"Tidak akan sempurna manusia bila kepala dan bahunya belum menyatu!" Ucapan itu berlalu begitu saja, menghentak dan mengguncang sanubari, bagai petir di tengah matahari yang menyeringai panas. Hening menyelimuti seketika, hanya terdengar rintik hujan yang mengetuk kecil atap seng rumah panggung itu. Dibawah kolong rumah, ayam-ayam sesekali berkokok sumbang lebih awal dari waktu biasanya. Derik jangkrik berdendang nyaring, beriringan dengan erangan kuda dikandang sebelah yang juga sesekali terdengar samar, ditambah pula aroma tak sedap bunga porang yang menguar tajam dikala musim hujan. Semuanya berpadu, silih berganti, namun itu sama sekali tak mampu memecah kebekuan yang kalut, meliputi malam dingin yang sedang menuju pertengahan. Pada bagian tengah ruangan rumah, di atas lantai papan yang kian lapuk, terbentang sebuah tikar dari anyaman pandan. Duduklah dua orang Tetta dan Anak. Sebuah pemandangan yang jarang di jumpai dalam keluarga kecil itu.
Beberapa menit telah berlalu, namun mereka masih larut luruh dalam hening, tak ada selontaran kata sedikit pun yang terucap, maka bertahtalah kebisuan, berkuasalah kesunyian. Hanya jari telunjuk Tettanya yang sesekali menepuk-nepuk gelas didepannya yang menciptakan bunyi tak berarti. lamat-lamat dipandangnya putranya itu, namun ia sama sekali tak bermaksud menyorot wajah yang sudah mulai memerah padam, tetapi pandangan yang sedianya menembus pikiran pemuda yang bergeming di hadapannya, dengan kepala tertunduk, diam termangu, yang hanya mampu mengelusi rambutnya, mengelap wajahnya dengan tangan yang kian ringkih.
Kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Tettanya telah mengguncangnya begitu kuat, membuat suasana malam menjadi getar yang tak kunjung kelar. Namun, ditengah kegamangan itu, tiba-tiba sepatah dua kata kembali terucap dari mulut tettanya, seraya melanjutkan ucapannya yang baru saja berlalu. "janganlah kau bentangkan pikiranmu terlalu panjang, jika nantinya akan kusut. Gulunglah dan luruskan sebelum kalut. Sudahkah kau memetik bunga yang tak akan layu di hatimu? yang tak akan pernah pasai di matamu? Jika belum, pergilah dan semai, selagi Tetta dan Amma'mu masih hidup!" Lalu mulut itu kembali berucap. "Sungguh aku ini sudah sangat ingin melihatmu berdiri di surambi sambutan, mengenakan gaun satin sutra lembut yang membalut di tubuhmu, laksana Raja dan Ratu yang di songsong banyak orang dengan riang gemilang, menaburkannya butiran demi butiran beras di kepalamu, di iringi talu gendang yang ditabuh, lalu mengucapkan larik larik indah untukmu. Di saat kakimu menapaki anak tangganya. Mereka akan mendoakanmu dengan pengibaratan yang sempurna, panjang benang di Jawa, lebih panjang umurmu, Luasnya lautan, lebih luas pikiranmu dan Tingginya gunung Bawakaraeng lebih tinggi Mertuamu"
Sungguh ungkapan itu semakin tajam, bejibun makna dan tanpa tanding, bahkan sekelas pemuda terpelajar yang duduk bersimpuh di hadapannya pun dibuatnya tak berdaya. Kalimat itu di ucapkan dengan seksama tanpa tedeng aling-aling. Nadanya tegas, mantap bertenaga. Seorang Tetta yang sudah tak sabar lagi ingin menimang-nimang cucu dari seorang anak yang sudah lama tumbuh menjadi dewasa, umur yang sudah beranjak tiga puluh tahun, sudah lebih dari kata pantas tentunya. Sebagaimana lazimnya para muda-mudi di kampungnya, yang biasanya akan menikah di usia 25 tahun, bahkan di usia yang lebih muda dari itu. Diantara teman sejawatnya waktu SD, sungguh hanya dia. Ya, dia Arif, Muarif, yang sampai detik ini belum juga mematri dalam hati untuk menikah, belum juga ada niat meminang seorang gadis untuk di peristrikannya. Entah apa yang membuatnya nyaman bertahan menjadi lajang berkepanjangan.
Diamnya Arif di tengah suasana beku itu bukan berati tak memahami dan tak mengerti selubung makna di balik ungkapan Tettanya yang bersayap itu, justru ia tahu belaka, dan karenanya ia membisu, mengatupkan mulutnya. Hatinya penuh debur dan degup tak tertahankan, serta pikirannya mengambang ke suatu tempat yang tak dikenalnya.
Tubuh dewasa itu seketika menjadi luruh. Di depan Tettanya, Arif tak ubahnya seorang bocah yang tak tahu menahu duduk persoalan, atau barangkali layaknya seorang tersangka yang di jejali ratusan pertanyaan dan membuatnya tak mampu beralibi. Dan benar saja, waktu terus beranjak namun semua tak kunjung kelar, pemandangan masih sama, sepasang Tetta dan Anak, saling berhadapan di atas tikar pandan dalam hawa gamang.
Masih saja bibir itu kelu, tak mampu meluncurkan seutas kalimat, paling tidak kata iya atau tidak, untuk sebagai jawaban pada Tetta yang sedari tadi menunggu penuh harap.