Keributan terjadi di lapangan basket SMA Garuda. Bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu, segelintir siswa yang masih berada di lingkungan sekolah dan berniat pulang kini mengurungkan niatnya. Mereka membentuk lingkaran untuk menyaksikan momen itu.
Zeta yang awalnya sedang menunggu angkutan umum sekarang harus kembali ke sekolah. Cewek itu berlari dengan kecepatan maksimal yang ia bisa, tidak mengindahkan keringat yang sudah hampir penuh di wajahnya. Degup jantung Zeta berpacu semakin cepat, entahlah Zeta tidak tahu bagaimana penampilannya sekarang. Tadi, baru saja Angkasa meneleponnya menggunakan ponsel Senja dan menyuruh Zeta untuk segera datang ke lapangan basket.
Pikiran cewek itu mulai berkeliaran kemana-mana. Rasa khawatir mulai merangkak memenuhi jiwanya.
Tiga meter lagi Zeta sampai ke lapangan basket. Ia berhenti sejenak seraya membungkukkan badan dengan kedua tangan memegang lutut, lalu perlahan Zeta mengatur napasnya. Dari tempat Zeta berdiri, ia bisa melihat ada kerumunan orang di sana—tidak banyak, mungkin hanya sekitar lima belas orang.
Zeta memicingkan mata. Dapat ia lihat bahwa Azka tersungkur karena mendapat tonjokan dari lawannya, membuat orang-orang yang ada di situ—yang didominasi oleh perempuan itu menjerit ketakutan.
"BANGUN LO, BANGSAT! LAWAN GUE!"
Zeta menahan napas, dengan cepat ia berlari ke arah sana dan langsung membelah kerumunan.
"STOP! GUE BILANG STOP!" Zeta berteriak kencang, membuat semua pasang mata yang ada di sana menatapnya.
Zeta berjalan, mendekat ke arah orang yang kini membelakanginya. Cowok itu yang sejak tadi Zeta lihat terus saja menonjok Azka tanpa ampun. Dalam sekali tarik, Zeta mampu membuat cowok itu berbalik menghadap ke arah dirinya.
"Arkan?" cewek itu menatap orang yang ada di hadapannya tak percaya. "MAKSUD LO APA NGELAKUIN INI, AR?!"
Arkan menepis kasar tangan Zeta yang sedang memegang lengannya. Matanya menatap Zeta dengan tajam.
"Gak usah ikut campur urusan gue!"
"Gue bakal ikut campur karena orang yang lo ajak berantem itu Abang gue."
Arkan terkekeh, ia menoleh ke belakang dan melihat Azka sedang dibantu berdiri oleh dua teman cowoknya. "Gak nyangka kalau lo ternyata Adiknya si pengecut ini."
"Jaga omongan lo!" ujar Zeta, tak terima jika Arkan mengatakan hal buruk seperti itu untuk Azka. "Sekarang kasih tahu gue, kenapa lo bersikap kayak gitu?"
Arkan tidak menjawab. Ia berbalik badan dan langsung menarik kerah baju seragam Azka. Gerakannya terlalu cepat sehingga membuat Angkasa dan Bagas kaget dan tidak sempat mencegah.
Cowok itu menyeret kasar Azka, membawanya ke hadapan Zeta. "Lo tanya sendiri sama Kakak lo ini!"
"Lepas, Ar! Lo apa-apaan sih?!" Zeta terkejut dengan apa yang Arkan lakukan. Ia berusaha melepas cengkeraman Arkan pada kerah baju seragam Azka namun tidak berhasil karena tenaga cowok itu yang terlalu kuat, hingga tanpa sengaja Arkan mendorong Zeta sampai cewek itu jatuh.
Azka yang sejak tadi diam, kini tidak terima. Langsung saja ia tonjok pipi kiri Arkan, membuat cowok itu mundur karena tonjokan keras tersebut.
Emosi Azka terulut.
"Urusan lo sama gue, jadi gak usah bawa-bawa adik gue!"
Saat Azka hendak menghampiri Zeta, didetik itulah Arkan mengambil celah untuk langsung menyerang cowok itu. Arkan memberikan tonjokan tak kalah keras dan mengenai rahang Azka. Serangan bertubi-tubi ia berikan seolah tak membiarkan Azka untuk membalas. Arkan semakin kalap. Apalagi saat melihat Azka yang sama sekali tidak membalasnya.
"AR, GUE MOHON SAMA LO. BERHENTI!" teriak Zeta berulang kali, namun Arkan seolah tuli.
Semua cewek yang menyaksikan itu mundur untuk mencari aman. Sedangkan Zeta makin kelimpungan untuk memberhentikan perkelahian ini. Zeta tahu bahwa mudah bagi Azka untuk mengalahkan tenaga Arkan. Tetapi yang ia lihat sekarang, cowok itu malah seolah pasrah menerimanya. Zeta yakin, ada sesuatu yang menjadi dasar perkelahian mereka. Zeta yakin, ada hal yang membuat Azka tidak ingin melawan balik serangan Arkan.
Bruk..
Zeta berlutut tepat di belakang Arkan berdiri. Semua pasang mata tertuju padanya. Arkan yang ingin memberikan tonjokan lagi pada Azka yang semakin lemah kini urung saat melihat itu. Azka menatap Zeta tak percaya. Dalam hati, ia terus merutuki kebodohannya karena tahu bahwa Zeta rela melakukan itu hanya untuknya.
"Gue mohon.. Berhenti, Ar," mohon Zeta dengan kepala tertunduk.
"Gue gak tahu masalah kalian berdua apa. Tapi gue mohon.. Gue mohon, berhenti hanjar Kakak gue kayak gitu." Bahu Zeta bergetar, semua orang yang menyaksikan itu tahu bahwa Zeta berusaha keras menahan dirinya untuk tidak menangis. "Lo boleh minta apapun sama gue kalau itu bisa bikin lo puas."
Arkan menahan napas. Tidak menyangka jika Zeta akan sesayang ini pada orang yang sangat Arkan benci.
"Oke, kalau itu mau lo. Mulai sekarang lo harus jadi pacar gue."
Zeta mengangkat wajahnya dan langsung dibuat saling tatap oleh Arkan. Apa tadi ia tidak salah dengar?
"Pa-pacar?"
"Lo gak mau?" tanya Arkan. Melihat Zeta yang hanya diam, ia kembali berbalik dan ingin menyerang Azka lagi. Namun beruntung Zeta cepat berdiri lalu menahannya.
"Gu-gue gak bisa jawab sekarang, jadi kasih gue waktu," pinta Zeta.
"Sampai kapan?"
"Besok. Paling lambat besok."
Arkan mengangguk, membiarkan Zeta yang bergegas menghampiri Azka yang sudah babak belur. Zeta membantu Azka untuk berdiri, menuntun sang Kakak untuk berjalan dengan bantuan Angkasa juga. Selain itu, ada Bagas dan Senja juga yang sedang berjalan di belakangnya.
Sebelum benar-benar pergi, Zeta menyempatkan dirinya untuk berdiam sejenak di hadapan Arkan. Entah mengapa, Zeta tidak mengerti dengan sikap Arkan hari ini. Tadi pagi, cowok itu terus cuek padanya, dan sekarang ia malah melihat sisi gelap cowok itu.
Zeta menatap kelereng hitam itu dengan sorot tanya. Arkan yang ada di hadapannya ini sangat berbeda dengan Arkan yang selama hampir enam minggu ini ia kenal.
"Lo berubah, Ar."
"Ini wujud asli gue kalau lo mau tahu, Zeta."
Arkan menatap Azka diiringi dengan perasaan kebencian. Padahal hari ini Arkan benar-benar ingin mencari pelampiasan, tetapi Azka malah tidak membalas serangannya sama sekali.