"KAK! Lo apain tamu gue?"
Asyraf, Aimi, dan Aldo menoleh ke arah Arkan selama tiga detik lalu kembali pada permainan mereka. Tidak ada yang menjawab ataupun berekspresi, seolah pertanyaan yang diberikan oleh Arkan hanyalah angin lalu yang tak perlu diambil pusing.
"Bangke! Gue dikacangin," ujar Arkan kesal karena tidak ada yang merespon.
"Punya mata dipake, liat kita lagi ngapain? Yaudah gak usah nanya lagi," balas Asyraf. Malah cowok itu yang ngegas.
Arkan mengerucutkan bibir, kakinya melangkah mengahampiri empat orang itu. Ia memperhatikan Aimi, kedua telapak tangannya mengatup dadu, cewek itu sibuk memejamkan mata dengan mulut komat-kamit melafalkan doa agar angka yang keluar sesuai dengan harapannya. Ini menegangkan, jika dadunya mengeluarkan angka 4 maka cewek itu akan menang sedangkan jika yang keluar angka 2 maka cewek itu harus siap turun jauh karena ularnya cukup panjang dan Aimi berharap keberuntungan memihak padanya. Jelas, dia tidak mau kalah dari Kakak juga Adik sialannya itu.
"Semoga dua.. Semoga dua..," ujar Asyraf antusias.
Sedangkan Aldo, yang dilakukannya hanya duduk bersila dengan telapak tangan menumpu dagu, pasrah. Aldo tidak mengerti juga mengapa dadu yang ia lempar selalu mengeluarkan angka yang salah. Lagi-lagi dia dapat ular lalu turun, begitu terus.
"Cepet elah," ujar Aldo kesal. Dadu itu masih saja tidak keluar dari telapak tangan Aimi.
"Iya Kak, ayo!" imbuh Zeta yang mulai gereget. Ular tangga adalah permainan favorit Zeta, Azka, juga Jihan dulu. Tentu saja dia tidak menyangka jika ketiga saudara Arkan itu akan mengajaknya bermain ini. Sangat mudah, Zeta sudah terlebih dahulu menang dan mengalahkan ketiga orang ini.
"Bentar, bentar doa gue belum selesai," balas Aimi dengan mata masih tertutup.
"Udahlah Mi, cepetan." Kini giliran Asyraf yang ikut bersuara.
"Itung, ayo itung biar greget," suruh Aimi membuat Zeta mengajukan dirinya untuk menghitung.
"Satu.."
"Dua.."
Sebelum Zeta mengatakan 'tiga', Aimi, Aldo, dan Asyraf menutup mata mereka sambil melafalkan doa, membuat Zeta ingin terus tertawa karena melihat tingkah ketiganya.
"Semoga angka 4," ujar Aimi.
"Semoga angka 2," ujar Asyraf.
"Semoga dapat angka yang terbaik aja," ujar Aldo menambahi. Dia tidak tahu harus berdoa apa.
Arkan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Sepenting itukah permainan ini bagi mereka? Arkan membuang napas gusar. Biarkan, biarkan saja ketiga Kakaknya itu mau bertingkah seperti apa. Arkan sudah biasa dengan semua drama ini.
"Tiga.." Aimi melempar dadunya ke atas lantai, dengan mata masih tertutup sama seperti Asyraf dan juga Aldo.
"JANGAN DIBUKA DULU MATANYA!" seru Arkan, menambah-nambahi adegannya seolah ia ikut mendukung permainan ini. Biarkan saja, biar puas sekalian.
"Kenapa? Yang keluar angka berapa, Ar?" tanya Aimi, penasaran.
"Dua ini, yakin gue," ujar Asyraf.
"Berapa? Berapa?" tanya Aldo ikut heboh.
Arkan diam, tangan kanannya mencekal tangan kiri Zeta yang duduk disampingnya membuat perempuan itu menoleh dengan tatapan bingung dan juga sebelah alis terangkat. Tanpa menjawab kebingungan Zeta, Arkan menariknya untuk pergi ke lantai atas. Hari ini, rencananya belajar bersama Zeta tidak boleh gagal.
"CEPETAN BERAPA?" ujar mereka bertiga kompak, membuat Arkan dan Zeta yang baru saja menaiki beberapa anak tangga tersentak.
"Punya mata dipake, liat itu angka berapa," ujar Arkan meniru gaya bicara Asyraf padanya tadi.
o0o
Angin datang membelai pipi Zeta dengan lembut, membuat Zeta mau tak mau harus menikmatinya. Saat ini ia sedang berdiri di balkon kamar Arkan. Tadi cowok itu menyuruhnya menunggu disini.
Zeta menikmati pemandangan komplek yang bisa ia lihat dari atas sini. Zeta ingat, dulu Azka sangat suka bermain basket sehingga Danu membuatkan lapangan basket di halaman rumah mereka. Cowok itu kadang mengajak teman-temannya atau juga bermain bersama Danu dan balkon selalu menjadi tempat yang dipilih Zeta juga Jihan untuk menonton cowok itu. Andai saja waktu bisa terulang kembali, mungkin Zeta ingin merasakan kebahagiaan itu lagi. Disaat semuanya baik-baik saja dan masalah tidak serumit sekarang.
Pintu balkon terbuka membuat Zeta menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri disana. Zeta menyipitkan matanya, lalu tersenyum kaku.
"Sorry, gue kira tadi lo itu Arkan," ujar cewek itu lalu berjalan mendekat dan berdiri di samping kanan Zeta.
Cewek ini ramah, tetapi entah mengapa Zeta merasa risi berada di dekatnya. Cewek ini adalah cewek yang dua hari lalu ia lihat bersama Arkan dan sempat mencium pipi cowok itu. Untuk apa dia ada disini? Apa memang benar dia itu pacarnya Arkan?
"Arkan mana?" tanya cewek itu.
"Katanya ada yang mau diambil, gue disuruh tunggu di sini," jawab Zeta berusaha ramah.
Cewek itu manggut-manggut, lalu ia menoleh, memperhatikan Zeta yang berdiri di sampingnya. "Lo pasti yang namanya Zeta kan?"
"Iya."
"Gak salah sih, lo emang cantik," katanya membuat Zeta mengerutkan dahi.
"Maksud lo?"
"Gak apa-apa," ujar cewek itu lagi seperti tidak mau menjelaskan lebih.
Mereka berdua terdiam cukup lama dan berkutat dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Zeta mengumpulkan keberanian untuk membuka pembicaraan.
"Lo gak cemburu?" pancing Zeta. Jika ia tidak bisa mendapat informasi cewek ini dari Arkan maka dia harus mendapatkannya langsung dari cewek ini. Lagipula ia sudah terlanjur kepo dengan hubungan dua orang ini.
Terlihat saat Zeta selesai bertanya, cewek itu sedikit terkejut, dan ia tidak mengerti arah pembicaraan Zeta.
"Cemburu gimana?" tanyanya, bingung.
"Lo gak cemburu gitu kalau gue belajar bareng Arkan hari ini?"
"Enggak."
Zeta bingung saat cewek itu menjawabnya dengan nada biasa saja, terlihat seperti dia sama sekali tidak cemburu. Zeta pikir seorang pacar akan cemburu jika pacarnya berduaan dengan perempuan lain, tetapi cewek itu terlihat tidak sama sekali.
"Kenapa lo nanya gitu?" sekarang giliran cewek itu yang bertanya pada Zeta.
"Karena lo pacarnya Arkan dan gue rasa lo berhak cemburu," jawab Zeta.
"Pacar? Pacarnya Arkan?" tercetak kebingungan di wajah cewek itu. "Kata siapa?"
Zeta berdecak, kenapa cewek ini jadi bertele-tele. "Lo pacarnya kan? Maaf, tapi gue gak sengaja liat lo cium pipinya Arkan waktu itu, dan gue rasa kalian pacaran, bener kan?"
"Cium pipinya Arkan? Dimana dan kapan lo liat itu?"
"Di gerbang SMP Rajawali, dua hari yang lalu."