Bunga Kertas

Aku Ria
Chapter #13

Rencana

"Apa ini maksudnya?"

Jelas Zeta bingung, di post-it itu tertulis salah satu merk pembalut. Memangnya untuk apa Arkan melakukan itu?

Arkan menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal lalu menunjukkan cengirannya. "I-itu.."

"Itu apa?"

"Kakak gue nyuruh gue beli itu."

Kemudian Zeta tertawa, otaknya hampir saja berpikir macam-macam.

"Udah ketawanya?" ujar Arkan. Rasa malunya berubah jadi kesal. Bukan kepada Zeta tetapi kepada Aimi, Kakak keduanya yang sudah memaksanya membeli barang itu. Jika saja Aimi tidak mengancamnya untuk mengadu kepada Bunda karena sudah memecahkan gayung yang ada di kamar mandi, mungkin Arkan tidak akan disini.

"Mau gue bantuin?" tawar Zeta saat tawanya mulai reda.

"Bantu apa?"

"Bantu doa." Kemudian cewek itu tertawa lagi karena melihat wajah Arkan yang ditekuk, kesal setengah mati.

"Bantuin beli barang itu, emangnya lo yakin mau masuk?"

"Beneran?"

"Iya, cepet!" lalu Zeta berniat masuk tapi Arkan menghalanginya dengan merentangkan tangannya di depan pintu mini market.

"Apa lagi?" tanya Zeta.

"Lo udah gak marah sama gue?"

Benar, seharusnya melihat Arkan, cowok yang ingin ia hindari saat ini membuat Zeta kesal. Tapi entah mengapa rasa kesal itu sekarang menguap dan lenyap begitu saja.

"Siapa yang bilang?"

"Kalau enggak, kenapa lo blokir WA gue?"

"Kepencet," ujar Zeta beralasan.

"Terus, kenapa gak di buka?"

"Permisi Mas, saya mau lewat." Tiba-tiba saja seorang cewek dari dalam mini market menyadarkan Arkan. Cewek itu ingin keluar tetapi ada Arkan yang berdiri merentangkan tangannya di depan pintu. Dengan cepat Arkan menyingkir lalu meminta maaf, membuat Zeta terkekeh.

"Makanya jangan di tengah jalan," cibir Zeta. "Tadi pulang sekolah gue mau buka blokirannya. Tapi kuota gue abis," ujar Zeta menjawab pertanyaan Arkan sebelumnya, kali ini dia menjawab dengan jujur.

Arkan mengambil ponsel yang ada di saku celananya, "HP lo mana?"

"Buat?"

"Gue kasih hotspot, terus lo buka blokirannya."

Zeta mengerutkan kening, tak habis pikir dengan cowok ini. Akan tetapi dia tetap memberikan ponselnya.

"Tuh, udah. Puas kan?" ujar Zeta sambil memperlihatkan layar ponselnya, membuktikan bahwa dia sudah menuruti perintah cowok ini.

"Udah Ayo!"

Tanpa menunggu cowok itu untuk menjawab, Zeta sudah menarik tangan Arkan. Mereka berdua berjalan menuju deretan barang khusus perempuan. Arkan tertegun, ia tidak menyangka ada banyak sekali merk pembalut yang ada disini. Mungkin jika tidak ada Zeta dia tidak tahu harus bagaimana. Matanya membaca beberapa merk barang yang tersusun disana, ia juga melihat Zeta mengambil satu barang. Barang yang dipesan Kakaknya.

"Lo biasanya pake merk yang mana?" ujar Arkan tiba-tiba membuat Zeta langsung memukul lengan tangan cowok itu cukup keras.

"Perlu banget lo nanya begituan?"

Arkan tertawa, lalu kembali mengikut Zeta. Cewek itu tidak langsung pergi ke kasir tetapi ke deretan makanan. Arkan memperhatikan saja. Zeta mengambil beberapa makanan, membacanya, lalu meletakkannya ke dalam keranjang berwarna merah yanga ada di tangannya.

"Buat apa coba ke sana kalau ujung-unjungnya beli ini," ujar Arkan saat mereka berdua mengantri di kasir. Arkan pikir Zeta akan membeli banyak sekali makanan, mengingat beberapa menit yang lalu cewek ini cukup lama berada di deretan makanan. Tetapi setelah itu semua makanan yang sempat diambil oleh cewek ini ia letakkan kembali, kemudian akhirnya hanya memutuskan untuk membeli dua ice cream saja.

"Duit gue cuma cukup buat beli itu," ujar Zeta. Sebenarnya tujuannya ke tempat ini memang hanya untuk membeli ice cream, hanya saja ke deretan makanan dan mengambil berbagai barang lalu meletakkannya kembali bisa menjadi alasannya agar bisa berlama-lama dengan cowok di sampingnya. Entahlah, Zeta merasa nyaman berada dekat dengan Arkan.

"Yaudah kalau gitu kita balik lagi, ambil makanan yang tadi. Ntar gue yang bayar." Arkan berniat membalikkan badannya tapi Zeta menahannya.

"Gak usah."

"Kenapa?" tanya Arkan. Cowok itu meletakkan keranjang merah yang ada di tangannya ke meja kasir.

"Kenyang."

"Tapi tadi kayanya lo mau banget. Udah, gue beliin aja."

"Gak."

"Gak usah batu."

"Mas yakin mau beli ini?" baru saja Zeta ingin membalas perkataan Arkan, suara perempuan penjaga kasir melerai perdebatan mereka.

Arkan berdecak, ini yang membuatnya berpikir dua kali untuk masuk tadi. Dulu ia juga pernah mengalami hal yang sama, yang terjadi waktu itu seorang penjaga kasirnya terus bertanya. Mengapa beli itu? Untuk siapa? Arkan heran, memang apa pentingnya dia tahu.

"Itu punya saya Mba." Arkan yang sejak tadi diam saja menoleh ke arah Zeta. Cewek itu tidak menatapnya sama sekali.

"Oh, pacarnya ya Mba? Senang ya, punya pacar yang nurut banget sampe mau temanin beli beginian. Iri loh saya."

"Emangnya, Mba-nya gak punya pacar?" tanya Zeta.

"Punya sih, tapi susah kalau di ajak kemana-mana. Gak kaya pacarnya ini. Saya lihat ya, pacarnya Mba sayang banget sama Mba," ujar penjaga kasir sambil melirik Arkan yang sejak tadi diam saja membuat Zeta juga menoleh ke arah cowok itu lalu tersenyum singkat.

"Langgeng terus ya Mba," ujarnya lagi sembari menyodorkan keresek hitam berisi belanjaan mereka.

Zeta menerimannya, "Amin-in aja."

Kalimat yang dilontarkan Zeta berhasil membuat Arkan menoleh ke arahnya lagi, cewek itu menggenggam tangan Arkan dan mengajaknya keluar mini market. Otaknya masih terpaku, tidak mengerti tujuan dari kalimat terakhir yang Zeta ucapkan.

o0o

"Ar, lo gak enek liat mereka?" tanya Asyraf kepada Arkan dengan pandangan lurus melihat kedua orang tua mereka yang asik menonton drama korea di televisi. Sebenarnya hanya Bunda mereka sedangkan Ayah mereka hanya menemaninya saja, sesekali tangan Ayah mengelus lembut rambut istrinya itu. Persis seperti anak muda yang sedang dimabuk cinta.

Arkan yang sibuk memainkan ponsel mengangkat wajahnya, mengikuti arah pandang Kakak pertamanya itu. Lalu ia mengambil bantal sofa yang ada didekat tangannya dan melemparnya ke wajah Asyraf, sampai bantal itu jatuh ke lantai setelahnya.

Lihat selengkapnya