Saat ini perpustakaan dipenuhi oleh murid kelas 10. IPA -1 dan 10. IPA -2. Kelas 10. IPA -1 yang kebetulan sedang free diberi tugas untuk merangkum dan mencari referensinya di perpustakaan, sama seperti yang dilakukan oleh kelas 10. IPA -2. Hanya saja, mata pelajaran yang mereka catat berbeda.
Tidak bisa digabungkan. Itulah sekiranya yang harus kalian ketahui jika mendengar dua kelas ini. Bagaimana tidak? Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran masing-masing telah mereka ganti konsepnya.
Dua puluh lima menit mereka gunakan untuk merangkum, saling menyontek pula. Sedangkan sembilan puluh lima menit sisanya mereka habiskan untuk menciptakan kegaduhan, membuat Mbak Siti--penjaga perpustakaan itu kelimpungan untuk menegur mereka yang jumlahnya tidak sedikit. Mereka duduk bergabung, seolah tidak ada perbedaan kelas diantara mereka.
Berakhirlah Mbak Siti di sini, mengawasi tingkah mereka dengan mulut terkunci.
Di depan, tepatnya sisi sebelah kanan dari tempat Mbak Siti duduk, gerombolan perempuan sedang sibuk bermain congklak yang memang kebetulan sudah disediakan di sini. Lagipula siapa yang salah? Mba Siti menghela napas, berusaha tabah. Tak apa, anggap saja mereka sedang melestarikan permainan tradisional Indonesia.
Ia menggiring pandangannya ke sisi sebelah kiri, tempat dimana ada komputer di sana. Biasanya komputer itu digunakan untuk para siswa yang sedang mencari sumber materi pembelajaran lewat internet. Tetapi hari ini dialih fungsikan oleh beberapa murid perempuan untuk menonton youtube.
Lagi, pandangannya beralih ke penjuru lain--mengamati tingkah murid lainnya yang bermacam-macam. Normalnya, di meja pojok dekat rak buku kumpulan novel ada segelintir siswi yang sibuk membaca. Selepas itu, banyak murid laki-laki sedang lesehan di depan kipas angin, membuat aroma tubuh mereka menyebar luas. Mana sekarang pukul dua siang pula, karena itu juga bau tubuh mereka benar-benar membuat Mbak Siti pusing bukan kepalang. Beruntung ia tidak jadi pingsan saat teringat hutang kredit pancinya belum dibayar.
Dan sisanya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Syukur-syukur satu, dua orang ada yang tengah mengerjakan tugas. Tetapi tetap saja, ada juga yang sok sibuk dengan ponsel mereka--mencari kesempatan untuk menggunakan wi-fi perpustakaan ini.
Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah biasa Mbak Siti temukan. Namun bedanya, sekarang ia harus mengawasi dua kelas sekaligus. Biasanya ada penjaga perpustakaan yang satu lagi, usianya sekitar empat puluh tahun, dan terkenal galak, namanya Bu Jumirah. Akan tetapi ia tidak masuk hari ini karena sakit.
Penderitaannya tidak hanya itu. Di kursi sebelah kanan Mbak Siti, ada Rian yang terus saja menggodanya sejak tadi. Tidak mau diam. Beruntung Rian itu ganteng, jadi bisalah Mba Siti kalau diajak PDKT. Jika tahun ini Rian menginjak usia lima belas tahun itu tandanya hanya sepuluh tahun Mbak Siti lebih tua. Tak apa, Mba Siti kan masih single.
"Ninuninuninu.. Pipimpim.." Tiba-tiba Rafael muncul dari balik pintu. Cowok itu berjalan dengan semangkuk bakso di tangannya. Membuat Mbak Siti dengan sigap mengulurkan penggaris kayu panjang untuk menghalangi jalan cowok itu.
"Siapa yang memperbolehkan kamu untuk membawa makanan ke dalam perpustakaan, Rafael?!"
Rafael cengar-cengir. "Hehe, itu mantan saya lagi sakit, Mbak," Rafael menunjuk Echa dengan dagunya. "Emangnya Mbak mau tanggung jawab kalau nanti dia pingsan?"
"Mantan kamu? Emangnya dia mau sama cowok yang modelnya seperti kamu? Pasti waktu pacaran kemarin dia nyesel banget," ujar Mbak Siti, membuat seisi ruangan tertawa kecuali Rafael, Echa, dan Mbak Siti sendiri.
"Lagipula, kalau mau makan bisa bawa dia ke kelas saja. Tidak perlu makan di dalam perpustakaan," ujar Mbak Siti lagi.
"Udah, Mbak. Hakum aja, hukum!" dukung Nuno. Cowok itu berdiri lalu pindah posisi yaitu mengambil duduk di sebelah kiri Mbak Siti.
Rafael mendengus. "Mbak ini gimana sih? Kelas lagi sepi, kalau saya bawa Echa ke kelas nanti kita cuma berduaan dong?"
"Udah kayak paling bener aja, lo," Dini angkat bicara. "Maksudnya Mbak Siti itu Echa di bawa ke kelas sama temen ceweknya. Bukan sama lo! Gak usar ke-ge-eran deh," ujar Dini lagi, membuat Echa berusaha menarik tangan cewek itu untuk menegurnya. Tetapi Dini malah seolah tidak peduli, padahal Echa memang sedang tidak enak badan sejak tadi pagi. Jika ia harus mendengar perdebatan mereka, ia bisa makin pusing.
Rafael membalas tatapan tajam Dini. Seisi ruangan diam, fokus memperhatikan mereka. Baiklah, drama akan segera dimulai!
"Loh. Kok lo jadi nyolot sih? Oh.. Gue tahu. Lo pasti mau diperhatiin juga ya sama Rian?" ujar Rafael dengan wajah tengilnya.
Dini menghampiri Rafael. Penggaris kayu milik Mbak Siti masih membentang seolah kini menjadi pembatas diantara mereka. Dini berkacak pinggang. "Wah.. Wah.. Kok lo jadi bawa-bawa nama Rian sih? Ini gak ada sangkut pautnya tahu!"
Rafael meletakkan mangkuk bakso ke atas meja yang ada di dekatnya.
"Ya, ya ada-lah! Lo pasti ngiri kan sama gue dan Echa?"
Cewek itu terdiam. Ingin sekali Dini membenarkan ucapan Rafael barusan. Rafael itu walaupun menyebalkan tetapi sangat perhatian. Terkadang Dini juga berharap jika Rian mau memperlakukannya seperti itu. Tapi baru saja ia berkhayal, namun tadi pagi ia sudah tertampar kenyataan saat melihat Rian membonceng cewek yang berbeda dari yang minggu lalu ia lihat.
Dini jatuh hati pada pesona Rian sama seperti para fans Rian yang lain. Mungkin perasaan itu hanya sebatas kagum, tetapi Dini tidak sepenuhnya yakin. Ia tahu bagaimana endingnya jika jatuh cinta pada orang yang selalu mempermainkan hati perempuan.
Hampir tiga tahun ia mencari perhatiaan Rian, namun cowok itu seolah menghindar dan memilih cewek lain. Menurut Dini, itu aneh.
"E-enak aja! Siapa juga yang ngiri? Yang ada gue jijik liat lo!" elaknya.
Rian menguap. Menyaksikan pertengkaran antara Rafael dan Dini yang sudah biasa membuat dirinya mengantuk. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Biasalah, orang ganteng memang selalu dijadikan topik pembicaraan.
"Itu mereka gak mau dipisahin aja?" tanya Kanya pada Zeta, Vira, dan Dara yang duduk di dekatnya. Mereka berempat sedang sibuk membaca novel.
"Biarin ajalah," balas Zeta, Vira, dan Dara berbarengan.
Kanya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu berucap, "tapi itu mereka lagi adu mulut."
"Yaelah, baru juga adu bacot. Kalau udah adu bacok tuh, baru deh gue bantu pisahin," ujar Dara yang langsung mendapat anggukan setuju dari Vira.
"Gak apa-apa, Nya. Udah biasa. Nanti juga mereka akur sendiri," kata Zeta, menambahkan.
"Dasar bucin!!" ejek Dara pada Rafael.
"Gak ngaca, lo? Lo lebih bucin!" balas Rafael tak mau kalah.
"Lo yang bucin!!"
"Lo!" balas Rafael lagi.
"Lo!"
"Lo!"
"Pokoknya, lo!"
Nuno bertepuk tangan heboh bersama Arkan. Kedua cowok itu langsung mengeluarkan ponselnya masing-masing dan mengarahkannya pada Rafael juga Dini.