"Maaf kalau selama ini gue salah ngartiin sikap baik yang lo kasih ke gue."
"Banyak usaha yang udah gue lakuin. Gue berusaha cantik di depan lo, gue bersikap sebaik yang gue bisa supaya lo mau muji gue, supaya perhatian lo cuma buat gue."
"Tapi sekarang gue sadar, seberapa pun usaha yang udah gue lakuin, kalau bukan gue yang lo mau, lo gak akan noleh."
Sudah sekitar setengah jam Arkan berdiri di samping pintu sambil memperhatikan Raya yang terus bermonolog. Ada terbesit rasa iba saat melihat gadis itu hampir menangis, namun dengan cepat ia menutup mata. Jika saja mereka masih berpacaran seperti dulu, menenangkan gadis itu bukanlah hal yang mustahil bagi Arkan. Tetapi kini ia sadar bahwa semua sudah berbeda.
Hari ini Arkan melakukan rutinitasnya yaitu datang ke rumah sakit bersama Kanya untuk menjaga sahabatnya yang dirawat di ruang inap ini. Alangkah terkejutnya mereka saat menemukan Raya sudah terlebih dahulu berada di ruangan ini. Arkan tidak menyangka jika gadis itu akan nekat untuk datang ke sini, padahal sudah ia abaikan pesan yang Raya kirimkan padanya semalam. Saat Raya mencoba meneleponnya pun, tidak ia angkat sama sekali.
Jika saja bukan karena Kanya, Arkan pasti sudah mengusir Raya dari tempat ini. Beruntung saudara kembarnya itu menyadarkannya. Kata Kanya, bagaimana pun juga Raya sudah benar-benar mengakui kesalahannya dan Arkan tidak boleh melarang itu.
Dari banyak pertimbangan, Arkan mengizinkan Raya untuk tetap berada di sini. Namun dengan syarat bahwa gerak-geriknya harus Arkan pantau. Hingga berakhirlah mereka di sini, dengan Raya yang mengambil duduk di samping ranjang--membelakangi Arkan dan fokus berbicara pada cowok yang terbaring lemah di sana, sedangkan Arkan memilih untuk berdiri di dekat pintu sambil mengamati mereka berdua.
Perlahan Raya meraih tangan cowok yang terbaring di hadapannya. Menggenggam dan mengaitkan jari-jarinya ke jari cowok itu. Lalu, mengamati setiap inci wajah orang di hadapannya seraya tersenyum tipis.
"Gue kangen sama lo," kata Raya pada cowok itu. Cowok itu masih sama seperti terakhir kali Raya datang ke sini. Matanya terpejam rapat, membuat hati Raya makin tersayat. Memangnya siapa yang tidak sedih jika melihat orang yang ia sayangi harus mengalami koma selama hampir tujuh minggu?
Raya menengadahkan wajahnya. Berusaha menghalau air mata yang hampir tumpah. "Gue kangen. Gue kangen sama lo, Rangga."
Arkan dapat melihatnya, ia tahu sangat besar rasa bersalah yang dimiliki gadis itu. Pandangannya tidak bergeser sedikit pun dari Raya, namun sialnya dia ketika diwaktu yang bersamaan Raya membalikkan badan hingga kini manik mata mereka saling bertubrukan.
"Gue juga mau minta maaf sama lo, Ar," Raya membuka suara, membuat Arkan semakin terhipnotis. Apalagi saat Raya menatapnya makin dalam. "Maaf karena gue udah manfaatin lo. Gue terima cinta lo waktu itu semata-mata karena gue tahu lo sahabatnya Rangga dari kecil. Gue ngelakuin itu supaya gue bisa makin dekat sama Rangga."
Arkan membuang muka, memutuskan kontak mata mereka yang membuat perasaannya kembali tidak karuan. Bohong jika Arkan mengatakan bahwa ia sudah sepenuhnya move on. Karena kenyataan yang sebenarnya, perasaan cintanya untuk Raya masih ada, hanya saja sedang bersembunyi di balik dinding kekecewaan yang terbangun kokoh karena ulah Raya sendiri.
"Gak usah diungkit lagi," ujar Arkan.
Raya menghela napas. Sudah ia tebak jika Arkan pasti akan merespon demikian. Ia kembali menarik atensinya ke arah Rangga. Kemudian bergerak mendekati telinga kanan cowok itu. Raya mulai berbisik--sengaja, agar Arkan tidak mendengarnya.
"Gue mohon, lo bangun ya. Ada seseorang yang paling nungguin lo di sini." Sebelum melanjutkan kalimatnya, Raya sedikit menoleh ke belakang. Ia menemukan Arkan yang sedang memperhatikan gerakannya. Sepertinya cowok itu penasaran akan apa yang sedang ia katakan pada Rangga. Raya tersenyum ke arah Rangga, lalu melanjutkan kalimatnya. "Zeta. Zeta nungguin lo, Ga."
o0o
Zeta melingkarkan tangannya ke perut Azka, memeluk cowok itu dari samping saat Azka baru saja datang dan duduk di sebelahnya.
Azka mengerutkan kening, tercipta kebingungan didirinya saat melihat Zeta bersikap seperti ini. "Ngapain lo meluk-meluk gue?"
Zeta mendongak tanpa melepas pelukannya. "Tadi pagi, sebelum gue pulang dari rumah Vira. Gue ngeliat ada gitar gue di kamar dia. Katanya lo yang nemuin ya? Iya kan?" tanya Zeta dengan nada antusias. Bagaimana tidak senang, gitar itu kan sudah dibuang oleh Danu dan ia tidak berhasil menemukannya. Jika Azka berhasil menemukan barang tersebut, itu tandanya Azka masih peduli.
Azka menjawab singkat, "iya."
Zeta mempererat pelukannya. "Kalau gitu kita baikan ya?"
"Hah?"
"Iya, kita baikan."
"Emangnya kita pernah berantem?"