Zeta menghentikan langkahnya saat tiba disebuah danau. Matanya menatap lurus pada genangan air yang tenang itu. Perlahan kakinya kembali melangkah, diiringi semilir angin yang menyapa wajah juga ikut menerbangkan sebagian rambutnya yang tergerai. Tangan kanannya bergerak menyimpan beberapa helai rambut ke belakang telinga dan tangan kirinya masih setia menggenggam setangkai bunga mawar merah yang dibungkus plastik. Bunga itu ia beli di pinggir jalan saat menuju ke sini.
"Kenapa kita ke danau, Ga?" tanya Zeta kala itu pada Rangga yang tengah menyenderkan sepedanya di pohon dekat Zeta berdiri.
"Kenapa, gak suka? Gue ngajakin lo ke sini biar gak ketahuan sama Ibu."
Zeta tersenyum saat memandang danau yang ada di depannya. Lalu tangannya meraih tangan kanan Rangga dan menggiring cowok itu untuk berjalan ke pinggir danau.
"Aneh aja, biasanya kita mainnya di atas pohon."
"Ibu gue udah hapal sama kebiasaan kita yang itu makanya gue ngajakin lo ke sini karena tempat ini gak bakal didatengin sama Ibu."
Zeta tertawa, entah mengapa ia langsung teringat bagaimana wajah kesal Ibu Rangga atau Papa-nya saat tahu mereka berdua masih sering bermain. Selalu dimarahi pun tidak membuat mereka menyerah, Rangga dan Zeta selalu punya cara untuk tetap bisa berteman.
"Lucu ya kita, udah tahu dilarang masih aja suka ngelanggar. Kita temenan udah hampir empat tahun, sekarang udah kelas delapan. Mau sampai kapan kita kucing-kucingan terus? Gue berasa jadi buronan kalau kaya gini. Tapi aneh sih, kenapa nyokap lo sama bokap gue kompak banget buat misahin kita. Apa jangan-jangan ada sesuatu?"
"Mungkin," jawab Rangga sekenanya. Cowok itu menenggelamkan tangan kanannya ke dalam kantong celana biru tua yang ia pakai. Mereka ke sini tepat saat pulang sekolah dengan seragam khas SMP yang masih membalut badan mereka dan tas yang juga masih tergantung dipunggung mereka.
Zeta mengulum senyum saat bisa melihat Rangga dari jarak sedekat ini. Tiba-tiba saja cewek itu seolah kehabisan kata-kata.
"Ga.. Gu-gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar Zeta sembari meremas-remas tali tas yang menggantung di punggungnya.
"Ngomong aja."
Zeta menggigit bibir bawahnya, "Gu-gue suk, suk--"
"Ah, iya! Gimana kalau kita lomba lempar batu?" Rangga yang wajahnya semula tenang kini berubah gelisah. Seolah teringat sesuatu, cowok itu dengan cepat memotong ucapan Zeta sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.
"H-hah?" kening Zeta berkerut.
Rangga mengambil beberapa kerikil yang ada di dekat kakinya, lalu memberikan satu pada Zeta. "Siapa yang lemparannya paling jauh dia menang dan bakal dibonceng sama yang kalah."
"Gimana-gimana?"
"Jadi kalau gue menang lo wajib bonceng gue sampe rumah, begitu juga sebaliknya. Gimana?"