Sampah berserakan, buku-buku berhamburan, serta baju-baju tak lagi tersusun rapi di tempatnya. Semua hancur, semua porak-poranda mengelilingi seorang anak mungil yang tengah menangis histeris yang enggan menunjukkan muka.
Ditemani suara gemuruh dibalik awan hitam pekat, disusul butiran air yang terjun bebas tak kenal takut seakan bersahut-sahutan tak henti.
Cahaya datang menerobos masuk dari ventilasi, jatuh tepat pada anak perempuan itu seolah menjadikannya sebagai sorotan dari semua benda mati disekitarnya.
Tangannya mulai bergetar, dadanya mulai sesak, serta peluh terus membanjiri pelipis hingga lehernya. Ia terus berusaha dan berharap agar tangan dan kakinya yang terikat dapat lepas.
Pintu terbuka, menampilkan seorang anak laki-laki dengan tinggi tak jauh berbeda dari anak perempuan itu. Anak itu mendekatinya, berjalan perlahan tanpa suara seraya membawa pisau. Matanya lurus pada satu objek, membuat anak perempuan yang menjadi objeknya itu mendadak pucat pasi.
Anak perempuan itu semakin menangis, ia makin takut, hingga beranggapan bahwa semua yang ia pikirkan akan terjadi saat ini juga.
Anak itu mulai mendekat, mengikis jarak mereka yang kian menipis, dan sekarang, bahkan jarak mereka tinggal sejengkal. Ia berhenti lalu berjongkok, tangan kanannya perlahan membuka lakban hitam yang menutupi mulut anak perempuan itu.
Setelahnya, tangan kiri anak itu mengangkat pisau yang ia genggam ke arah yang ia incar sedari tadi. Memang ini tujuannya datang kemari, membuat anak perempuan itu semakin pasrah dan memejamkan matanya dalam-dalam.
"Tiiiiiiiiiiiiiiiiidaaaaaaaaaaaaaaak."
Anak laki-laki itu membulatkan mata, dengan cepat ia membekap mulut orang di depannya ini dengan telapak tangannya. Susah payah ia datang ke sini, dan anak ini hampir saja mengacaukan semuanya.
"Shuuut, diam!" suruh anak laki-laki itu setengah berbisik membuat anak perempuan yang pucat pasi ini langsung membuka matanya.
"Aku ke sini cuma mau bantuin kamu, jadi kamu jangan takut," ujarnya lagi. Jelas dia mengerti ketakutan yang menyelubungi anak perempuan ini.
Tangannya kembali mengarahkan pisau itu, bukan untuk melukai anak perempuan itu tetapi ia pakai untuk melepas tali yang mengikat tangan dan kaki anak yang ada di hadapannya.
Terlepas, ikatan itu benar-benar lepas. Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu tersenyum ke arah anak laki-laki yang baru saja membantunya.
"Shut! Cepetan keluar!" tiba-tiba suara dari arah pintu membuat mereka berdua menoleh.
Anak perempuan itu tersenyum senang. "Rangga!" soraknya, lalu berlari ke arah pintu dan memeluk orang tersebut.
"Kamu gak apa-apa kan, Ya?" tanya Rangga pada anak perempuan yang biasa ia panggil Lia.
"Aku takut," jawab Lia. Badannya bergetar dalam pelukan anak laki-laki itu.
Rangga tersenyum, pelukannya melonggar sebelum akhirnya lepas.
"Itu teman kamu?" tanya Lia, telunjuknya mengarah pada anak laki-laki yang tadi membantunya. Anak itu tersenyum ke arah mereka, pisau yang tadi ada ditangannya sudah ia biarkan tergeletak di atas lantai.
"Iya, namanya Arkan," jawab Rangga, kemudian tangannya menggenggam tangan anak perempuan yang berdiri di sampingnya, membuat anak yang dipanggil Lia itu menoleh, "Ayo, kita pergi dari sini!"
Tak butuh waktu lama akhirnya dengan hati-hati mereka keluar dari tempat itu. Aneh, seharusnya ada penjaga yang menjaga di pintu depan. Tetapi saat itu tidak ada satupun yang berjaga seolah mereka memberikan peluang berupa kemudahan pada ketiga anak ini untuk keluar dengan bebas.
"Tunggu!" anak bernama Lia itu mencekal tangan anak yang tadi menolongnya sebelum anak laki-laki itu berniat pergi.
"Makasih kamu udah nolongin aku," ujar Lia tulus. Lalu tangannya bergerak ke belakang kepala, meraih ikat rambut yang ia pakai, dan melepasnya.
"Untuk apa?" tanya Arkan saat melihat Lia menyodorkan ikat rambut karet berwarna hitam padanya.
"Aku gak tau gimana aku tadi kalau gak ada kamu," ujar Lia. Sementara Arkan hanya diam, masih enggan untuk mengambil barang itu. Ia memperhatikan Lia yang berdiri di depannya, anak perempuan yang awalnya dikuncir kuda itu kini rambutnya sudah digerai, dibalut senyuman yang menimbulkan lesung pipi tipis di pipi sebelah kanannya membuat ia terlihat sangat manis.
"Terima ya, anggap aja sebagai tanda terima kasih aku," tambahnya lagi.
Cukup lama mereka terdiam hingga akhirnya Rangga menyikut pelan lengan Arkan, "Cepetan ambil, Ar!" ujar anak laki-laki itu. "Nanti kita ketahuan."
Setelah Arkan menerima ikat rambut itu, bergegas mereka bertiga berlari ke tempat dimana Arkan dan Rangga meletakkan sepeda mereka, lalu secepat mungkin mereka pergi dari tempat itu dengan Lia yang dibonceng oleh Rangga.
Mereka berhenti di pertigaan, Rangga menoleh pada Arkan untuk memberikan kode pada temannya itu agar pulang lebih dulu karena ia harus mengantar Lia. Arkan mengangguk paham, lalu matanya ia jatuhkan sekilas pada Lia yang sedang berdiri sembari memegang bahu Rangga, dengan kaki yang menginjak pijakan yang ada di antara ban sepeda anak laki-laki itu.
"Aku antar kamu pulang yah, Ya?" ujar Rangga menyadarkan Lia saat memastikan Arkan sudah berjalan mendahului mereka. Anak perempuan yang berstatus sebagai sahabatnya itu mengeratkan pegangannya pada bahu Rangga dan mengangguk.
"Makasih ya Ga, udah nolongin aku," ujarnya. Kemudian mata anak perempuan tersebut memperhatikan Arkan yang sudah berbelok ke kanan dan hilang dari pandangannya.