BUNGA MALAKAJI

Muhammad Ridwan
Chapter #8

Luka Lama

Tabuhan gendang membahana di antara pepohonan, menyatu dengan irama pandang diolo,[1] dan Lae'-lae'.[2]

    Pui'-pui[3] dan gong berbunyi sesekali, gemanya terdengar seperti simfoni yang mengoyak keheningan malakaji malam ini. Deretan lampu obor menyala dengan gemerlap di pematang sawah, menyembulkan bayangan orang-orang berjubel yang berhimpun mengitari sesajen. Seorang Pinati[4] tengah membakar dupa dan kemenyan. Dan empat gadis palellung[5], tengah sibuk mengatur sesaji yang tersusun rapi diatas tampah. "Berdoalah dalam hati,, agar kampung kita jauh dari bala" seru sang Pinati pada semua orang yang hadir. "Barakka'[6]" sambut hadirin, serempak.

   Sesaji yang terdiri dari empat genggam beras ketan yang berwarna putih, kuning, merah dan hitam. Juga ada lipatan daun sirih yang dipadu dengan buah pinang. Segelas air putih berdiri di tepi tampah, dengan lilin menyala dibagian tengahnya. Upacara Appalili [7]telah dilaksanakan dimalam hari. Para tokoh adat dan para petani telah memadati ritual penolak bala tersebut. Tabuhan gendang dan pui'-pui' semakin bergema, mengiringi Palellung memainkan tariannya di tengah kerumunan, mengibaskan selendangnya dan melenggokkan kepalanya. Seorang kesatria, melompat masuk dan bersimpuh sembari mengikrarkan sumpahnya di hadapan sang Pinati. Tangan kanannya menancapkan badik ketanah, dan tangan kirinya menggenggam tombak yang runcing sambil berseru; "Yang mulia Karaeng.[8] Barang siapa kelak ada yang lebih jantan dari kami, yang tidak mengenal adat istiadat, akan kupatahkan tombakku ditengah padang, dan kupatahkan badikku di kaki bukit"

   Sang Pinati berdiri, mengayunkan badiknya kelangit. Asap dupa kemenyan membubung ke sekujur tubuhnya, hingga menyamarkan wajahnya. Ia berseru "Abbulo sibatang paki antu, mareso tamatappu nanampa nia sannang ni pusakai, siagang baji maki assamaturu nani kalliki borritta na nia empota mangurangi” (seperti serumpun bambu kita bekerja terus, sama-sama akan kita dapat kesenangan dan baiklah kita bersatu menjaga kampung agar ada yang tinggal diingat). **

   Arif barusaja meninggalkan upacara appalili itu, setelah sejam ia menikmati berbagai pertunjukkan disana. Tradisi masyarakat setempat itu biasanya dilaksanakan setahun sekali, utamanya sehabis panen. Tak seperti pemuda lainnya, yang enggan menyaksikan ritual tersebut dengan dalih kemusyrikan, tetapi Arif, memiliki perspektif yang berbeda. Sejak kecil hingga kini, ia tak pernah sangsi dengan appalili itu. Islam moderat, sepertinya begitu mengakar dalam diri arif.

   "Kau pasti dari upacara itu bukan?" Kata pak Samad sesaat setelah Arif tiba di rumahnya. Namun, yang ditanya cuma diam, dan langsung melangkah masuk ke kamarnya. Arif masih memendam kecewa pada tettanya yang telah memperlakukan zahrana seperti itu dengan dalih adat.

   Pak samad berseru, saat dimana Arif sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. "Kau kesini dulu!" Arif berhenti seketika. Rasanya ia enggan memenuhi panggilan tettanya. "Sini!" Katanya lagi.

    Mau tak mau, Arif membalikkan badannya dan memenuhi panggilan tettanya, meski itu tampak begitu berat. Arif duduk di depan tettanya dengan gamang.

   "Aku tahu kau kecewa... Tapi"

   "Tapi apa Tetta?" Tukas Arif dengan suara bergetar.

   "Nak!" Katanya dengan nada mulai lembut

   Arif tak menyahut, ia hanya diam.

   "Khmm" pak samad mendeham, sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap arif serius dan berkata.

   "Kamu harus tau cerita ini nak. Sebuah peristiwa yang mestinya sudah harus terkubur dalam tapi sepertinya akan terulas kembali."

 Arif mengangkat kepalanya dan menatap tettanya dengan rasa ingin tahu yang ganjil.

   "Cerita yang tak pernah ku sampaikan kepadamu dan juga pada amma'mu" Lanjut pak Samad dengan khidmat.

   "Kenapa Tetta ngomong begitu?" Seka Arif pada tettanya, dengan nada suara yang berat.

  

   Nak..., Arif menyimak seksama.

Mungkin sekitar tahun 50an. Telah terjadi peristiwa yang sangat mencekam, dan keluarga kita terseret di dalamnya. Tetta masih ingat betul masa-masa itu, Umurku sudah 14 tahun lebih dan aku sudah di kelas 6 SR (Sekolah Rakyat).

   Kira-kira begini ceritanya. Pada suatu sore. Di atas rumah. Aku sedang sibuk mengerjakan PR ku. Sementara Toa' dan Nenekmu, juga sedang santai bercerita sambil mencicipi ubi jalar rebus dan secangkir kopi pahit masing-masing di depannya.

    Tiba-tiba di sore itu, seorang kerabat dengan raut wajah panik datang kerumah, waktu itu, rumah Toa'mu rumah bambu, tiangnya dari bambu, lantainya dari bambu, dinding-dindingnya pun dari anyaman bambu, pokoknya semua dari bambu. "Maklumlah Nak, Kami keluarga miskin disini".

   Kerabat itu tak lain adalah pamanku sendiri. Namanya Daeng Pajama, adek bungsu Toa'mu. Ia datang menemui Toa' dan Nenekmu dengan membawa berita buruk. Katanya, sekolompok gerombolan sedang membuat huru hara di wilayah sebelah. Ia menyampaikan dengan suara gelagapan. Gerombolan itu, konon dari Utara yang jauh, mereka terdesak oleh tentara disana, akhirnya mereka lari dan sampai kesini.

   Kabarnya, mereka membuat kekacauan di setiap kampung yang mereka lewati, membakar rumah, merampok, mengambil paksa ternak-ternak, bahkan membunuh jika ada orang yang melawannya.

   Aku yang mendengar hal itu juga, segera mendekat, menguping dengan serius untuk mendengar kelanjutan ceritanya. Dan buku PR itu Aku abaikan begitu saja.

   Katanya lagi, gerombolan itu memaksa seluruh warga untuk membuat perkampungan, semua rumah harus di pindahkan ke satu titik yang telah ia tentukan.

Catatan kaki (Mengingat jarak satu rumah ke rumah lainnya saling berjauhan, ada yang berjarak 100 meter hingga 500 meter)_

   setiap satu rumah di datangi 10 orang gerombolan bahkan lebih dari itu.

Beberapa warga disebelah menyambutnya penuh penolakan terhadap usulan yang bernada paksaan itu. Hingga akhirnya perkelahian pun tak dapat di hindari, satu orang dari gerombolan itu harus mati terkapar oleh beberapa tikaman badik seorang warga yang merasa haknya di rampas dan berniat menjaga siri'nya _(harga dirinya)_ hal itu juga yang memacu suasana makin tegang, gerombolan itu tak terima kematian satu anggotanya dan mereka pun melakukan tindakan balasan, sementara, salah satu warga yang membunuh itu, meski seorang diri, nampaknya ia tak gentar menghadapi 10 orang di depannya, ia terus melawan, mengibas-ngibaskan badiknya yang bercucuran darah bekas gerombolan itu, namun perlawanan itu sama sekali tak berarti lagi, mereka terlalu kuat, terlalu banyak dan ia pun terbunuh oleh tikaman badik pula sementara anak istrinya di biarkan hidup. Setelah itu, para gerombolan membakar rumahnya dengan beringas. begitu pun rumah-rumah warga lainnya yang menolak permintaannya, juga di bakarnya dan sekejap saja api melahap habis tanpa sisa rumah-rumah itu. Langit seketika menjadi mendung oleh gumpalan asapnya dan alam raya tiba-tiba menjadi merah karenanya.

Warga-warga hanya bisa meratap tak berdaya melihat rumah dan ternak mereka hancur.

   "Daeng Tiro terbunuh dan rumahnya di bakar" kata pamanku dan itu masih segar di ingantanku.

   Sepintas kulihat titik keringat di dahi Toa'mu mulai keluar satu persatu dan Nenekmu tak dapat berucap apa-apa. Aku yang tidak tau hal Ikhwal gerombolan itu juga merasa getir.

   "Tidak bisa kupastikan, tetapi besok atau lusa mereka akan datang kesini," lanjut paman, meningkatkan kepanikan.

   "Darimana kamu tau kabar itu atau kamu melihatnya langsung? " Tanya Toa'mu berusaha memastikan kebenaran kabar itu.

   "Daeng Rewa menyampaikannya kepadaku. Dia ada di sana saat kejadian itu dan segera pulang ke sini untuk membawa berita ini kepada keluarga," jawabnya dengan suara gemetar

   "Jadi, kita harus melakukan apa?"

   Pamanku terdiam sejenak mendengar pertanyaaan toa'mu yang nada suaranya kurasai penuh kepanikan.

Lihat selengkapnya