Di kedai kopi milik Daeng Tawang, takdir mempertemukan dua jiwa yang awalnya tak lebih dari dua orang asing. Pertemuan pertama mereka mungkin hanya acak, tetapi seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka satu sama lain. Percakapan ringan di kedai kopi itu hingga sampai pada perjumpaannya di sebuah seminar, seperti membuka pintu untuk lebih banyak jalinan.
Hari demi hari, mereka berdua makin kuat merajut kedekatan. Kirim surat menyurat mulai mengalir seadanya, dan pertemuan demi pertemuan menjadi semakin berarti. Meski di setiap pertemuannya hanya berbicara pada persoalan yang itu-itu juga, namun itu sama sekali tak pernah membosankan baginya, sebaliknya itu meninggalkan jejak di hati masing-masing.
**
Entah seperti apa besarnya kecamuk perasaan dalam hati Arif malam itu sehingga membuatnya tak tenang di dalam kamar kostnya yang sumpek. Berdiri, duduk, berdiri lagi dan duduk kembali di kursi kayu tua miliknya. Itulah yang bisa Ia lakukan di malam yang semakin larut, tetapi ketenangan serasa sulit ia temukan. Berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu gelisah yang menyergapnya. Ia memberanikan diri menggerakkan penanya di atas sehelai kertas kosong, dan mencoba mencurahkan perasaannya yang kacau, namun di setiap coretannya itu hanya menghasilkan tumpukan kertas yang berakhir di tempat sampah dalam keadaan kusut. Setiap kata-kata seolah tidak bisa merangkul emosi yang mendalam yang merayap di dalamnya. Arif bersusah paya untuk menemukan secarik tulisan yang dapat mewakili perasaannya malam itu. Ya, Arif menulis sebuah surat, surat kepada zahrana, dan barulah ia dapat menyelesaikan tulisan surat itu ketika waktu menjelang dini hari.
Assalamualaikum_ Ana. _Saat aku menulis surat ini, waktu sudah larut malam. Entah kenapa mataku sulit untuk ku ajak terbuai. Aku hilir mudik di kamar kecil ini. Tak ada sesuatu yang bisa membuatku tenang. Aku berpindah-pindah. Terkadang Aku duduk di kursi kayu tua di pojok kamarku, sambil memikirkan sesuatu untuk aku tulis. Namun entah mengapa, setiap kali aku mencoba untuk memainkan penaku di atas secarik kertas, perasaanku memenuhi pikiranku, dan aku merasa seperti seorang pemula yang terjebak dalam pusaran perasaan. Ini lucu, ya. Bagaimana kata-kata yang selalu begitu patuh kepada penaku, sekarang seperti anak-anak kecil yang tak bisa tenang. Berat untuk ku akui. Tapi baiklah, akan ku paksa penaku menulis sesuatu untukmu.Tapi sungguh, saat ini aku merasa seperti seorang penulis amatir yang mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Jujur, seluruh perjalanan perasaanku tertuang di dalam surat ini, saat ini Aku punya rasa yang tak terbendung ana. Rasa yang tak bisa lagi aku menutupinya. Ini seperti benih kasih yang tumbuh dalam hatiku, tumbuh lebih dalam setiap hari. Aku gugup menulis surat ini tapi Aku ingin kau tahu, Selama beberapa waktu terakhir, perasaanku telah berkembang dengan cara yang sulit untuk kusembunyikan. Aku tidak bisa lagi menutupi kenyataan bahwa aku menyukaimu. Aku mencintaimu dan ingin menjadi kekasihmu _Aku tahu ini mungkin terdengar berani, tapi begitulah adanya. Aku berharap surat ini bisa mencerminkan sebagian kecil dari perasaanku yang sebenarnya. Meskipun kata-kata ini terasa berat, dan kurang indah tapi ia datang dari lubuk hatiku yang paling dalam. Semoga, di balik segala kekacauan perasaanku, kau dapat melihat kejujuran dan keberanian di dalamnya dan semoga suratku ini, bukanlah sebuah kelancangan, yang akan membuatmu marah. Dan untuk mendahului kemarahanmu, Aku minta Maaf sedalam-dalamnya.
Ujung Pandang, 29 February 1996.
MUARIF.
Dua hari sudah berlalu setelah Arif mengirimkan surat itu ke zahrana. Keputusan Arif mengirim suratnya, mungkin adalah sebuah kecerobohan, dan Arif baru menyadari kecerobohannya itu setelah Ia sudah hampir pasrah menanti datangnya surat balasan yang tak kunjung datang. Setiap kali Arif mendengar bunyi langkah seseorang di luar pintu kamarnya, hatinya berdegup kencang, berharap itu adalah seorang tukang pos atau dari seseorang yang akan membawa surat balasan dari zahrana, namun, setiap kali kekecewaan datang saat hanya ada langkah orang lain yang melewati koridor kostnya. Hingga di hari ketiga, di sore hari, ketika Arif baru saja pulang dari perpustakaan buku. Surat yang di tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Surat balasan itu tersimpan dibawah celah pintu kamarnya. Entah siapa yang membawanya Arif tidaklah tau.
Ujung Pandang, 01 Maret 1996.
Waalaikumsalam Muarif.
Beban perasaanmu yang tulus, sangat terasa dalam setiap kata di suratmu, merangkak masuk ke dalam relung hatiku. Kata-katamu begitu jujur, dan aku sangat menghargainya. Sama seperti yang kau rasakan Arif. menuliskan surat balasan ini juga tidaklah mudah, tetapi aku merasa perlu melakukannya meski tak seindah tulisanmu. Tapi sungguh aku minta maaf Arif. Aku belum berani menjawab kejujuranmu di surat ini. Dan aku mau kita bertemu langsung. Perihal tempat, kamu lah yang tentukan Arif... Kita perlu berbicara wajah dalam wajah untuk memahami perasaan dan pikiran kita masing-masing dengan lebih baik. Sekali lagi melalui surat pendek ini aku minta maaf Arif. Aku belum bisa menjawabnya.
Sahabatmu
Zahrana.
***
Pada suatu sore di bulan Maret, Hujan deras baru saja melanda kota, mungkin itu adalah hujan penutup musim yang menyambut datangnya kemarau. Peralihan musim itu menjadi semacam iringan bagi mereka menuju perasaan yang juga mulai berubah.
Di ufuk barat, matahari senja mulai memancarkan cahaya keemasannya setelah beberapa pekan tersembunyi di balik awan. Di tepi pantai losari, dibawah naungan sebatang pohon mahoni, Muarif dan zahrana tengah duduk di atas seonggok tembok kecil sembari mengamat-amati matahari yang lamban tenggelam di balik bentangan pulau lae-lae. Tak jauh di depan mereka, dengan mudah menyaksikan biduk-biduk kecil dan perahu layar hilir-mudik, menghasilkan suara ngelitik kasar yang memayungi gema deburan ombak di tepian. Di sisi lain, angin sepoi mengusap lembut wajah mereka, memberi semilir kesejukan yang menyegarkan. Disekitarnya, para penjaja pisang epe' dan para pengamen tak berhenti menderu, suaranya seolah menyatu dengan aroma asin laut dan bau tanah basah yang menyembur ke udara.
Namun, di tengah kesejukan sore dan keriuhan itu, ada kecemasan yang merayap di antara mereka. Kegelisahan menguasai hati mereka berdua, dan inilah saat-saat yang mendebarkan dan penuh dengan ketegangan.
"Apa kamu keberatan dengan pengakuanku di surat itu?" ucap Arif menggugah hening. Zahrana terdiam, matanya terpaku pada deburan ombak yang memecah di depan mereka. "Aku minta maaf atas keberanianku ana" katanya dengan suara rendah, namun itu menggambarkan ketulusan hatinya.
Zahrana tetap menahan suara, tetapi matanya perlahan-lahan mulai menatapnya dengan penuh perhatian.
"Tapi aku tak akan memaksa mu, sungguh tak akan memaksamu" lanjut Arif seraya menundukkan pandangannya. Di dalam hatinya ia sudah mulai merasa gagal untuk menggapai cintanya. Namun tanpa diduga, sebuah senyuman kecil mulai mengembang di bibirnya, dan yang paling mendebarkan adalah saat tangan halusnya meraih tangan Arif yang hampir-hampir saja kehilangan harapan itu.
"Arif" Suara itu keluar akhirnya..
Arif mengangkat kepalanya yang tengah tunduk, dan secepat itu sepasang mata mereka bertemu sekali lagi.
"tak ada kata-kata yang perlu diucapkan Arif" Katanya dengan lembut
"Maksud kamu?" Hening sejenak. Sepasang mata masih bertautan, lalu perlahan ana berucap kembali dengan lembut.
"Apa yang kamu rasakan" ada jeda sedikit "itu jugalah yang aku rasakan selama ini"
"Jadi kamu terima aku?" Sambut Arif dengan tatapan penuh harap, namun tak ada kata yang meluncur di bibir ana, tetapi senyumannya yang makin melebar, setidaknya menjadi isyarat akan sebuah penerimaan yang tulus.
"Serius kamu terima aku?" Tanya Arif sekali lagi. Ia mendesak. Di balik lesung pipi yang indah itu, dan seiring sibakan rambutnya yang tergerai angin, zahrana menatap Arif dengan tatapan yang penuh kasih, dan sepasang tangan itu makin erat dalam genggaman.
"Arif" serunya dengan tenang "Apa kamu mau berjanji untuk menerima segala kekuranganku dan tak akan meninggalkanku di kemudian hari?"
Arif menghela napas panjang sambil tersenyum
"Iya ana.. Aku akan berjanji, dan Kuharap kamu juga mau menerima aku apa adanya"
Zahrana juga menarik nafasnya dan menghembuskannya pelan.
"jika kamu ingin bersumpah, maka seperti apa sumpahmu di pantai ini untukku Arif?" Katanya akhirnya, suaranya pelan, penuh kelembutan, namun menantang.
Sejenak Arif termangu memandang utuh wajahnya. Suara tarikan nafasnya luruh tersendat seiring suara deburan angin yang menjatuhkan daun-daun di sekitarnya. Dengan khidmat Arif memalingkan pandanganya ke sisi timur pantai.
"Ana!" serunya lembut "Lihatlah Masjid Amirul Mukminin itu!" Jari telunjuknya ia arahkan ke tempat yang ia maksud. Zahrana pun memalingkan pandanganya ke Masjid itu, Lalu kemudian sepasang mata mereka kembali saling memandang dengan penuh keyakinan. "Demi Allah Na" kata Arif penuh Khidmat "Sia-sialah Salatku, jika di kemudian hari aku mencampakkan mu begitu saja"