Zeta menatap buku di depannya yang berantakan. Tadinya dia sedang mencari sebuah buku bahasa Inggris, ada tugas yang harus ia kumpulkan besok. Sedetik kemudian ia tersenyum, akhirnya ia ingat bahwa Nuno yang meminjamnya. Zeta bergegas mengambil handphone lalu menghubungi cowok itu. "Sama Rafael, gue kasih dia tadi," ujar Nuno dengan enteng saat Zeta menanyakannya sekitar 30 menit yang lalu. Zeta menggembungkan pipi, berusaha sabar lalu mengirim pesan pada Rafael.
Rafael :
Kayanya buku lo kebawa sama anak-anak, gatau siapa
Rafael :
Gue salah kasih buku, gue pikir itu buku gue
Zeta menarik rambut, frustasi. Jika saja ini masih jam 8 malam mungkin dia akan nekat pergi ke luar rumah dan mengambil buku itu dengan mendatangi satu-satu rumah anak yang mungkin membawa bukunya. Tapi sekarang, sudah jam 11 malam. Siapa yang mau menerima tamu jam segini?
Seketika ingatannya berputar tentang kejadian di sekolah tadi, saat pelajaran Bahasa Inggris.
"Mana buku kamu?" tanya Pak Pipit dengan tegas, dari nada bicaranya Zeta tahu bahwa dari situ tersirat tanda permusuhan.
"I -itu pak, ketinggalan," jawab Zeta susah payah. Jelas dia berbohong, sebenarnya buku itu ada hanya saja Zeta tidak ingat meletakkannya dimana. Lebih tepatnya ia tidak ingat bahwa Nuno meminjamnya.
Pak Pipit memijat sekilas pelipisnya, lelaki yang berusia sekitar 39 tahun itu menatap murid di hadapannya tajam. Dia sangat mengingat semua nama siswa berandal, bermasalah, juga yang paling keras kepala dalam mata pelajarannya dan Zeta masuk dalam rentetan itu "Kamu tidak mengerjakannya lagi?" tebak Pak Pipit.
Zeta menunduk, padahal hari ini dia berjanji akan berdamai dengan mata pelajaran yang paling ia benci. Berbeda dengan biasanya dia mungkin hanya akan menyalin tugas Vira atau siapapun yang ada didekatnya. Tadi malam dia rela mengerjakan tugas itu, mengartikan setiap kosakata asing yang tidak pernah ada niatan untuk ia lirik.
"Benar?" tegas guru itu menuntut jawaban. Zeta ingin jujur bahwa dia berusaha berubah, dia sudah mengerjakan tugas itu sendirian. Tetapi yang dia lakukan adalah tetap diam membiarkan Pak Pipit dengan semua tuduhannya yang meleset. Percuma, lelaki di depannya itu menatapnya sebagai musuh bebuyutan, dari situ ia yakin guru itu tidak akan mempercayai semua ucapannya.
"Kalau besok tugas itu tidak kamu kumpul, maka saya akan memanggil orang tuamu!" Zeta bungkam, guru itu seolah tahu kelemahannya sekarang.
Rasa senangnya pada pelajaran matematika bisa membuat Zeta rela mengejar Pak Mahmud, guru yang paling dijauhi karena kegalakannya. Namun berbeda dengan Pak Pipit, jika banyak murid menyukai guru itu karena keramahannya maka bagi Zeta dia akan berada di barisan terdepan untuk menjauhinya. Dua guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya karena mata pelajaran mereka.
Pak Pipit menatap Zeta, ia mengingat bahwa murid di hadapannya adalah murid yang paling berandal dan keras kepala. Awal pertama dia mengajar di kelas 7, perempuan ini selalu membuatnya emosi. Mulai dari tidak mengerjakan tugas, menyontek, dan jika Zeta melarang Azka untuk bolos maka ia akan mewajibkan dirinya sendiri untuk bolos dalam pelajaran ini. Walau itu biasa, tapi yang dilakukan Zeta sudah diatas rata-rata. Nilai Bahasa Inggrisnya bahkan tidak pernah diatas 60.
Sampai suatu hari Pak Pipit tidak memperbolehkan Zeta mengikuti mata pelajarannya, alih-alih jera perempuan itu seolah merdeka. Pak Pipit sudah memberikan banyak hukuman dari membersikan toilet jika menyontek, keliling lapangan sebanyak tugas yang tidak dikerjakan, juga memintanya menulis kata 'Saya berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,' penuh, dipapan tulis. Walau dilaksanakan, tapi ia malah menulis 'Saja gak bisa janji pak, kayanya saya bakal ngulangin lagi,' dan itu membuat seisi kelas pecah akan tawa juga kepala Pak Pipit yang ikut ingin meledak membuatnya tahu bahwa semua hukuman itu tidak mempan.
Sampai akhirnya Pak Pipit tahu kelemahan murid ini --memanggil orang tuanya.
Zeta dengan segala ketidaksukaannya pada pelajaran Bahasa Inggris dan Pak Pipit dengan segala caranya untuk bisa membuat Zeta tunduk pada mata pelajarannya.
Ingatan Zeta buyar, Zeta memperhatikan Azka yang sudah tertidur pulas disampingnya. Padahal cowok itu tadi masih menemaninya mengobrol beberapa menit lalu dengan Jihan juga.
Kamar dikontrakan ini hanya satu dan semenjak Mama-Papa pindah ke sini, Zeta dan Azka sepakat untuk sama-sama tidur di depan televisi. Tak apa, begini saja sudah cukup.
Zeta tersenyum melihat wajah Kakaknya kemudian menyelimutinya. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada cowok itu, mulai dari mengapa Azka pergi dari rumah lalu tinggal dikontrakan kecil seperti ini, mengapa dia sering berkelahi, dan juga balapan liar. Ditambah dirinya tahu bahwa Azka baru saja putus dengan pacarnya 2 minggu yang lalu membuat Zeta sadar bahwa cowok itu sudah terlalu jauh berubah.
Tok.. Tok.. Tok..
Zeta menoleh ke arah pintu saat mendengar suara ketukan. Cewek itu mengerutkan dahi, siapa orang yang nekat bertamu jam segini?
o0o
"Lo ngapain disini?" tanya Zeta panik saat melihat Arkan sudah berdiri di depan rumahnya. Cepat-cepat ia melangkah keluar dan menutup pintu perlahan lalu menarik Arkan menjauh dari rumah. Zeta bingung darimana cowok ini tahu rumahnya, karena seingatnya tadi sore Arkan hanya mengantarnya di depan gang.
"Ngapain kita ke sini?" tanya Arkan polos.
"Pelan-pelan!" seru Zeta setengah berbisik, bagaimanapun juga ini sudah terlalu larut untuk menerima tamu.
"Dari mana lo tahu rumah gue?"
"Lo gak tahu kalau gue ini cenayang?" Zeta memukul lengan Arkan cukup keras, bagaimana cowok ini bisa bercanda padahal dirinya sedang serius.
Arkan menyodorkan sebuah keresek berwarna hitam ukuran kecil dan Zeta menerimanya, setengah bingung. "Ice cream? Lo ke rumah gue cuma mau kasih ini?" Zeta menjeda kalimatnya sebentar, lalu merabanya. "Cair lagi."
Cowok itu menyengir lalu menggaruk belakang telinganya yang gatal. Berada di dekat Zeta membuat Arkan sedikit gugup juga. Tatapan mereka bertemu, cukup lama sebelum Zeta mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Sebenarnya, gue mau ngasih ini," ujar Arkan kikuk menyodorkan buku tulis bersampul batik warna ungu. Zeta mengamati buku itu lalu Arkan secara bergantian. Sudut bibirnya terangkat, itu adalah buku Bahasa Inggris miliknya yang ia cari. Semua hal negatif yang melekat dipikirannya tentang hukuman Pak Pipit besok musnah sudah.
"Sorry, gue yang pinjem buku lo," ujar Arkan berbohong.
30 menit yang lalu..
9-5 grup
OTW jadi Alumni (30)
Rafael: Siapa tadi yang bawa buku besampul batik warna ungu?
Rafael: Respon gesit, gesit
Rafael: Di read doang?
Echa: Ribut banget sih lo
Rafael: Maaf sayang, tapi ini penting. Ini mempertaruhkan nasib aku dan masa depan kita berdua
Dini: Lebay
Nuno: Sayang, sayang mata lo soe
Rafael: 🧠 nih mata gue
Dini: Cha, mantan lo putus cinta jadi bego
Rafael: Din, lo liat bukunya kagak?
Rafael: Yang di contek sama anak cowok
Dini: Buku apa? Rian tadi ada make bukan? Kayanya tadi gue liat batik-batik gtu
Nuno: Bahas Rian aja gesit ni anak
Rafael: Rian mana? Keluar Yan, nasib kita ada di tangan lo
Echa: Wifi rumah Rian bermasalah, jadi dia gak bisa buka grup
Nuno: Lah, Echa tahu. Emang aura playboy itu lebih kuat, tidak perlu diragukan lagi. Kalah lagi lo Rel, mundur sana lo mundur
Rafael: Bukannya dukung gue, lo
Nuno: Males
Rafael: Yang lain bantuin kali. Grup isinya 30 orang yang respon cuma sedikit
Dini: Jam segini anak-anak udah pada bobo kali