Sehari telah berlalu sejak malam yang mendebarkan itu. Arif masih terombang-ambing dalam kebimbangan. Dia sama sekali belum membulatkan hatinya, juga belum berani memberi kata setuju kepada Tettanya, meski dia tahu betapa besar keinginan Tetta' dan Amma'nya melihatnya duduk di singgasana pengantin.
Di sudut rumah panggung yang sudah reyot itu, Arif duduk sendiri seperti merenung jauh ke depan. Dia mencoba mencari jawaban ditengah kerumitan pikirannya sendiri. Di kepala Arif, hanya cita-citanya yang bersengkarut di dalamnya, dan seakan-akan tak ada ruang sedikitpun memikirkan untuk akhiri masa lajangnya.
Dari arah tangga, terdengar suara kaki berderap perlahan, naik satu persatu mengikuti jenjang lapisan kayu jati itu. Muliati Daeng Kebo. Ia baru saja selesai memetik daun ubi di kebun belakang rumahnya. Di atas balutan sarung batik yang melilit di kepalanya, dia memanggul dengan hati-hati baskom enamel loreng burik hijau yang berisi daun-daun ubi dan beberapa buah pepaya muda. Di ujung tangga, dan dengan perlahan dia mendorong pintu yang setengah terbuka dengan tangan yang kian rapuh. Dan dengan begitu, ia pelan memasuki ruangan. Di dalam, dia mendapati anaknya yang tampak terdiam dalam tatapan mata yang kosong. Arif gelisah, ya, itu jelas dari tangannya yang tak pernah berhenti mengelusi keningnya. Baskom enamel itu segera Ia taruh di dalam dapur dan kembali melangkah mendekati Anaknya. Dengan penuh kehangatan seorang Ibu, ia duduk tepat di kursi bambu kosong di sebelahnya, dan bahu yang kekar itu di tepuknya dengan lembut. "Tetta dan aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak" katanya lembut. Dan tangan itu masih menempel di bahunya. Arif menoleh pada Amma'nya, sorot matanya penuh dengan pertanyaan. "Aku tahu ini yang terbaik untukku, tapi aku merasa belum siap, masa depanku masih panjang, aku kira belum waktunya amma'"
Dengan tenang Bu muliati tersenyum mendengar ucapan anak sulungnya, dan tangannya kini beralih mengusapi rambutnya. Ia seperti menemukan kembali bocah kecilnya puluhan tahun yang lalu. Bocah yang selalu ingin di manja. "Aku mengerti Nak, Tapi jangan biarkan impianmu menjadi alasan untuk menunda kebahagiaanmu" katanya lembut "Katakan sama Amma', kau sudah punya pujaan hati bukan?"
Arif terdiam setelah diakhir pertanyaan Amma'nya. Dalam benaknya, itu seperti pengulangan pada saat berhadapan dengan Tettanya di atas tikar pandan itu. Jelas kening itu mengerut dan pikirannya melambung jauh, tak jelas perempuan mana dan orang mana yang tergambar di kepalanya.
Sejenak menjadi hening, kegamangan kembali menyelimuti. Arif menarik napas dalam-dalam lalu Ia arahkan pandangannya di sela jendela rumah, seolah mengamati matahari perlahan tenggelam di balik rimbunan pohon ketapang di luar sana. Sementara Bu Muliati tampaknya sudah tidak sabar lagi untuk mendengar bibir itu mengucapkan nama sang pujaan hati. Namun, Arif tiba-tiba menjadi binal. Ia masih menahan suaranya. "Orang manakah kekasihmu itu Rif? Apa teman kuliahmu dulu? Apakah dia juga sudah bekerja?" Bu Muliati tak menyerah, Ia terus menjejali pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu juga, tentu ini makin menambah kecamuk dalam pikiran Arif. Lidah yang ramah tiba-tiba menjadi pejal, dan ia terus berupaya mencari keringanan lidahnya, seperti ringannya ketika ia berbicara di dalam sebuah forum, seperti garangnya ketika ia menyerukan equality before of the law. Tapi, ini jauh berbeda, mahkota dihadapannya melampaui mahkota Ratu. "Dulu memang pernah ada amma " Kelar juga akhirnya, namun itu belum jelas, suara itu sangat berat, dan terdengar parau. Kali pertama Arif mendapati satu kesan yang tak pernah di alami sebelumnya. Meski terasa kikuk, Ia berusaha berani membuka diri berbicara soal perasaan di hadapan Amma'nya.
"Tapi itu sudah berakhir setahun yang lalu amma' " Arif menambahkan dalam kecanggungannya.
Bu Muliati diam, tangan itu kembali melesat di bahunya, mengusapnya perlahan dan pupil hitamnya yang teduh terus memandangi anaknya itu. "Apakah dia membuatmu kecewa nak?" Berusaha mendalami dengan suara pelan, sejuk dan tenang. "Dia membuatmu sakit hati?" Di ulanginya kembali pertanyaan itu.
"Tidak. Kami akhiri baik-baik"
"Kenapa?"
"Karna kami tidak menemukan kecocokan. Kami berbeda pandangan"
Kelegaan dalam hatinya sedikit demi sedikit ia mulai rasakan. Arif baru menyadari, ternyata Bu Muliati bukan hanya hebat mengurusi urusan dapur, jagonya membereskan rumah, lincahnya memetik sayuran, tapi Ibu yang memberi kehangatan dalam sentuhannya, ibu yang bisa menjadi teman yang nyaman untuk mencurahkan isi hati.
"apa kamu tidak berniat mencari yang lain Rif?" Bujukan itu kembali melenting. "Atau Tetta' dan Amma' yang Carikan?
Arif terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Tidak amma' , Aku belum siap .. belum lagi sekolah Advokatku belum selesai"
Jauh di pikiran Arif, sebenarnya ia tak hanya memikirkan masa depannya tapi juga masalah uang panai' mengingat kondisi ekonomi keluarganya dalam keadaan tidak baik-baik saja, sementara ia pun belum juga mapan untuk menggantikan tanggungjawab kedua orang tuanya.
"Kapan sekolahmu itu selesai?"
"Aku belum tau kapan pastinya"
"Tapi Nak" ucap Bu Muliati dengan nada khawatir.
Arif terdiam, ia menengadahkan kepalanya lalu ia menemukan mata Amma'nya yang mulai tampak temaram itu.
"Kenapa Amma?"
"Masih lama kah, Nak?"
Kepala itu kembali menunduk. Arif benar-benar terdiam dan sepertinya itu akan lama. Dia tak tahu mau bilang apa lagi. Ia melihat kekhawatiran yang tampak dari sorot mata Amma'nya. Otak dalam kepalanya terasa seperti meleleh. Tiba-tiba ia mengiba dengan Amma'nya. Ia pandangi sekujur tubuhnya, Tubuh yang makin hari makin renta dimakan usia, namun cucu belum kunjung ditimang.
"Ingatlah Nak, hidup adalah tentang perjuangan. Terkadang kita harus menghadapi ketidakpastian untuk mencapai kebahagiaan sejati" Nasehat bijak itu meluncur ditengah kebisuan Arif. Ternyata tutur bahasa Bu Muliati tak kalah hebatnya dari Pak Samad, meski ia hanya perempuan biasa, dari keluarga miskin pula dan hanya tamatan SMP.
Di tengah kesenyapan yang sarat dengan makna, Arif membiarkan kata-kata Amma'nya meresap ke dalam benaknya. Kini Arif benar-benar berada dalam suatu pergulatan batin. Belum lama ia melewati ketegangan dengan Tettanya, kini ia kembali di gempur oleh sosok yang paling dia hormati. Situasi pelik yang di hadapi Arif membuatnya seperti seorang pelaut yang terdampar di lautan gelap, dan tak tahu arah yang harus diambil.
Sampai hari sudah mulai gelap. Diamnya Arif makin lama makin larut, kepalanya hanya bisa menekur ke lantai papan itu.
"Ya sudah nak, pergi mandi sana. Sudah sore" ujar Bu Muliati mengakhiri percakapan getir itu.
***
Deru Adzan Magrib baru saja berlalu. Sebuah kopiah hitam tegak mantap di atas kepalanya. Tubuh yang sedikit kekar, terbungkus dalam jubah putih berbahan katun. Sajadah merah tua bergambar Baitullah menggantung di pundaknya, sarung sutra melingkar erat di pinggangnya menutupi bawahannya, yang semuanya itu di lumuri wewangian beraroma bunga lavender. Muarif, dengan perlahan ia melangkah menuruni tangga rumahnya. Motor tua di depannya segera ia nyalakan mesinnya, menaikinya, lalu melaju di antara rumah-rumah panggung menuju masjid.
Di dalam masjid, suasana khusyuk menyelimuti ruangan. Pak Samad yang lebih dulu datang tengah duduk bersila dalam dzikir menunggu Iqamah. Orang-orang tua, Anak muda, para bocah. laki-laki, perempuan mulai berdatangan satu per satu untuk mencari reda Ilahi. Shaf pertama mulai terisi para makmum, disusul oleh shaf kedua dan ketiga. Di belakang mereka, para ibu berbaris rapi dan tenang, juga bersiap-siap untuk menunaikan salat Maghrib berjamaah.
Iqamah pun telah dikumandangkan oleh sang Bilal, suaranya menggema dalam ruangan masjid. Pak Samad berdiri di mihrab dengan khidmat, Dan akan segera memimpin jalannya Salat Maghrib. Saat takbiratul ihram, hening sekejap merajai masjid. Suara-suara manusia yang sebelumnya memenuhi ruangan seketika menjadi sunyi, dan seolah-olah dunia di luar tembok-tembok masjid telah lenyap. Dalam keheningan ini, Pak Samad sang imam yang tengah berdiri di mihrab, mulai melantunkan Al-Fatihah. Dia membaca setiap ayat Al-Fatihah dengan suara yang merdu. Suara lembutnya meresap ke seluruh ruangan hingga menggema di antero dusun. Pak Samad kemudian melanjutkan dengan melantunkan ayat-ayat pendek. Setelah itu Imam dan makmum bersama-sama melanjutkan dengan rukun-rukun salat lainnya. Suara imam tetap menjadi pemandu yang menunjukkan langkah-langkah yang harus diikuti oleh makmum pada setiap sujud, rukuk, tahiyat hingga salam.
Setelah selesai salat Maghrib, suasana di masjid tetap khusyuk. Orang-orang tua yang sudah menunaikan salat, tinggal sejenak di atas sajadah mereka, berdoa, dan berzikir sebelum memutuskan pulang. Sementara itu, anak-anak kecil,berlari dan berhamburan ke luar masjid dengan tawa riangnya.
Para ibu di sisi lain masih sibuk merapikan sajadah mereka, melipatnya dengan cermat dan rapi. Beberapa di antara mereka masih mendekam dalam doa yang penuh kekhusyukan, sementara yang lain berbisik-bisik dan bermunajat dalam hati.
Muarif, pria ramah yang dikenal oleh banyak orang di malakaji, masih menyempatkan waktu untuk bersalam-salaman dan bertegur sapa dengan beberapa rekan semasa kecilnya dulu dan juga beberapa orang orang tua, yang semuanya itu berlangsung di pelataran Masjid.
Sementara itu, Pak Samad yang selalu beribadah dengan khidmat, masih tenggelam dalam doanya. Setelah selesai, ia memilih untuk pulang lebih dulu dengan motor butut Honda Win miliknya.
"Kapan datang, Rif?" tanya seorang teman di selah percakapan. Beberapa teman-teman lainnya juga tak ketinggalan mengajukan pertanyaan yang nyaris serupa. Mereka berbicara mengenai kehidupan sehari-hari dan sedikit mengenang masa-masa kecilnya dulu, yang terkadang membuat mereka tersenyum dan tertawa ringan. Sepintas kegamangan Arif tersapu olehnya. Lalu, Arif juga sesekali menanyakan perkembangan situasi di desa kepada orang-orang tua yang ada di sampingnya.
"Musim ini, kemungkinan banyak petani yang gagal panen nak." Keluh salah seorang tetua yang bernama Daeng Bella. Kertas rokok dan tembakau dalam genggaman tangan yang sudah siap dia gulung segera di ganti dengan sebungkus rokok yang Arif rogoh dalam kantong jubahnya.
"Kok bisa?" Tanya Arif kepada Daeng Bella sembari menyodorkan bungkusan rokok itu.
"Padi banyak dimakan tikus, nak. Kalau terjadi bencana seperti itu, biasanya orang-orang tua dulu percaya kalau ada sesuatu yang tidak baik di dalam kampung" Tandas Daeng Bella.
"sepertinya banyak pesundal di desa kita sekarang Rif" dengus orang tua lainnya yang tiba-tiba datang dari arah pintu masjid.
"Aah, sembarang saja kau kulle" Daeng Bella menukasnya.
"Mustahil ada asap tanpa api. Pasti ada sebabnya sehingga kita di timpa bala seperti ini" Daeng kulle nampaknya bersikeras untuk memberi pembenaran dengan ucapannya barusan.
"Iya, tapi jangan langsung menyimpulkan begitu!" Bantah daeng bella sekali lagi.
"Kan Daeng tahu, dua puluh tahun lalu pernah kejadian seperti ini. Hampir semua padi habis di serang hama tikus, akhirnya musim paceklik berlangsung selama berbulan-bulan. Banyak masyarakat mengalami kelaparan, juga banyak pencurian" Ujar Daeng kulle, tak mau kalah