyenye.." Bagas yang mendengar itu langsung mencibir. Heran, mengapa Angkasa sangat bangga dengan gelar itu. Seingat Bagas, waktu dulu ia Sekolah Dasar, ia dikenalkan dengan permainan congklak, lompat tali, gerobak sodor, polisi-maling, petak umpet, juga engklek. Tidak ada tuh yang mengenalkannya dengan permainan untuk mainin hati perempuan.
"Tapi dilihat-lihat, Angkasa benar sih, Ka," ujar Senja membenarkan ucapan Angkasa, membuat cowok itu langsung melambung tinggi. Ia tidak menyangka jika Senja yang memiliki status sebagai sepupunya itu mendukungnya. Angkasa menjulurkan lidah ke arah Bagas sambil menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri dengan ritme cepat, mengejek. Senang sekali jika kini levelnya satu tingkat di atas Bagas, hingga akhirnya berhasil membuat Bagas menekuk wajah.
Angkasa tertawa, liat saja sekarang. Wajah Bagas yang menurutnya tidak setampan dirinya itu sekarang makin kusut.
Azka merapatkan bibir, pandangannya lurus ke arah Arkan dan Zeta yang ada di ujung sana. Mereka berdua tertawa, entah karena membahas apa. Azka berdecak, melihat bagaimana cara Arkan memandang Zeta membuatnya... Ah! Azka tidak bisa berbohong. Memang sangat jelas jika Arkan menyukai Zeta dan ia tidak bisa menjamin jika Zeta tidak memiliki perasaan yang sama. Lebih tepatnya, Azka yakin jika Zeta sudah menaruh hati pada cowok di sebelahnya itu, hanya saja cewek itu belum menyadarinya.
Senja menepuk bahu Azka pelan. "Jangan sampai mereka tahu ya? Gue gak bisa bayangin gimana jadinya kalau Zeta tahu tentang masalah lo sama cowok itu. Mungkin... Semua bakal lebih buruk dari apa yang kita bayangin, Ka."
o0o
"Makasih."
Tawa Zeta mulai mereda saat kata itu masuk ke indra pendengarannya. Ia menoleh ke arah Arkan dengan wajah bingung. "Buat?"
Arkan tersenyum. "Yang tadi. Kata Kanya, lo ngelakuin itu buat belain dia."
Zeta balas tersenyum, reaksi itu refleks ia lakukan. "Yaelah, Ar. Lo itu temen gue, Kanya juga temen gue. Lagipula, gue emang punya dendam sama orang itu. Jadi, ngelakuin hal tadi udah cukup bikin gue puas."
Mereka kini duduk di bangku panjang yang terletak di pinggir lapangan, tepatnya di bawah pohon rindang. Sinar mentari pagi yang masih hangat menerobos masuk melalui celah daun. Jatuh lurus tepat mengenai mata Zeta, menjadikan kelereng cokelat tua itu berubah warna menjadi cokelat muda dan tampak semakin menarik.
Arkan melihatnya, sudah sedari tadi Zeta sibuk menggeser tubuh guna menghindari cahaya itu namun tidak berhasil. Berulangkali juga ia menyipitkan mata dan menciptakan kelucuan tersendiri di mata Arkan. Entah mengapa, Zeta di mata Arkan tidak tampak seperti pandangan buruk orang lain.
"Gue tau, lo orang baik Zeta," Arkan kembali membuka percakapan yang sempat terjeda. Berhasil menarik atensi Zeta untuk menoleh lagi pada cowok itu.
Zeta mulai merasa tidak nyaman. Obrolan seperti ini yang paling Zeta benci. "Apaan sih? Ngaco lo!"
Arkan tersenyum, paham akan ketidak sukaan Zeta. "Mau janji sama gue gak?"
"Hah?"
"Iya."
"Janji apa?"
"Janji untuk terus kayak gini ya? Gue gak tau kesalahan apa yang orang lain liat dari lo, sehingga mereka nganggap lo buruk. Tapi gue yakin, lo punya cara tersendiri untuk menjadi orang baik. Kayak tadi contohnya, walaupun cara lo salah, tapi di mata gue, perlakuan lo itu udah benar," ujar Arkan lagi.
Menurutnya, menggunakan otot untuk membela orang lain itu tidak salah. Arkan sangat membenarkannya. Ingat saat pertemuan pertama Arkan dengan Zeta? Saat itu pun Arkan sedang adu jotos. Tidak ada yang salah, manusia tidak ada yang pernah sempurna. Namun, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, itu adalah kesempatan semua orang.
Zeta menahan napas saat Arkan melontarkan kalimat itu.