"Aku berikan bunga ini untukmu sayang" begitu kata Arif seraya menunjukkan bunga itu kepada zahrana. "Orang disini menyebutnya bunga Sibollo, tapi aku memberinya nama khusus untuknya"
"Apa itu sayang ?"
"Aku menamainya Bunga Macora"
"Aku sama sekali tak mengerti artinya, tapi kedengarannya itu sangat indah?"
"Ya.. sangat indah. Bagiku dia adalah simbol terang, simbol keabadian. Tidak ada yang bisa menandingi harum wangi bunganya di antara semua bunga yang ada di desa ini"
"Entah kenapa setiap aku memandangnya, hatiku terasa tenang. Aku tak tau, darimana perasaan itu bermula, tetapi yang pasti, aku memberikan nama ini sejak usiaku beranjak tujuh belas tahun" lanjut Arif.
"Begitu istimewanya bunga itu di matamu sayang" ucap zahrana sembari mencium dan menghirup aroma wangi bunga Macora itu.
Arif memetik bunga itu di antara bunga-bunga yang lain. Gemetar tangan Arif ketika setangkai bunga itu lepas dari batangnya. Dan di bawah pohon ketapang itu, Arif akan mempersembahkan bunga itu kepada kekasih hatinya.
"Seumur hidupku" kata Arif dengan yakin "Ini adalah kali pertama aku memisahkan tangkai bunga ini dari batangnya"
"Sungguh?"
"Iya. Sebab dulu aku pernah berjanji, tak akan ku petik dan ku serahkan bunga ini kecuali kepada pemiliknya" Arif menatap dalam-dalam wajah zahrana "Dan aku yakin, kamulah pemilik bunga itu"
Zahrana tak dapat berkata-kata mendengar ungkapan mendalam itu. Ia hanya termangu memandangi bunga itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaan haru biru tiba-tiba membuat hatinya terenyuh. Ia merasakan beratnya janji yang Arif pegang teguh selama bertahun-tahun.
"Terimalah!" Seru Arif menyerahkan bunga Macora itu "Anggaplah ini sebagai pemenuhan ikrarku"
Dengan tangan gemetar, zahrana merengkuh Bunga Macora pemberian Arif dan air mata haru pun mulai mengalir perlahan di pipinya. "Kenapa hidupmu selalu berkalang dengan janji sayang"
"Ya, Begitulah aku memaknai hidup ini sayang"
***
Lama mereka berdua mengitari dan mengamat-amati pemandangan desa, dan mengisi paru-parunya dengan udara sore yang segar, akhirnya mereka memutuskan kembali ke rumah. Dari padang sabana yang penuh dengan bunga itu, mereka menyebrang menuju area persawahan. Di tengah hamparan sawah, Arif dan zahrana berjalan hati-hati diatas pematang sawah yang kecil untuk sampai ke jalan desa. Beberapa sawah yang mereka lalui baru saja selesai di panen dan banyak petani merasa tidak puas dengan hasil panen mereka musim ini.
Seorang petani bernama Daeng Marowa bersama Istrinya Daeng Rannu, tengah makan di atas rumah-rumah sawahnya. Daeng Marowa dan istrinya mengamat-amati Arif dan zahrana yang berjalan sempoyongan di atas pematang.
Arif dan zahrana terus berjalan dengan penuh kehati-hatian, sampai akhirnya mereka pun berada tepat di depan rumah-rumah sawah daeng marowa. Dengan penuh keramahan, Daeng Marowa dan istrinya Daeng Rannu akhirnya memanggil mereka dan memaksanya singgah untuk makan bersama.
"Mampir dulu Nak!" Kata Daeng Marowa
"Makasih daeng" sahut Arif cepat
"Tidak baik menolak Rezky Nak" Teriak Daeng Rannu.
Karena ajakan sepasang suami istri itu begitu mendesaknya, akhirnya Arif dan zahrana memenuhi panggilannya dan ikut bersua dengan mereka. Dengan cepat Daeng Rannu memajukan piring plastiknya, bakul nasi dan rantang makanannya ia geser satu persatu ke arah mereka, di susul dua gelas plastik yang berisi air minum.
"Hanya makanan sederhana Nak. Tapi kalau makan di sawah, apapun itu terasa enak" Kata Daeng Rannu menawarkan.
Walau awalnya ada penolakan halus dari Arif dan zahrana, namun mereka merasa sulit menolak ajakan yang begitu tulus. Akhirnya mereka mengikuti ajakan itu untuk kali kedua.
Beberapa saat setelah mereka selesai makan, zahrana tak berhenti melayangkan pertanyaan kepada sepasang suami istri itu. Sebagai seorang Jurnalis, momen ini serasa tak ingin di lewatkan begitu saja olehnya. Ia juga menanyakan kondisi pertanian saat ini, dan setiap jawaban yang keluar dari mulut Daeng Marowa, semuanya hanya bernada keluhan "Hampir semua petani di desa ini harus menerima nasibnya" Katanya.
Sebuah kamera kecil di keluarkan dari tasnya. Zahrana akhirnya mengabadikan momen langka ini. Bersua dengan petani, makan bersama dengan petani, duduk di atas rumah sawah yang sederhana, yang semuanya tak luput dari mata kamera itu..
Lama mereka mengobrol, akhirnya Arif dan zahrana berpamitan kepada daeng Marowa Bersama Daeng Rannu sembari mengucapkan terimakasih berkali-kali. Itu setelah mereka berdua beranjak dari rumah-rumah sawah itu.
Di tepian jalan desa, pohon ketapang dan pohon mahoni selalu memberi naungan pada setiap langkah sepasang manusia yang tengah terperangkap asmara. Saat mereka berjalan, Mata zahrana tak henti-hentinya menyapu satu persatu rumah-rumah panggung yang beratap seng berbentuk pelana dengan timpalaja yang menyilang di ujungnya, yang semuanya tersebar tak beraturan di kedua sisi jalan. Setiap rumah memiliki ukuran dan warna yang berbeda, dinding yang berbeda, dari dinding bambu juga dari kayu, dan setiap timpalaja rumah itu juga memiliki susunan yang berbeda, semakin banyak lapisan timpalajanya berarti tinggi pula status sosial pemiliknya.
Dalam perjalanan, sapaan dan panggilan mampir dari Ibu-ibu maupun bapak-bapak, datang silih berganti, yang sebagian dari mereka tak lain adalah kerabat Arif sendiri, tetapi ada yang aneh di atas bale-bale bambu itu, yakni sekelompok Ibu-ibu yang sedang duduk, hanya bengong sembari men-desas-desus, tampak sinis, menatap mereka melintas depan rumah. Zahrana tak menoleh penuh ke arah Ibu-ibu itu, tetapi dihatinya, mengendap perasaan tidak nyaman dengan tatapan yang penuh maksud itu.
Di tengah perasaan hati zahrana yang awas, tiba-tiba serombongan anak-anak kecil yang sedang bermain di pelataran, sontak mengikuti mereka sambil tertawa-tawa dan terheran-heran. Sesekali mereka berbisik-bisik satu sama lain. Menunjuk-nunjuk ke arah mereka, seolah-olah anak-anak itu baru saja melihat pemandangan sepasang kekasih yang berjalan di desanya. Arif dan zahrana menyadari tingkah anak-anak itu. Acapkali mereka berhenti dan menoleh ke anak-anak itu dengan senyumnya masing-masing. Anak-anak itu terus mengikuti mereka, tapi mereka tak menghiraukannya.
Lima meter setelah melewati Masjid. Mereka berdua melangkah persis di depan rumah Daeng Kulle. Di bawah kolong rumahnya, Daeng kulle beraselempang sarung di pundaknya, memanggil Arif dengan tangan melambai-lambai keras. "Sini dulu Arif"
Arif dan zahrana terperanjat seketika dan cepat saja menghentikan langkahnya. Arif menoleh ke Daeng Kulle, sementara Daeng Kulle terus melambaikan tangannya meminta Arif untuk menemuinya.
Akhirnya Arif dan zahrana memenuhi panggilan itu, namun sesaat sebelum sepasang kaki mereka memasuki pelataran rumah Daeng Kulle, teriakan itu kembali melambung keluar. "Kamu saja sendiri Arif" teriak Daeng Kulle sekali lagi. Mau tidak mau, Arif harus terpaksa membiarkan zahrana berdiri sendiri di pinggir jalan. Dengan berat hati, ia melangkah masuk menemui Daeng Kulle yang berdiri di bawah kolong rumahnya itu. "Kamu kan orang berpendidikan. Berani-beraninya kalian berjalan berduaan seperti itu" kata Daeng Kulle tegas namun suaranya pelan.
Sekali lagi Arif terperanjat mendengar ucapan yang menyambar tiba-tiba itu, sementara zahrana, lamat-lamat memandang nanar mereka berdua dan di dalam hatinya Ia berusaha mengecap-ngecap ada apa di balik percakapan yang tampak serius itu. "Apa ada yang salah Daeng? Kami kan tidak berbuat apa-apa" jawab Arif pelan. Sebisa mungkin suaranya tak sampai di telinga zahrana.
Daeng Kulle menarik napas, dan tangannya Ia angkat untuk menegakkan kopiah hitamnya yang tampak miring di kepalanya.
"Pamali laki-laki dan perempuan berjalan berduaan tanpa terikat ijab kabul. Aku kira kamu paham itu arif. Sejak kapan kamu berani begitu?" ujarnya dengan mata melotot dan sedikit menggemeretakkan giginya.
Arif hanya diam, tetapi dalam hatinya ada gemuruh, namun Ia tak ada niat menimpali ucapan Daeng Kulle, ia tahu betul bagaimana karakter daeng kulle dengan segala kekolotannya. Akhirnya ia pun memutuskan melangkah keluar, meninggalkan Daeng Kulle begitu saja.
"Permisi Daeng, Assalamualaikum" katanya sambil lalu bersama kesalnya.
Mata Daeng Kulle terus membuntuti mereka berdua, sampai dimana Arif dan zahrana hilang dari pandangannya.
Beberapa saat sebelum sampai di rumah Arif. Zahrana dengan hati-hati menanyakan perihal apa yang terjadi barusan, Namun Arif memberinya jawaban yang jauh dari kenyataannya, tentu itu semata-mata hanya ingin menjaga perasaan ayu. Tetapi, zahrana bukanlah karakter orang yang mudah percaya begitu saja. Ia tahu, bahwa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Arif untuknya. Sekelumit pikiran itu membuatnya menahan suara sepanjang ia berjalan.
"Sungguh, tidak apa-apa sayang" kata Arif membujuk, namun zahrana tetaplah diam.
"Daeng Kulle hanya berbicara mengenai masalah di desa" lanjutnya
Tiba-tiba zahrana berhenti dan menatap wajah Arif, sorot matanya menandakan ia tak puas diri dengan ucapan Arif.
"Kalau kalian hanya berbicara masalah desa, lantas kenapa ia melarangku masuk?" Katanya menukas "Apa memang begitu adatnya memperlakukan orang asing?"
"Sudahlah sayang, percayalah tidak ada apa-apa, itu hanya perasaanmu saja" Ujar Arif membujuk sekali lagi.
Meski pernyataan Arif itu tak sesuai dengan harapannya, tapi zahrana berusaha menahan diri, dan tak mau memperpanjang persoalan itu lagi dengan Arif. Akhirnya ia melumerkan hatinya, dan berpura-pura mengacuhkannya.
Ketika mereka baru saja melewati jenjang tangga rumah, dari arah pintu, Bu Muliati sudah berdiri menyambutnya dengan kehangatan senyumnya. Zahrana pun di iring masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi bambu itu. Sementara itu, Pak Samad tengah dalam kekhusyukan doa setelah menunaikan salat Ashar di kamarnya. Arif di sisi lain, sedang menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan Salat Ashar yang segera akan berlalu.
"Semoga kamu senang berkunjung di rumah kami yang sudah tua dan lapuk ini nak," ujar Bu Muliati kepada zahrana yang duduk di depannya.
"Apalah arti sebuah rumah Bu. Yang paling penting adalah tuannya" jawabnya sopan.
Bu Muliati tersenyum lembut mendengar nada penuh etika itu.
"Syukurlah nak. Sudah berapa lama kamu kenal dengan Arif?"
"Sekitar tiga bulan Bu"
"Jadi kamu dengan Arif, anu ya, eh apa lagi namanya? Aduh Begitulah kalau orang kampung Nak" katanya gelagapan.
Zahrana tersenyum tipis mendengar ucapan khas Bu Muliati yang agak kikuk dalam menyebut hubungan asmara. Namun Ia tentu mengerti maksud ucapan Bu Muliati.
"Iya Bu. Kami berdua Pacaran" ujarnya dengan nada gugup.
"Baguslah kalau begitu Nak. Aku senang mendengarnya. Arif itu anak yang baik, meskipun terkadang agak keras kepala," katanya sambil tertawa kecil.
Pak Samad keluar dari kamarnya setelah menyelesaikan doanya. Ia tersenyum ramah saat melihat zahrana. Dengan cepat zahrana bangkit dari kursi dan menyambut untuk menyalami Pak Samad.
"Bagaimana suasana Malakaji Nak?" Tanya Pak Samad sambil tersenyum.
"Sangat indah pak"
"Baru pertama kali datang kesini?" Pak Samad kembali bertanya sembari memperbaiki posisi duduknya.
"Iya pak, baru. Tapi sudah lama aku tau tentang kampung ini." Jawabnya santun. Sepasang tangannya saling merangkul di atas pangkuannya.
"Ooh. Asal darimana nak?"
"Aku orang Samarinda pak"
"Oh Samarinda, jauh juga ya?" Pak Samad mengangguk pelan "Bapak dan Ibu, orang asli di sana?"
"Hanya Ibu yang asli orang sana Pak. Ibuku orang Dayak"
"Bapak?"