BUNGA MALAKAJI

Muhammad Ridwan
Chapter #4

Ujung Pandang

Pada sebuah sore yang mendung. Di sebuah kost di jalan Mannuruki. Arif tengah bersiap-siap mengunjungi salah satu kedai kopi pavoritnya untuk bertemu dengan karibnya yang bernama Hengky. Kedai Kopi itu berdiri di pojokan, di samping bangunan tua yang tak jauh dari jalan raya. Arif selalu menemukan rasa nyaman untuk menulis dan berdiskusi di kedai itu.

   Di depan pintu kostnya, sepasang sepatu pantofel hitam mengkilap sudah membenamkan kedua kakinya. Celana jeans berwarna biru muda berpadu dengan kemeja kotak merah sudah membalut rapi ditubuh yang sedikit tegap itu. Rambutnya yang sedikit berombak, sudah tersisir apik ke samping. Sementara di pundaknya terpanggul sebuah ransel yang penuh dengan tumpukan berkas dan beberapa buah buku.

 Di kedai kopi itu, arif selalu merasa tertarik pada kursi sofa yang ada di tepi sudut kedai. Kursi empuk itu selalu menggodanya setiap ia memasuki pintu kedai itu, dan dia akan memilihnya jika tidak ada orang yang lebih dulu mendudukinya, sebab itu adalah satu-satunya sofa di antara puluhan kursi yang ada. Bukan hanya itu, disamping sofa, berdiri rak-rak dimana koran baru dan koran lama tersampir rapi di atasnya, tentu saja itu akan membuatnya lebih muda mengambilnya jika sewaktu-waktu ia membutuhkannya, terutama jika ia ingin memastikan tulisannya sudah termuat atau sama sekali belum. Kali lain, jika kursi itu dalam kuasa orang lain, maka ia akan bergeser lima langkah ke arah kiri dan akan memilih kursi plastik setengah usang. Di situ, Ia akan menghadapkan tubuhnya pada sebuah kotak aquarium dengan lampu kedap-kedip menyoroti ikan-ikan di dalamnya. Satu keunggulan dari kursi empuk tadi, paling tidak aquarium itu dapat memanjakan matanya jika ia rasa sudah mulai lelah atau sekedar mencari inspirasi jika tulisannya tertangguhkan sejenak ditengah ide yang tak kunjung datang.

   Daeng Tawang pemilik Kedai kopi itu dan hari ini kedainya tampak begitu sepi. Suasana yang biasanya ramai dengan pelanggan yang berbincang riuh tampak seakan-akan menghilang entah ke mana. Kursi-kursi pada banyak kosong melompong. Meski tenang dan sedikit lega, udara kedai ini tetaplah terasa panas. Dua kipas angin yang menggantung di sudut kanan atas dan kiri atas tak cukup mampu menyejukkan seluruh isinya.

   Sembari menunggu Hengky, di meja kayu yang renyah itu, Arif kembali melarutkan diri dalam naskah tulisan yang sempat tertunda beberapa hari, dan memerlukan sentuhan terakhir untuk merampungkannya. Begitu mendesaknya tulisan itu sehingga Ia tampak sangat serius menyeleksi dan memilah-milah kata-kata terbaik dalam kepalanya.

   Aroma kopi sudah merebak mengisi ruangan, dan derap kaki Daeng tawang sudah terdengar sedang melangkah keluar. Segelas kopi susu panas di atas nampan sudah siap di sajikan untuk Arif.

   "Jangan terlalu dipaksa Rif" Tegur Daeng Tawang tersenyum kecil sambil meletakkan segelas kopi susu panas di meja Arif.

   "Redaktur sudah menunggu daeng" jawab Arif cepat, dan tanpa menoleh

   Sejurus kemudian, jepitan jemarinya kembali memainkan penanya di atas secarik kertas. Ia terus berpacu dengan waktu, sehingga membuat keningnya tak berhenti mengerut, menampakkan garis-garis halus seperti membelah dahinya, juga butiran peluh di wajahnya sudah tercecer perlahan.

    Ia memeras pikiran untuk mengingat kembali data-data yang akan dituangkan dalam tulisannya. Sebuah tulisan yang mengulas perihal hukum adat harus sampai ke meja redaktur sebelum malam menyapa. lama-kelamaan, data-data itu akhirnya lengkap jua di ingatannya, dan Ia semakin lincah menggoyangkan penanya. Kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf ia tuntaskan satu demi satu, dan akhirnya Ia pun berhasil merampungkan tulisannya.

   Segelas kopi susu yang sudah mulai hangat, Ia raih dengan cepat dan menyeruputnya dengan tenang. Tentu saja, naskah itu sudah kelar dan sudah siap dikirim ke redaksi, namun di kepalanya, masih ada kerikil-kerikil yang belum tertuntaskan, apatah lagi kalau bukan seruan itu, seruan yang terus mengintainya di sudut-sudut pikirannya, menuntut perhatian lebih dari sekadar tulisan.

   Dari arah jalan raya, sebuah mobil kijang hitam muncul di ujung kelokan kecil, Roda mobil itu bergerak pelan, melahap kerikil dengan suara gemeretaknya, lalu perlahan berbelok masuk dan berhenti tepat diparkiran sempit depan kedai. Pengemudi di atas mobil itu tak lain adalah Hengky. Ia turun dari mobilnya dengan ke-kaca hitam menutupi matanya, dan langkah-langkahnya mantap menuju pintu kedai. Namun, Hengky ternyata tak seorang diri. Dari pintu sebelah mobil, seorang perempuan berambut hitam terurai turun dengan perlahan. Kaus biru berlengan panjang sejalan dengan celana jeans hitam melingkari tubuh yang tampak ramping itu. Di tangannya, ia memegang tas selempang berwarna senada dengan warna kausnya. Di pergelangannya melingkar arloji berwarna perak. Ia melangkah dengan langgam yang lembut menyusul Hengky dari arah belakang.

   "Aku kira kamu akan tinggal setahun di kampung" kata Hengky sembari merengkuh bahu Arif. Arif terperanjat dan membuyarkan pikirannya seketika.

   "Eeh, sudah datang rupanya" jawabnya sambil mencoba mendapatkan nafasnya "Silahkan duduk!" Arif menarik dua kursi, menyilakan Hengky dan perempuan itu duduk.

   "oh iya Rif, kenalkan, teman aku" Kata Hengki sesaat setelah mereka berdua duduk. Arif dan perempuan itu berdiri bersamaan, kedua bahu mereka saling membungkuk sambil menjulurkan tangan masing-masing dan mempertautkannya dalam satu jabat tangan yang erat.

    "Arif"

    "Zahrana... Panggil aja aku ana" jawabnya menebar senyum.

   "Oh iya, kalian berdua mau minum apa?" Tanya Arif sembari menyodorkan menunya.

   "Biasa, kopi hitam, Rif"

   "Aku jus Alpukat aja" jawab zahrana lembut

   "Habis panen di kampung ya?" Gurau Hengky pelan dengan tawa kecilnya.

   "sekali-kali bung....Ngomong-ngomong, ana teman dari mana,. Kok baru lihat?"

   "Ooh, ana ini temanku di komunitas pecinta budaya. Kami juga baru kenal sekitar dua bulan lalu.. Kebetulan ia juga seorang jurnalis... Kali aja tulisanmu nanti bisa dimuat di medianya"

   Arif mengangguk pelan mendengar ucapan Hengky, sedangkan ana tampak menunduk, sedikit malu. Kedua tangannya digenggamkannya di atas pangkuannya.

   "Aku kira istri baru lagi" goda Arif pada Hengky dengan senyum.

  "istri nenek moyangmu." Timpal Hengky cepat......"Eeh..ternyata ana pernah membaca tulisanmu bung"

   "Oh ya?"

   "Itulah makanya aku bawa datang kemari untuk mengenalkanmu..Bukan begitu kan ana?" Hengky menegaskan

   Zahrana mengangguk pelan. Ia masih tampak malu-malu "Ya, pernah, di salah satu koran"

   Dua tiga jurus kemudian, zahrana kembali menambahkan "Aku tertarik dengan gaya menulis anda yang menggunakan pendekatan sastra. Cara Anda menggambarkan cerita-cerita lokal begitu mendalam dan menarik." Katanya sedikit gugup "Terutama ketika anda mengulas cerita rakyat Malakaji. Nama itu sudah lama aku tahu tapi sama sekali aku belum pernah berkunjung"

   "Terimakasih untuk itu, tentu aku senang mendengarnya. Semoga tulisanku tak membosankan. Tapi, jangan panggil aku anda, terlalu formal" balas Arif tersenyum bangga.

   Zahrana sepintas tersipu, tetapi Ia berusaha untuk tidak canggung. Naluri jurnalistiknya mulai menyeruak.

   "Kamu tahu malakaji?" Kata Arif kemudian,

   "Sedikit tahu, tapi itu masih samar"

   "Memangnya, asal kamu darimana?"

   "Aku orang Samarinda"

   "Sudah lama jadi jurnalis disini"

   "Sekitar lima bulan. Awalnya aku jurnalis di salah satu media di sana, tapi aku pindah kesini dengan alasan tertentu"

   "Alasan tertentu?"

   "Ya"

   "Kebetulan Aku orang malakaji" sesumbar kata Arif, Seperti mengemis ingin di ketahui asalnya.

    Gurat senyum tersungging di wajah zahrana, menampakkan lesung pipi yang melubangi wajahnya "Aku sudah tahu dari hengky"

   "Ooh" Arif mengangguk pelan

   Di tengah pembicaraan itu, Daeng tawang dengan senyum yang ramah kembali datang membawa pesanan. Ia menyajikan kopi hitam dan jus alpukat di atas meja, lalu kemudian mempersilahkan mereka bertiga yang sedang masyuk bercerita "Tabe" katanya

   Hengky menggeser kopi hitam itu lebih dekat ke arah dirinya, lalu kemudian mengambil sejumput gula untuk di taburinya, begitu pun dengan zahrana. Ia meraih cangkir jus alpukatnya dan mengucapkan terima kasih yang samar. Daeng Tawang, sepemakan sirih kembali lagi ke dapurnya, meracik kembali kopinya untuk pesanan dari lelaki tua berkacamata yang baru saja duduk di dekat pintu.

   Suasana di meja itu makin lama makin tenggelam dalam hangatnya perbincangan. Meski awalnya sempat diliputi rasa canggung. Zahrana perlahan mulai mengatasi kecanggungannya. Dan kini, ia tak berhenti melayangkan pertanyaan, sebagaimana ia biasa lakukan sebagai seorang jurnalis. Di sisi lain, Arif tampak begitu semangat bercerita, terutama soal corak kehidupan masyarakat lokal dan tradisi-tradisi yang masih dilestarikan, semisal tradisi di malakaji, kampungnya. Tentu Arif bercerita mengenai budaya bersama orang yang tepat, sebab zahrana adalah jurnalis yang concern mengenai budaya. Meski pembicaraan ini tampak begitu formal namun itu tidaklah kaku, tetapi semuanya mengalir begitu saja seperti air, karna di sisi tengah, sosok Hengky yang agak jenaka, selalu tampil sebagai pemberi humor dalam perbincangan.

   "Aku kira itu pendalaman yang baik... Bagaimana kamu bisa begitu terhubung dengan budaya lokal?" Sergah Ana di tengah percakapan.

   Arif tersenyum mendengar ucapan itu. "Bagiku budaya adalah harta karun yang harus di jaga. Ia adalah identitas yang tak boleh dilupakan."

   Zahrana begitu serius mendengarnya, itu terlihat dari anggukan kepalanya pelan.

Lihat selengkapnya