"NUNO!!!!!!!!!!" kegeraman Zeta telah di ubun-ubun dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Berteman dengan orang ini membuatnya benar-benar harus ekstra sabar. Ia mencengkeram kuat tangan itu yang tak kunjung melepaskan benda dingin di pipinya.
"Nu..." ucapnya menggantung di tempat, matanya membulat dengan sempurna dan spontan membuat sebagian anggota tubuh tak berfungsi saat mendengar suara jelas di telinganya, "Ternyata kita ketemu lagi ya."
Suara itu terdengar familiar di telinga Zeta membuat perempuan ini meluluh dan melonggarkan cengkramannya.
'Itu suara Rangga kan? Ya gue yakin.'
Zeta membalikkan badannya dan tersenyum kecut. Bukan Rangga yang ia temukan tapi Arkan yang ada di hadapannya.
"Woi! Masih inget gue?"
"Gak inget, gue amnesia," ketus Zeta. Arkan terkekeh, ia menyodorkan sebotol air mineral dingin. "Lo cape kan?" katanya, tapi itu terkesan sangat basa-basi untuk Zeta.
Zeta mengambil minuman itu terpaksa. "Makasih," lalu ia meletakkan sapu dan keluar kelas begitu saja.
Di luar kelas saat Zeta berjalan menuju kantin, ia memegang dadanya. Entah kenapa ia merasa ada hal aneh saat bertemu dengan Arkan, seperti detak jantungnya bekerja lebih cepat --mungkin. Sekilas ia mengangkat ujung bibirnya, lalu menggeleng cepat.
'Enggak Zeta, lo cuma ngira dia Rangga tadi. Gak lebih.'
o0o
Zeta berhenti tepat di depan pintu kantin, sepuluh menit lagi waktu istirahat berakhir. Ia mengedarkan pandangan dan menemukan seorang perempuan melambaikan tangan ke arahnya, perempuan itu berada di meja tengah kantin dengan Nuno dan Rafael yang ikut duduk di hadapannya. Suasana kantin kali ini tidak begitu ramai.
"Kaya baju enggak disetrika aja muka lo, Ta." Kalimat dari Nuno berhasil menyambut Zeta saat dia duduk di samping Vira. Ia menatap Nuno dan Rafael tajam, namun mereka membalasnya dengan cekikikan.
Lalu pandangannya beralih pada Vira, "Lo kok gak kasih tau gue kalau itu masih jam belajar," ujar Zeta pada Vira yang tengah menyeruput es teh dari yang awalnya setengah hingga minuman tersebut habis.
"Udah, tapi lo gak denger," jawabnya santai.
"I-iya, itu tap-"
Braak.. Suara gebrakan meja yang dilakukan oleh Nuno berhasil membuat mereka bertiga hampir terjungkal bahkan Rafael yang sibuk mengemut permen tak sengaja langsung menelannya bulat-bulat.
"Gue kaget Paijo!" cerca Rafael, setengah kesal mengambil botol minum yang ia beli tadi, tenggorokannya benar-benar sakit.
"Eh, nama bapak gue itu," ujar Rian tak terima. Teman sebangku Arkan itu tidak sengaja melewati mereka saat ingin kembali ke kelas.
Nuno yang mendengar itu langsung tertawa ngakak. "Sorry, sorry Yan," ujar Rafael tak enak hati, ia baru ingat bahwa Paijo memang nama bapaknya Rian.
"Jangan dimaafin Yan, kalau perlu jangan kasih Rafael contekan lagi," timpal Nuno membuat Rian juga ikut tertawa.
Dikelas, mereka memang kompak urusan menyontek. Kadang-kadang mereka menyalin tugas Rian sebab cowok itu memiliki otak yang lumayan encer atau terkadang jika Rian tidak bisa mengerjakan tugas tersebut maka dia, Arkan, Nuno, dan Rafael akan merayu Dini dengan banyak cara sampai cewek itu mau memberikannya. Bahkan pernah Rian dijadikan korban, imbalannya jika Dini memberikan mereka contekan, maka dia boleh bertanya banyak hal tentang Rian yang akan dijawab oleh Nuno dan Rafael. Dini memang sangat menyukai cowok playboy itu tapi Rian tidak pernah serius menanggapinya.
"Santai aja bro," kata Rian saat menepuk pundak Rafael lalu pergi meninggalkan kantin menuju kelas.
Sementara Vira langsung menyenggol lengan Zeta yang baru saja kembali membawa semangkuk bakso.
"Kertas tadi mana?" pintanya membuat Zeta langsung kelabakan merogoh saku bajunya.
"Dimana ya?" ujar Zeta malah bertanya.