Arif kemudian melangkah turun dari rumah Rahmat. Ia kembali menaiki motornya dan memacu kendaraannya menuju rumahnya dengan cepat. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setelah percakapannya dengan Rahmat, tetapi ia tidak bisa mengidentifikasi secara pasti apa itu.
Setibanya di rumah, Arif mendapati zahrana sedang duduk termenung di ruang tamu. Tak ada gurat senyum yang memancar di wajahnya. Ia mendekati zahrana dengan senyum penuh kepedulian.
"Maaf sayang, aku agak lama" kata Arif, mencoba menenangkannya. Namun zahrana hanya diam
"Sayang!" Seru Arif kembali
"Kamu marah ya karena aku terlalu lama?"
Zahrana tetap diam, tidak menjawab. Arif mendekat lagi dan duduk di kursi di depannya. Ia meraih tangannya dan menggenggamnya lembut. "Ada apa, sayang? Wajahmu terlihat murung."
Zahrana menatap Arif. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Aku tidak tahu, sayang. Tadi tettamu tampak tidak senang setelah aku menyebut nama kakekku, Daeng Sibali."
Arif mengerutkan kening. 'Daeng Sibali?' ulangnya, nama itu terasa asing di telinganya.
"Iya"
Arif terdiam sejenak, mencoba mengolah nama itu, namun sama sekali tak ada memori di kepalanya tentang nama daeng sibali kakek zahrana. Arif menatap zahrana, jemari itu masih bertautan lembut.
"Ada apa dengan tettaku, sayang?"
"Aku juga tidak tahu, begitu banyak dia pertanyakan tentang asal usul keluargaku" ungkap zahrana gugup.
"Kan Tetta cuma pengen tahu, apalagi keluargamu berdarah malakaji juga bukan?"
"Iya sayang, aku tahu, tapi aku lihat ekspresi tettamu berubah setelah kuberitahu nama bapak dan kakekku"
Arif menarik nafas dalam-dalam, lalu
"Mungkin Tetta lagi nggak enak badan sayang" kata Arif berusaha menenangkan
"Tidak sayang. Gak mungkin Tetta, yang tadinya baik- baik saja tiba-tiba berubah begitu" ujarnya dengan yakin.
"Sudahlah sayang, mungkin itu hanya perasaanmu" bujuk Arif sekali lagi. "Lebih baik kamu istirahat aja dulu" tambahnya.
Zahrana kembali tak mengeluarkan kata-kata, sementara Arif, terus berupaya menenangkan hatinya.
"Istirahat ya!"
Dengan anggukan berat, zahrana akhirnya bangkit dari kursi untuk memenuhi permintaan Arif, dan dia diarahkan langsung masuk ke kamar yang telah di sediakan untuknya.
"Aku mau ke kebun belakang dulu ya, habis itu aku mau siap-siap ke masjid salat magrib" ujar Arif pada zahrana yang tengah merebahkan badannya di kasur..
"Iya sayang" jawabnya dengan senyum kecut.
Langkah Arif menuruni tangga rumahnya terasa begitu berat, seberat pikirannya yang di penuhi rasa penasaran oleh sebuah nama yang sama sekali asing baginya. Di koridor samping rumahnya, Arif tampak bersusah-payah memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada ayu dengan tettanya perihal nama daeng sibali itu. Hal Itulah yang memaksa Arif untuk melangkah menuju kebun sayur belakang rumahnya, tiada lain mencari tettanya dan mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun setelah Arif sampai di kebun, rupanya tettanya sedang tidak ada, kecuali amma'nya yang tengah sibuk memetik daun ubi untuk bahan olahan sayur.
"Tetta dimana amma?"
"Lagi kerumahnya daeng Bella" jawab Bu muliati "Dari situ dia langsung ke masjid" sambungnya.
Arif melangkah lebih dekat ke amma'nya, dan duduk di batu kecil samping amma'nya.
"Amma?" Seru Arif
"Hmm" sahut Bu muliati tanpa menoleh.
"Apa yang terjadi tadi dirumah amma'?" Tanya Arif dengan nada gugup
"Maksudmu nak?"
"Tetta dan zahrana ngomongin apa tadi Amma?"
Bu muliati seketika berhenti memetik daun ubi, dan segera memalingkan pandangannya ke wajah Arif dengan tatapan serius.
"Aku juga heran nak, entah kenapa tettamu tiba-tiba berubah setelah Ana menyebut nama bapak dan kakeknya. Ibrahim daeng mile dan daeng sibali" ungkap Bu muliati serius.
Lagi-lagi nama itu berputar-putar di kepala Arif. Ia mulai merasakan keanehan pada kedua nama itu.
"Amma kenal bapak dan kakeknya?
"Tidak nak"
"Apa Tetta tidak pernah menyinggung kedua nama itu selama ini?"
"Juga tidak nak"
Arif semakin tampak serius memikirkan hal itu, keningnya mengerut, ia berjibaku untuk memecahkan sebuah nama yang menjadi teka-teki baginya.
"Sudahlah nak, tidak usah terlalu di pikirkan, lebih baik kamu pergi shalat magrib" seru Bu muliati pada Arif yang tampak kebingungan.
Arif mengangguk berat, lalu ia bangkit dari batu kecil tempat ia duduk.
"Aku ke masjid dulu Amma" katanya garau.
***
ANGIN malam menderu kencang, mengguncang pohon-pohon hingga berderak. Suara dedaunan ketapang bergesekan satu sama lain. Langit mendung gelap, tak ada secercah bintang yang terlihat, kilat menyilau sesekali. Anjing-anjing menyalak di kejauhan, bersahutan dengan derik jangkrik yang sumbang.
Masjid sudah mulai sepi, lampu dalam ruangannya sudah di redupkan, kecuali lampu besar yang menggantung di plafon teras dan beberapa lampu hias berwarna-warni. Para jemaah barusaja berhamburan pulang setelah melaksanakan shalat isya. Yang tinggal hanya pak samad bersama daeng Kulle, mereka berdua bercengkrama dan tampak serius di pelataran masjid.
"Jangan biarkan perempuan itu bermalam di rumah daeng. Pamali daeng!" Seru daeng Kulle pada Pak Samad.
"Aku tau Kulle" jawabnya
"Suruh bermalam di rumahnya daeng Bella saja, disitu ada halija, sama-sama perempuan"
"Aku sudah kerumahnya Bella tadi sore" ujar pak Samad
"Berapa hari teman perempuan Arif itu akan tinggal disini?" Tanya daeng Kulle kemudian
"Kata Arif tiga hari, tapi besok pagi aku suruh Arif untuk menyuruhnya pulang"
"Itu benar daeng, pamali laki-laki membawa perempuan kemana-mana tanpa ijab kabul"
"Tanpa itupun, aku tetap akan memaksanya pulang"
"Kenapa daeng?"
"Sudahlah"
Daeng Kulle mengelus janggutnya, dan merasa kebingungan oleh ucapan pak samad, bahwa nampaknya ada alasan lain yang membuat pak Samad bersikeras untuk menyuruh ayu pulang ke ujung pandang besok pagi.
"Aku balik kerumah dulu Kulle"
"Iya daeng"
**
Di atas tikar pandan depan kamar, Bu muliati, Arif dan zahrana tengah melangsungkan percakapan ringan, namun itu dalam suasana gentar. Masing-masing dihadapannya tepajang tiga gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng. Di depan sana, derap kaki pak Samad terdengar jelas sedang menaiki tangga. Suara derik pintu juga terdengar kemudian. Ketiga pasang mata yang tengah duduk di tikar pandan itu, serempak mengarahkan pandangannya ke arah pintu.
Pak samad memasuki rumah, tak ada keramahan yang tampak di raut wajahnya saat melewati ambang pintu. Itu adalah pemandangan yang tak biasa bagi dirinya.
"Ini ada kopi, aku sudah buat" ujar Bu muliati menawarkan segelas kopi itu pada pak Samad. Namun, jangankan menyambut dan menyuruput hasil seduhan kopi istrinya, justru pak samad tanpa menoleh, langsung saja melangkah masuk ke ruangan bagian dalam dan segera duduk dan bersandar di dinding kamarnya. Bu muliati dan Arif saling menatap heran, sedangkan ayu hanya mampu menunduk dan diam. Jelas, pemandangan ini membuat zahrana semakin gelisah, dan semakin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Arif.. kau kesini dengan amma'mu!" Pekik pak samad sedikit nyaring.