Zeta menunduk, memfokuskan tatapannya pada benda pipih berwarna hitam yang ada di atas meja belajar. Cewek itu menggigit bibir bawahnya sembari mengetuk-ketukkan ujung telunjuknya ke atas meja, menandakan bahwa ia sedang gelisah.
"Telpon, enggak.. Telpon, enggak.." Semenjak pulang dari rumah Arkan, tak henti-hentinya ia melafalkan kalimat itu.
Zeta mendengus, "Katanya tadi mau nelpon, tapi gak ditelpon juga."
Zeta berdiri dari duduknya, mengambil ponsel, dan beralih menggenggamnya. Cewek itu berjalan ke arah kasur hingga berakhir menghempaskan tubuhnya ke atas benda empuk tersebut.
Saat matanya menatap penuh pada layar ponsel, tiba-tiba saja sebuah bantal melayang dan mendarat di tangannya, membuat benda persegi panjang yang ia genggam itu jatuh mengenai jidatnya.
"Aw!" rintih Zeta sembari mengelus pelan jidatnya, lalu cewek itu kembali duduk, dan menatap tajam ke arah si pelaku yang berdiri tak jauh darinya. Orang itu sedang melipat tangannya di depan dada dengan lengan kanan yang sengaja ia senderkan di lemari.
"Bagus ya, berasa kamar sendiri gitu?" sindir orang itu sambil mendengus di akhir kalimatnya, sementara Zeta hanya cengar-cengir menanggapinya.
"Duduk atuh, neng," ujar Zeta sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Ngapain sih lo ke rumah gue? Udah gitu, main nyelonong aja lagi ke kamar gue," ujar Vira kesal, lalu mengambil duduk di samping Zeta.
"Bosen di rumah, Ra. Lagian lo jahat banget sama teman sendiri, kita kan best friend," balas Zeta dengan wajah memelas, berharap agar Vira kasihan padanya.
Vira menggulung rambutnya ke atas lalu membalikkan badan, mengubah posisi duduknya dengan tengkurap. Sambil mengotak-atik ponselnya cewek itu berucap, "Kalau butuh aja, bilangnya best friend."
"Diantar siapa lo ke sini?" tanya Vira tanpa memalingkan wajahnya.
"Sama Arkan."
Kedua alis Vira hampir bertemu, cewek itu menarik lengan Zeta dalam sekali sentak, agar Zeta merebahkan badannya di sampingnya.
"Ta, gue udah bilang kan.."
"Iya gue tau," jawab Zeta cepat. "Tadi gue cuma belajar bareng di rumahnya, terus dia mau nganter gue pulang. Tapi karena gue males balik ke rumah, yaudah gue minta anterin ke sini."
"Sedekat itu kalian sekarang?" tanya Vira.
Zeta mengerutkan dahi, "Deket gimana? Cuma teman, Ra."
Vira merotasikan bola matanya, "Ya, ya, ya. Terserah lo!"
Setelah kalimat terakhir yang Vira ucapkan, mereka sama-sama diam. Dengan Vira yang sibuk mengubrak-abrik akun sosial medianya dan Zeta yang terus menatap penuh pada ponsel yang sudah mati yang ada di genggamannya, berharap benda itu menyala dan menampilkan panggilan masuk dari seseorang yang ia tunggu sejak tadi.
o0o
Arkan mendengus kasar seiring ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Cowok itu menatap kosong ke arah langit-langit kamar sembari menguatkan kepalan tangannya.
Pikirannya kini benar-benar kacau, cowok itu perlahan menghela napas panjang, lalu menghembuskannya.
Tak berselang lama, seorang perempuan dengan rambut dikepang itu datang dan merebahkan tubuhnya di samping Arkan. Terlihat dari raut wajahnya, perempuan itu seolah kecewa.
"Kalau lo ke sini cuma mau bahas kejadian di rumah sakit tadi, mending lo keluar!" ujar Arkan dengan nada tenang. Tanpa menoleh pun, ia tahu siapa perempuan yang ada di sampingnya ini.
Kanya mendengus, "Harusnya, lo denger dulu penjelasan dia tadi."
"Buat saat ini, gue lagi gak mau tau apa-apa. Lo ngerti kan?" ujar Arkan berusaha meredam kekesalannya.
Kanya menoleh ke samping kanan, menatap Arkan yang sedang tidur-tiduran disampingnya dengan manik mata masih lurus ke langit-langit kamar.
"Kapan masalah bakal selesai kalau lo ngehindar terus? Kapan lo mau nurunin ego lo itu, Ar? Lo ataupun gue, kita sama-sama gak tau kejadian sebenarnya," ujar Kanya dengan suara sedikit meninggi dari sebelumnya.
Cewek itu duduk, "Yang harus lo tau, masalah gak akan selesai kalau kita gak mau nyoba buat cari jalan keluarnya."
Tidak ingin menimbulkan pertengkaran. Arkan ikut duduk, manik hitam pekat itu menatap dalam ke arah Kanya. "Untuk kali ini aja, Nya. Jangan bahas ini dulu," ujarnya dengan suara memelan.
Kanya membuang napas perlahan, bibir merah muda itu segera menampilkan senyum, lalu ia kembali merebahkan badannya lagi. "Oke, tapi gue ngungsi di kamar lo dulu ya?" pintanya pada Arkan membuat cowok itu membentuk mimik wajah heran.
"Kamar lo kebanjiran gitu, sampai lo harus ngungsi di kamar gue?" tanya Arkan dengan wajah polosnya.
"Lebih dari kebanjiran," jawab Kanya dengan wajah serius. "Lo tau gak? Kamar gue dijadiin Kak Aimi sama teman-temannya buat tempat nonton drakor kesayangannya dia, lo bisa bayanginkan gimana ketentraman yang gue bangun sepenuh hati sejak tadi runtuh gitu aja," sambungnya dengan nada kesal.
Arkan terkekeh mendengar pengakuan dari Kanya. "Dia pasti mau menyebarkan virus korea-korea itu sama lo," ujar Arkan mulai menebak niat busuk Kakak kedua mereka itu.
"Itu dia, kenapa coba gak mau di kamarnya aja? Gue harus dengan lapang dada mengungsi ke kamar lo ini kan jadinya."
"Jadi lo gak seneng di sini? Pergi aja lo sana!" balas Arkan seolah berlagak mengusir kembarannya itu.
Namun yang dilakukan Kanya adalah berguling-guling di atas tempat tidur Arkan, menghilangkan kegabutannya sambil menatap penuh harap pada ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
"Gimana kalau kita taruhan, Ar?" ujar Kanya. Cewek itu duduk kembali dengan posisi bersila, lalu meletakkan bantal ke atas pahanya sambil menghadap lurus ke arah Arkan.
"Taruhan apa?"
"Kalau dalam lima menit Kak Raka telepon gue, lo harus traktir gue makan bakso malam ini."
"Kalau dia gak nelpon lo?"
Kanya mengangkat kedua bahunya, "Ya gue lah yang bakal nelpon dia," ujarnya enteng membuat tangan kanan Arkan terulur untuk menoyor kepala cewek itu.
"Itu sama sekali tidak menguntungkan," jawab Arkan jengkel. "Dimana-mana sebuah taruhan itu menjanjikan keuntungan kalau gak untuk satu pihak pasti untuk pihak lain, tapi yang lo buat itu seolah menguntungkan lo doang," sambungnya.
Kanya mengelus pelan kepalanya. Padahal dia hanya bercanda tadi, tetapi Arkan malah berpidato sok benar. Tak lama ia teringat sesuatu, hingga akhirnya cewek itu menarik-narik baju Arkan membuat kembarannya itu menoleh, dan menampilkan wajah tanda tanya.
"Inget gak, waktu lo curhat sama gue tentang Zeta yang batalin ketemuan kalian buat ke taman dekat SMP Rajawali. Sampai sekarang lo belum tau kan apa alasan dia batal nemuin lo waktu itu?"
Seperti tertarik akan topik ini, Arkan yang awalnya berniat turun dari tempat tidur untuk keluar kamar mengurungkan niatnya. "Lo tau alasannya apa?"
"Taulah, apa yang gak gue tau tentang lo?" Dengan percaya dirinya, Kanya menyampirkan rambutnya yang dikepang rapi itu ke bahu sebelah kanan, lalu mengibaskannya dengan sombong. Entah, Arkan tidak mengerti apa keuntungan yang Kanya dapat setelah melakukan itu. Ingin rasanya Arkan mencibir cewek itu tetapi ia urungkan.
"Apaan?" tanya Arkan tidak sabaran. Walaupun dia juga tidak tahu darimana Kanya mendapatkan informasi itu. Dia malah percaya-percaya saja, tidak berpikir apakah nanti cewek itu berbohong atau berkata jujur padanya.