BUNGA MALAKAJI

Muhammad Ridwan
Chapter #11

Samarinda

  Sebuah mobil sedan BMW Seri 3 mantap berhenti di mulut gang kecil di pinggiran kota Samarinda. Dibalik pintu mobil itu, seorang lelaki gagah turun dari mobil dengan kekaca hitam menutupi matanya. Sambil berjalan digang kecil itu, mata lelaki itu tak berhenti menyapu satu-persatu rumah-rumah kayu yang berderet acak di pinggir gang. Dari gelagatnya, tampaknya ia sedang mencari rumah seseorang.

   Seorang ibu tengah baya, sedang sibuk menjemur pakaian diatas tali yang membentang depan rumah. Sosok pria itu berhenti dan bertanya padanya "permisi Bu.... Rumah pak Ibrahim mile dimana ya?"

 "Oh pak Ibrahim... tuh disana!" Jawabnya sembari menjulurkan telunjuknya, menunjuk tepat ke rumah kayu itu. Rumah itu hanya berjarak sepuluh meter, atau sekitar dua rumah setelah rumah ibu itu.

   "Makasih ya Bu" katanya sambil berjalan menuju rumah yang dimaksud ibu itu. Sesampainya di teras rumah, lelaki itu mendapati pintu dalam keadaan tertutup "Assalamualaikum" katanya sembari mengetuk pintunya.

   Dua tiga kali ketukan, tetapi tak ada yang menyahut. Dan di ketukan berikutnya, pintu itu bergerak pelan terbuka di iringi dengan suara berderak. "Walaikumussalam" sahut penghuni rumah, dan itu adalah Zahrana.

   "Maaf mengganggu... Benar ini rumahnya pak Ibrahim?" Tanya lelaki itu. Ia berdiri tepat di ambang pintu dengan kekaca hitam yang masih menutupi matanya.

   "Iya benar" jawab zahrana ..

   "Pak ibrahimnya ada ya?"

   "Ada"

   "Boleh di panggilin?" Katanya lembut.

   Tanpa pikir, zahrana bergegas melangkah masuk, tetapi ia berhenti seketika, kemudian membalikkan badannya cepat "dari siapa ya? Tanyanya dengan kening mengerut.

   "Bilang aja dari mantan anak buahnya"

   "Anak buah?" kata zahrana lirih, sambil melangkah ke ruang belakang untuk memanggil papanya dengan pikiran sedikit bingung.

   "Pah.. ada tamu!" katanya saat menemui Pak Ibrahim yang sedang duduk santai menikmati secangkir kopi sambil mendengarkan siaran radio di ruang keluarga

  "Siapa?" pak Ibrahim melengos ke arah zahrana

   "Nggak tau tuh... Katanya mantan anak buah papa" ujar zahrana sambil berjalan masuk ke kamarnya.

   "Mantan anak buah?" Gumamnya dengan bingung.

   Secangkir kopi hitam itu di teguknya sekali, memperbaiki bidaknya yang tampak melorot, lalu kemudian melangkah keluar.

   Lelaki itu masih berdiri di ambang pintu menunggu pak Ibrahim. Jari jemarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk kecil dinding kayu itu. Pak ibrahim muncul di balik tirai, dan langsung menemui tetamunya itu.

   "Siapa?" Sapanya

   "Pak ibrahim ya?"

   "Benar.... Kamu siapa?"

Tanpa ragu lelaki itu langsung mendekat dan cepat saja lengannya melesat melingkari erat di sekeliling tubuh pak Ibrahim. Lelaki itu memeluknya, menguncang-guncang tubuhnya dengan rasa girang yang meluap-luap.

   Pak ibrahim tampak keheranan. Pupil hitamnya menatap nanar lelaki itu yang tiba-tiba memeluknya.

   "Kamu siapa?" Tanya pak ibrahim di tengah guncangan tubuhnya. Tangannya mendorong pelan dada lelaki itu.

   Zahrana keluar dari kamarnya, mencoba mengamati apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Ia menjulurkan kepalanya di balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang dalam. Lelaki itu menepis tangan pak Ibrahim pelan, lalu kemudian ia mengangkat tangan kanannya dan melepaskan kacamatanya. Wajah ganteng berkulit kuning Langsat itu tampak utuh tanpa kekaca lagi. Pak Ibrahim tersentak sembari menangkap mata lelaki itu. Gurat senyum seketika memancar tipis di wajah pak Ibrahim.

   "Cipto?... Kamu Sucipto?" Katanya tergopoh-gopoh

   "Hmm" lelaki itu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.

   Melihat hal itu, giliran pak Ibrahim yang memeluknya, juga menguncang-guncang tubuhnya, menepuk-nepuk punggungnya, dan akhirnya mereka berdua saling mendekap dalam suasana haru biru.

   Beberapa saat kemudian, pak Ibrahim melepaskan pelukannya. Dan kedua tangannya merengkuh bahunya.

   "Aku hampir tak mengenalmu to..... Habis kamu terlalu gagah kulihat" katanya penuh kegirangan.

   Lelaki yang bernama Sucipto itu meraih tangan pak Ibrahim dan menciumnya.

   "Ayo duduk!" Pak ibrahim menuntunnya ke kursi. 

   Zahrana masih mengamati lelaki itu di balik tirai. Matanya menyelidik ke sekujur tubuhnya, seakan ingin mengumpulkan memori ingatannya, barangkali papa atau mamanya pernah bercerita tentang sosoknya, namun sekeping pun tak ada memori tentang sosok Sucipto yang kini duduk berhadapan dengan papanya. Dan akhirnya tirai itu ia tutup dan kembali masuk ke kamarnya.

   "Kamu dari mana aja selama ini, to?"

   "Semenjak aku pergi dari Samarinda lima tahun lalu.. aku pindah ke Berau dan kerja disana"

   "Kerja apa disana?"

   "Jadi buruh di tambang batu bara"

   "Dan sampai sekarang masih jadi buruh?.... Waahh... Kalau ku lihat tampilanmu...aku tidak percaya kalau kamu masih buruh... Pasti kamu udah bos kan?"

   Sucipto tersenyum-senyum mendengarnya.

   "Manager atau Direktur?"

   "Aah biasa aja kok pak" katanya tersenyum

   "Aah kamu ini" tukas pak Ibrahim sambil tertawa.

   "Na!" Seru pak Ibrahim

   "Ana...!"

   Zahrana bangkit dari tempat tidurnya. Ia melangkah keluar untuk menyambut panggilan papanya. 

   "Iya pah" katanya di balik tirai

   "Tolong bikinin teh dulu nak"

   "Baik pah" Dengan lekas zahrana melangkah menuju dapur.

   "Jadi bapak masih kerja di bengkel ya?" Tanya Sucipto pada pak Ibrahim

   "Aku udah berhenti dari setahun yang lalu.. maklum udah tua soalnya"

    "Ooh.. jadi apa kesibukan bapak saat ini?"

    "Yaah, kadang-kadang buat tas dari anyaman rotan.... Kadang juga bantu ibu menenun sarung... Ya begitulah to"

   "Yang penting berkah toh pak"

   "Alhamdulillah.... Apapun itu kalau di syukuri pasti berkah to"

    "Benar pak.... Kalau ibu lagi dimana kok gak keliatan?"

   "Ibu lagi ke pasar.. itu tuh.. lagi bawa tas bikinanku, dan sarungnya untuk di jual di pasar"

   "Ooh" serunya mengangguk pelan "Seumur-umur, aku belum pernah liat ibu loh pak" lanjutnya.

   "Habis dulu kamu gak pernah datang kesini toh"

   "Itulah pak....Yang aku tau cuma jalan semanggi gang 7" katanya sambil tertawa.

   "Gadis yang tadi, itu anaknya ya pak?" Lanjut Sucipto.

   "Iya... Anak semata wayangku... Aku juga salah to' .... Aku gak pernah cerita tentang kamu dengan orang di rumah.. makanya dia tadi agak bingung... Terus dia bilang lagi,, ada tamu, mantan anak buahku... Aku heran mendengarnya, memangnya aku pernah jadi bos apa?" Tandas pak Ibrahim terkekeh.

   "Hahaha.... Yah gak apa-apa kok pak"

   Dari arah depan, Bu Ningsih datang dengan gopoh-gapah membawa sisa jualannya dari pasar. Dengan nafas terengah, Ia langsung memasuki rumah.

   "Eeh.. ada tamu rupanya" Katanya sambil mengatur nafasnya

   "Nah ini istriku... panjang umur... Baru aja di omongin....sini Bu!" Serunya

   Bu Ningsih menaruh tas dan sarung jualannya di sudut dinding sebelum akhirnya ia memenuhi panggilan suaminya.

   Sucipto berdiri menyambut Bu Ningsih dan langsung menyalaminya. Zahrana pun muncul membawa nampan dengan segelas teh diatasnya "silahkan di minum!" Katanya sesaat setelah secangkir teh itu di taruh dimeja.

   "Nah, kebetulan kalian berdua ada.. duduk dulu.. aku mau cerita mengenai Sucipto ini"

   Dengan nampan ditangan, zahrana melangkah melewati mamanya dari belakang, kemudian menarik kursi plastik dan duduk diantara papa dan mamanya.

   "Eeh kenalan dulu sama kak Cipto" seru pak Ibrahim pada zahrana.

   Mereka berdua sama-sama berdiri dan menjulurkan tangan masing-masing.

   "Tuaan mana sebenarnya?" kata pak Ibrahim kemudian "Cipto, lahir tahun berapa?"

   "Aku kelahiran 75 pak" Jawab Sucipto

   "Tuaan zahrana dong kalau gitu... Dia 73"

   "Berarti aku yang panggil kakak kalau begitu" gurau Sucipto diiringi tawa kecil.

   Pak Ibrahim pun tertawa kecil mendengarnya, begitupun zahrana dan Bu Ningsih.

   Dalam suasana santai yang dibungkus dengan tawa ringan, Pak Ibrahim mulai bercerita tentang awal pertemuannya dengan Sucipto. Tubuhnya ia tegapkan, posisi duduknya ia perbaiki.

   "Mungkin sekitar tujuh tahun lalu, dan lebih tepatnya di bengkel tempat aku bekerja" katanya.

   Di tengah hiruk-pikuk suara besi beradu dan bau oli yang pekat. Kira-kira begitulah suasana saat itu. Sucipto berjalan gontai menghampiriku. Waktu itu tubuhnya terlihat kurus kering, seolah tiada daging tersisa di antara tulang-belulangnya. Pakaian yang dikenakannya compang-camping, celananya menggantung, nyaris terlepas dari pinggang. Wajahnya kusut dan kumal, seperti tak tersentuh air ataupun sabun selama berhari-hari. Rambutnya acak-acakan, dan kotor. Dia menghampiriku dan bertanya "apa ada pekerjaan disini pak?"

   Aku menoleh penuh ke arahnya, dan seketika rasa iba menyergap saat melihat kondisinya yang tampak tak berdaya. Dengan cepat, aku menghentikan pekerjaanku dan mengajaknya duduk di bangku panjang di samping bengkel.

   "Maaf, di sini pekerjanya sudah penuh... Saat ini tidak ada yang kosong," ujarku perlahan setelah kami duduk

   "Aku bisa bantu apa saja, Pak... Tolong, berapa pun upahnya, asalkan cukup untuk makan," jawabnya dengan suara lirih dan pandangan penuh harap.

   Aku terdiam, semakin tersentuh oleh ucapannya. "Kamu belum makan?" tanyaku, menatapnya lebih dekat.

   "Sudah dua hari aku belum makan, Pak," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

   Naluri kemanusiaanku tergerak. Meski ia orang asing dan aku sama sekali tak tahu asal-usulnya, aku tidak tega melihatnya seperti itu. Tanpa berpikir panjang, aku mengajaknya makan di warteg terdekat yang tidak jauh dari bengkel. Saat makan, ia sangat lahap. Tetapi aku mewajarkan, karena memang begitulah cara makan, ketika perut tak terisi makanan selama dua hari.

Lihat selengkapnya