BUNGA MALAKAJI

Muhammad Ridwan
Chapter #10

Sebuah Janji

   Apa boleh dikata, sebab ikrar setia telah terpatri dalam hatinya. Pantang baginya mengingkari janji. Sebagaimana falsafah hidup orang Makassar yang telah tertanam dan mengakar dalam dirinya, Sekali layar terkembang, pantang biduk surut kepantai... Tulang boleh hancur membusuk tapi janji yang sudah terucap tidak akan membusuk

    Arif akan memegang teguh janjinya pada zahrana, sekalipun Tettanya telah menciptakan ngarai yang dalam sebagai jurang pemisah baginya. Kebulatan hati dan keyakinan yang kuat, tak membuatnya patah arang. Dan ia percaya suatu saat nanti, kisahnya akan berujung kebahagiaan.

   "Ana sudah balik ke Samarinda dua hari lalu" ujar hengky pada Arif. Mereka bertemu di kedai kopi daeng Tawang.

   "Kau sempat bertemu dengannya?" Tanya Arif, penasaran

   "Iya"

   "Apa ada pesan untukku... Atau dia titip surat?"

   "Hanya pesan....,"

   Arif menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam penuh harap. "Apa katanya?"

 Hengky menatapnya sendu. Sambil mengatur napasnya lalu ia berkata lembut

    "Selesaikan sekolah profesimu secepatnya.. bagitu katanya"

   "Aku akan menyusulnya kesana... Apa kau tau alamatnya?"

   "Jangan Arif... Lebih baik kau tunaikan apa yang menjadi pesannya untukmu"

   "Kau sudah tahu hubunganku dengannya?"

       "Iya... Aku tau dari ana sendiri" tandas Hengky "percayalah Arif, jika Tuhan menakdirkan kalian berdua bersatu,.. suatu saat nanti kalian akan di pertemukan kembali" lanjutnya

   Tubuh tegap itu meluruh seketika, matanya ia layangkan keluar. Arif sangat terpukul dengan kenyataan yang terjadi padanya.

    

   *** 

   SAMARINDA 1996.

   Rembang petang meranggas, semburat keemasan membakar gumpalan awan-awan hitam itu. Sungai Mahakam meringis, bersisik, seperti naga raksasa dalam cerita legenda rakyat Kutai. Sangat tenang biduk biduk kayu itu, merayap pelan, mengiris sungai Mahakam yang membelah kota tepian Samarinda itu.

   Di pinggiran kota, tepatnya di jalan semanggi gang 7. Disitulah rumah zahrana berdiri. Sebuah rumah kayu beratap rombeng, dengan dinding dari panel-panel kayu yang tersusun rapat. Rumah itu adalah peninggalan kakek zahrana, yang berdiri puluhan tahun lalu. Rumah yang penuh dengan kenangan bagi zahrana kecil maupun zahrana dewasa kini. Kembali ke Samarinda adalah pilihan tepat bagi zahrana, paling tidak itu bisa mengurangi kesedihannya yang mendalam.

   "Bagaimana pekerjaanmu di ujungpandang na?" Tanya pak ibrahim pada ana yang tengah memijiti betisnya diatas kursi rotan.

   "Aku mengundurkan diri pah" Jawab ana dengan nada lirih

   "Loh kenapa?"

    "Aku merasa gak cocok aja dengan budaya disana pah"

   "Kan mama udah bilang gak usah pindah kerja disana... Kamu keras kepala sih" sergah ibu Ningsih pada zahrana anaknya. Ia dari arah dapur membawa dua gelas teh diatas nampan.

   "Yah, udah terlanjur mah, lagian aku kan udah balik lagi ke Samarinda" jawab ana tersenyum pada mamanya.

   "Jadi kamu akan melamar ulang ke tempat kerjamu sebelumnya na?" Tanya Bu Ningsih kemudian

   "Apa boleh buat mah... Mau gak mau"

 Pak ibrahim bernapas berat. Ia menatap anaknya yang tengah bersimpuh di lantai.

   "Na! Seru pak ibrahim

   "Iya pah"

   "Jadi kamu udah berkunjung ke malakaji?"

  Zahrana tersentak dan terdiam, ia menarik nafas dalam-dalam.

   Tangan yang sementara memijiti ia hentikan seketika. Zahrana tiba-tiba mengingat kejadian disana, dan itu membuatnya kembali merasakan kesedihan. Sebuah peristiwa yang sebenarnya ia ingin lupakan, tetapi keinginan untuk menyingkap misteri masih menggelayut di pikirannya. Misteri tentang nama sosok yang ada di depannya dan nama kakeknya. Sebuah nama yang membuat pak Samad waktu itu memperlakukannya jauh dari batas kemanusiaan. Ingin rasanya zahrana menangis di hadapan papa dan mamanya, tetapi ia menahannya sekuat mungkin. Disisi lain, perasaan cintanya pada Arif begitu sangat besar. Zahrana tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia merasa kehilangan sosok arif yang amat ia sayangi. Dan saat ini mereka berdua berada di antara selat Makassar. Sebuah perpisahan yang tak dapat diterka kapan dia bertemu kembali.

   "Na... Kok kamu diam?" Tanya pak ibrahim kembali.

   "Oh iya pah.... Maaf" jawabnya gelagapan

   "Kamu udah berkunjung kesana?" Di ulanginya kembali pertanyaan itu.

   "Hhm iya pah... Udah" jawabnya dengan suara berat

   "Jadi gimana suasana disana?... Cantik bukan?"

   "Hmm iya pah... Cantik... Sangat cantik"

   "Udah.. udah, yuk kita makan dulu" sergah Bu Ningsih mengakhiri percakapan mereka

   ***

   Sebulan berlalu cepat. Tak ada kirim surat menyurat dalam kurun waktu itu. Arif telah menunaikan pesan zahrana. Pendidikan khusus profesi advokat yang ia jalani berhasil diselesaikan dalam waktu singkat. Kini, Muarif telah resmi menyandang profesi pengacara dan berencana membangun firma hukumnya sendiri. Namun, di balik keberhasilannya, ada kekosongan yang tak bisa ia isi. Memang benar, mimpi yang selama ini ia kejar akhirnya telah terwujud, sebuah impian yang dulu ia jadikan dalih di hadapan Tetta dan Amma’-nya. Tetapi kini, alur cerita berbeda. Pencapaian yang dielu-elukan selama ini, ternyata tak mampu menutupi lubang kesedihan dalam hatinya kecuali hanya satu—Zahrana.

   Rindu? Yah.. Arif sangat merindukan zahrana, sebuah kerinduan yang menyesakkan dadanya.

   Disetiap pertemuannya dengan Hengky. Arif tak pernah luput menanyakan kabar zahrana, namun hanya ada kekecewaan yang mendalam ketika Hengky menjawab ia juga tidaklah tahu kabarnya. Sungguh sesuatu yang memilukan.

   Di antara selat Makassar yang memisahkan mereka, Arif percaya bahwa zahrana merasakan hal yang sama seperti yang di rasakannya saat ini. Ia percaya dengan kekuatan cintanya. Dan tak pernah pupus keyakinannya bahwa suatu saat, takdir akan mempertemukan mereka kembali, sebagaimana janji yang pernah diucapkannya dalam hati*

   Sehari sebelum Pak Samad dan Arif berangkat ke suatu kampung bernama Malino. Mereka berdua kembali diliputi kegamangan diatas tikar pandan itu. Sebuah pemandangan yang nyaris tidak ada titik temunya. Sesuatu yang sangat membosankan tentunya. Rasa-rasanya tak ada waktu baginya untuk memeras pikirannya di tempat itu lagi. Karna baginya, itu hanya akan menambah kekacauan dalam hatinya.

   "Apalagi Tetta?" Kata Arif kesal

   "Sekarang kamu sudah jadi pengacara bukan?... Besok pagi antar tetta ke Malino"

Lihat selengkapnya