Tak dapat menahan gelombang rindu yang terus mengalir dalam dirinya. Kali ini, kakinya membawanya kembali ke Pantai Losari, tempat dimana cinta itu bersemi. Di bawah naungan pohon mahoni itu, Arif menemukan batu beton yang dulu tempatnya duduk.
Duduk di batu beton itu lagi, ia kembali merenungi satu momen yang begitu berarti—saat pertama kali ia mengungkapkan perasaannya kepada Zahrana.
Pandangannya tak jenak di satu titik, tetapi yang paling sering ia pandangi adalah Masjid Amirul Mukminin yang berdiri megah di sisi timur pantai. Bagaimana tidak, Masjid itu seakan membawanya kembali ke hari di mana pengakuan cinta dan janji kesetiaan terucapkan. Belum lagi desah angin yang menyapanya, mengingatkannya pada senyum Zahrana, pada tatapan lembut yang dulu membuat hatinya bergetar. Tapi kini, hanya sebatas rindu. Ya, sebuah kerinduan yang tak bertepi. Semua hanya tinggal menjadi bayang-bayang.
Di Malakaji. Hal yang sama dirasakan Arif. Berjalan di antara persawahan dan taman bunga itu, membuat langkahnya tercegat. Dan rasa rindu menggelitik seketika. Ya, apa lagi kalau bukan bunga macora itu. Bunga Macora dengan mahkota berwarna merah. Bunga yang hanya mekar di sudut-sudut tersembunyi. Bunga misterius yang sulit ditemukan, namun tak pernah gagal memikat hati para pencari makna. Kelopak-kelopaknya memanjang dengan anggun, tipis seperti jalinan sutra yang lembut.
Pada malam hari, Macora melepaskan aroma yang tak tertandingi. Wangi itu begitu samar, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang menembus hakikat, seolah bunga ini memilih sendiri siapa yang layak menciumnya. Mereka yang beruntung merasakannya mengatakan bahwa aroma bunga Macora bukan sekadar harum, melainkan sebuah pengalaman. Ia mampu membangkitkan kenangan lama, menghidupkan kembali rasa yang telah terkubur di hati, memaksa setiap jiwa untuk menghadapi nostalgia yang terkadang terlalu berat untuk diabaikan. Di bawah cahaya, putik Macora berkilauan seperti serpihan emas. Kilauannya lembut, nyaris mistis, seakan bunga ini mengemban tugas sebagai penjaga dari harapan-harapan yang terlupakan. Tak sembarang orang bisa membuatnya mekar. Ia hanya menampakkan keindahan sejatinya kepada mereka yang datang dengan hati murni dan niat tulus. Jika disentuh dengan rasa kasih, kelopaknya akan berdenyut halus, seakan bunga itu hidup, mengalirkan ketenangan yang dalam. Namun, jika diambil dengan tangan penuh keserakahan atau niat jahat, Macora akan layu dalam hitungan detik, meninggalkan jejak rasa kehilangan yang tak tergantikan.
Legenda Malakaji mengatakan bahwa bunga ini adalah lambang cinta sejati—cinta yang tidak mengenal waktu dan jarak, yang bertahan dalam sunyi dan kegelapan. Hanya mereka yang benar-benar memahami esensi cinta yang bisa merasakan.
Arif terus memandangi bunga itu, hanyut dalam keindahan dan kenangan yang berkelindan di hatinya. Namun, pikirannya buyar seketika saat sebuah suara mesin halus terdengar dari kejauhan. Matanya teralih pada sebuah mobil mewah yang melintas di jalan desa. Kendaraan itu mengilap, dengan cat hitam yang memantulkan bias-bias cahaya sore. Di kampung kecil seperti Malakaji, jarang sekali ada mobil mewah yang lewat, apalagi yang sekelas mobil pejabat. Mobil itu melaju perlahan, sebelum akhirnya hilang di tikungan jalan berbatu. Arif tak bisa menahan rasa penasarannya. "Siapa yang datang ke sini dengan mobil semewah itu?" pikirnya. Di tengah perenungannya.
Bunga Macora itu kembali menggoda perhatiannya. Tatapannya Ia arahkan ke bunga itu lagi. Ia melangkah mendekat, merengkuh dan mencium macora itu, dan akhirnya ia melangkah pulang kerumahnya.
Betapa terkejutnya ia, ketika mendapati mobil mewah itu terparkir depan rumahnya. Di balik kaca hitam, Ia menelisik mobil itu dan mencoba mencari tau siapa pemilik mobil sekelas bupati itu, namun, tak ada orang yang ia dapati sama sekali, kemudian ia menoleh ke teras atas rumahnya, juga tak ada tanda-tanda kedatangan tamu. Namun, dua pasang sepatu hitam tersusun diatas surambi tangganya, membuatnya tambah bingung.
Arif melangkah mendekat, samar-samar, terdengar suara tangis dari atas rumah. Ia tak hanya bingung tetapi ia juga kaget. Arif berhenti sejenak. "Apa yang terjadi di atas?" pikirnya. Dengan langkah hati-hati, ia menaiki tangga, mencoba memastikannya dan siapa gerangan pemilik sepatu itu? Semakin dekat, suara isak tangis semakin jelas. Sesampainya di atas, pemandangan yang tak pernah ia bayangkan membuatnya tertegun. Tetta dan Amma'nya sedang berpelukan erat dengan sepasang laki-laki dan perempuan. Keempatnya tenggelam dalam tangisan, tanpa menyadari kehadirannya. Arif menatapnya tak mengerti.
"Maafkan aku Tetta... Maafkan aku Amma," seru lelaki itu di antara isak tangisnya, suaranya pecah dalam dekapan.
Arif terus menatap laki-laki itu dengan saksama, mencoba mencari tahu siapa dia. Ada sesuatu yang tak asing, namun Arif tak bisa langsung mengenalinya. Wajah itu, yang dulu samar-samar ia ingat, seolah terhapus oleh waktu begitu saja. Laki-laki itu menoleh lirih, matanya menangkapnya. Dalam sekejap, dada Arif serasa dihantam oleh perasaan yang begitu kuat, seperti ombak yang menghantam karang.
Laki-laki itu... adalah Abdu.. Adiknya yang sudah dianggap meninggal lima tahun lalu. Ia yakin betul, dan Arif mundur selangkah, tak mampu berkata apa-apa. Bagaimana mungkin? Adiknya yang selama ini diratapi, yang hilang tanpa jejak, kini ada di hadapannya—hidup, bernapas, dan menangis di pelukan orang tuanya
Suara isakan masih terdengar, namun bagi Arif, semuanya terasa seperti hanya mimpi di siang bolong, namun, di depannya benar-benar nyata. Seorang adik yang ia pikir telah hilang selamanya, kini tiba-tiba kembali.
Arif masih terpaku, matanya belum bisa lepas dari pemandangan itu. Ia menggosok matanya sekali lagi, berharap pandangannya keliru. Tapi tidak—sosok itu nyata, adiknya, Abdu, benar-benar berdiri di sana. Semua keraguan perlahan tergantikan oleh kenyataan pahit yang terlalu sulit diterima. Seluruh perasaan campur aduk—rindu, bahagia, marah, bahkan kecewa—membanjiri Arif. Dadanya sesak, begitu banyak yang ingin ia katakan, begitu banyak pertanyaan yang berteriak di dalam kepalanya, tapi lidahnya kelu. Langkah kakinya melemah, seolah seluruh tenaganya tersedot oleh kenyataan yang tiba-tiba datang begitu saja.
Tetta dan Amma’nya masih memeluk anaknya itu, tenggelam dalam luapan emosi mereka. Tangisan itu begitu penuh dengan kelegaan, seolah seluruh penantian panjang yang selama ini menyiksa telah berakhir. Abdu, dengan wajah yang kini terlihat lebih dewasa dan penuh luka pengalaman, memeluk kedua orang tuanya erat, tanpa kata-kata. Tangannya gemetar, menggenggam lengan Tetta seolah takut kehilangan lagi. Air mata membanjir di wajahnya, menetes tanpa henti. "Maafkan aku," bisiknya sekali lagi, suaranya lebih seperti ratapan yang tak mampu menyembunyikan kesedihan di baliknya.
Arif perlahan mendekat, suara tangisan itu membuat hatinya remuk. Rasanya ada yang tersangkut di tenggorokannya, antara ingin bertanya atau hanya ikut larut dalam suasana. Ia berdiri beberapa langkah dari mereka, masih tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Bagaimana bisa...?" Akhirnya Arif berbisik, tapi suaranya hilang ditelan tangis di ruangan itu. Tiba-tiba, Amma’nya menoleh. Matanya membengkak karena menangis, tapi ketika melihat Arif di dekat ambang pintu, ada sinar lain di dalamnya. "Arif..." bisiknya pelan, lalu ia meraih tangan Abdu, menariknya untuk menoleh ke arah kakaknya.
Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Abdu memandang Arif dengan sorot mata yang penuh penyesalan, campuran antara rasa bersalah dan rindu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sejenak keduanya hanya berdiri diam, tanpa gerakan, tanpa kata, namun dalam kesunyian itu, ada ribuan perasaan yang bergejolak.
Arif menelan ludah, mencoba menahan kesedihan yang mulai memuncak di dalam dadanya. Lima tahun. Ya, Lima tahun penuh kepedihan, memikirkan Abdu sudah tidak ada. Tapi sekarang, adiknya berdiri di hadapannya, hidup, dalam keadaan yang tak bisa ia pahami.
"Kamu... kamu di mana selama ini?" suara Arif bergetar, separuh ingin menangis, separuh menuntut jawaban. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencengkeram keras seolah mencoba menahan gejolak yang hampir meledak. "Kenapa kamu tidak pernah mengabari, abdu?" Suaranya makin tinggi, penuh dengan perasaan terpendam yang meledak tak tertahankan. Abdu, yang sebelumnya memeluk orang tuanya, menunduk. "Aku... aku tak bisa..." suaranya serak, sulit untuk didengar. "Ada hal-hal yang tak bisa aku jelaskan sekarang, Kak. Tapi aku tak pernah ingin meninggalkan kalian. Aku terpaksa..."
"Terlalu lama kau pergi," potong Arif, suaranya penuh kesedihan yang ia coba sembunyikan. "Kami sudah menguburmu di hati kami, Abdu. Kami sudah mencoba hidup dengan kehilanganmu."
Abdu menutup matanya sejenak, tampak menahan luapan emosinya sendiri. "Aku mengerti, Kak. Tapi aku kembali sekarang.. Aku hanya bisa meminta maaf atas semua yang terjadi."
Keheningan kembali mengisi ruangan, namun kali ini dipenuhi dengan kegelisahan dan ketidakpastian. Arif berdiri, kaku, masih mencoba memahami semua ini. Ia ingin marah, ingin memeluk, ingin berkata-kata, tapi tak ada satu pun yang bisa ia lakukan.
Tetta akhirnya berbicara, suaranya pelan tapi penuh kepastian. "Nak, yang penting sekarang... Adikmu sudah kembali"
Air mata mulai menetes di pipi Arif. Hatinya terasa berperang—antara amarah dan rindu. Dalam kesunyian yang penuh emosi itu, perlahan, ia melangkah mendekat.
Dan tanpa berkata-kata lagi, Arif akhirnya menarik Abdu dalam pelukannya. Pelukan itu penuh dengan segala rasa yang tak bisa diungkapkan, sebuah pelukan yang melampaui kata-kata—campuran rindu, dan pengampunan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah merasakan kehilangan yang dalam.
Saat itu juga, semua rasa sakit dan kebingungan di antara mereka larut dalam dekapan. Hanya tangisan yang tersisa, tangisan keluarga yang akhirnya bersatu kembali setelah bertahun-tahun terpisah oleh nasib yang tak terduga.
Arif dan Abdu masih tenggelam dalam pelukan yang erat. Dari arah samping, Pak Samad mendekat dan merangkul mereka berdua, sementara Bu muliati menghampiri indah yang juga dalam keadaan menangis.
Di luar sana, satu persatu kerabat yang melintas depan rumah berhenti sejenak. Mereka penasaran dengan mobil itu. Warga kampung jarang sekali melihat kendaraan semewah itu di Malakaji, apalagi di depan rumah sederhana milik pak Samad.
Salah satu dari kerabat itu adalah Daeng Bella dan istrinya_Daeng te'ne.
Mereka berdua memberanikan diri melangkah naik ke surambi. Di atas tangga, suara tangis itu menderu keluar, dan itu makin menambah rasa penasaran mereka.. Akhirnya Daeng Bella dan istrinya bergerak cepat naik. "Apa yang terjadi?" Bisik Daeng Bella pada istrinya "Assalamu'alaikum," suaranya terdengar sedikit gemetar, campuran antara rasa ingin tahu dan keheranan. Ia mengetuk pintu perlahan, kemudian mencoba mengintip ke dalam. Beberapa kerabat dan tetangga lain ikut naik kerumah. Mereka berdiri di belakang daeng Bella dan Daeng Te'ne, penasaran dengan tetamu pak Samad dan panik karena mendengar suara tangisan.. Ada yang mendongak ke dalam, ada juga yang berbisik-bisik.
Pak Samad, Bu muliati, Arif, Abdu dan juga indah, terdiam sejenak, menyadari bahwa beberapa orang telah datang kerumahnya. Bu muliati menghapus air mata di pipinya, mencoba menenangkan diri. "Wa'alaikumussalam," jawabnya', suaranya bergetar. "Silakan masuk,"
Daeng Bella membuka pintu dengan pelan, kemudian melangkah masuk dengan penuh hati-hati bersama istrinya. Di belakangnya, beberapa kerabat lainnya masih berdiri mengamat-amati dari luar pintu, termasuk Daeng Kulle.
"Ada apa daeng?" Tanya daeng Bella... Daeng Bella menatap Abdu dan indah, namun ia tak mengenalinya.
Ke lima orang itu, belum ada yang menjawab, sebelum akhirnya Bu muliati dengan isak kecilnya berkata dengan suara bergetar "Abdu masih hidup Bella!"
"Hah... Ini Abdu?" Kata Daeng Bella terkejut. Ia mendekat, mencoba mengamati abdu secara seksama. Abdu menatapnya, lalu dengan cepat menundukkan kepala, tampak merasa bersalah di hadapan para keluarganya yang selama ini menganggapnya telah tiada.
"Ya Allah... Abdu?" desis Daeng Te'ne, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Abdu masih tertunduk.
Daeng Kulle dan beberapa kerabat lain yang masih mendongak-dongak di luar, serempak melompat ke dalam sambil bergesek-gesekan setelah mendengar kata Abdu.
"Abdu Masih hidup?"
"Aah tidak percaya!"
"Yang punya mobil itu adalah Abdu?"
"Itu Abdu.. yang perempuan itu siapa?"
Daeng Bella mendekat, dan Abdu perlahan mengangkat kepalanya. "Semua keluarga di kampung... ikut merasakan duka lima tahun lalu, saat kabar tentangmu telah meninggal. ," kata Daeng Bella pelan. Matanya menatap Abdu lekat-lekat, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi atau khayalan.
Abdu mencoba tersenyum, meski air matanya masih menetes. "Aku minta maaf, Daeng," ucap abdu dengan suara serak. Daeng Bella memeluknya erat. Kerabat-kerabat lain yang berkumpul mulai mengucapkan puji syukur, beberapa di antara mereka bahkan tak kuasa menahan tangis. Kabar bahwa Abdu, yang selama ini dianggap meninggal, kini telah kembali. Abdu melepas pelukannya dengan Daeng Bella, kemudian Daeng Kulle mendekat "kau benar Abdu?" Tanya daeng Kulle penuh haru "iya daeng" jawabnya sambil menangis. Abdu memeluk Daeng Kulle sejenak, kemudian melepas kembali pelukannya. "Kau masih mengenalku?" Tanya Daeng Kulle kembali. Abdu mengangguk pelan, masih di iringi dengan air mata. "Daeng Kulle kan?" Katanya. Dengan cepat Daeng Kulle membalikkan badannya, lari tergopoh-gopoh keluar rumah, turun dari tangga sambil berteriak-teriak histeris penuh haru "Abdu masih hidup... Oeee Abdu masih hidup.. Alhamdulillah Abdu masih hidup"
Beberapa saat kemudian, kabar bahwa ternyata Abdu masih hidup, menyebar dengan cepat di kalangan warga. Satu persatu, mereka mulai datang, ada naik kerumah dengan tergesa-gesa, beberapa di antaranya berdiri di halaman rumah, sambil berbisik-bisik, membicarakan keajaiban kembalinya Abdu.
Daeng Bella kemudian melangkah duduk di salah satu kursi bambu diruang tamu, kemudian menatap Abdu dengan penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana bisa, Nak? Ke mana saja kau selama ini? Apa yang terjadi?" tanyanya penuh perhatian.
Arif, yang berdiri di samping Abdu, menoleh ke arah adiknya. Pertanyaan itu tak hanya milik Daeng Bella; seluruh keluarganya, termasuk Arif sendiri, ingin tahu jawaban dari pertanyaan yang telah menggelayut di pikiran mereka selama bertahun-tahun.
Abdu menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya, kemudian ia melangkah ke kursi bambu depan Daeng Bella. Pak Samad dan dan Arif menyusul kemudian. Sedangkan Indah duduk bersandar di dinding kamar di temani Bu Muliati dan Daeng Te'ne. Daeng Kulle dan Kerabat lainnya_Laki-laki dan perempuan, sebagian duduk di atas lantai papan.. Ada yang duduk bersila, ada yang bersimpuh, beberapa diantaranya ada yang jongkok, ada yang duduk dengan kaki ditekuk ke samping tubuhnya, dan ada yang berdiri sambil bersandar di dinding. Mereka semua menatap Abdu dengan penuh rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi...
Duduk di kursi itu, perlahan Abdu mulai bercerita. Ia menceritakan kisahnya persis seperti yang di sampaikan di depan Pak Ibrahim dan Zahrana waktu itu di Samarinda.
Setiap orang yang hadir, baik kerabat dekat maupun tetangga yang baru datang, diam-diam menyerap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ekspresi mereka berubah-ubah seiring alur cerita Abdu. Rasa penasaran, duka, dan terkejut tergambar jelas di wajah mereka, seolah mereka sedang menyaksikan babak baru yang tak pernah terbayangkan dalam kisah hidup Abdu.
Bu Muliati sesekali menunduk, mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Tetta menatap lurus ke arah Abdu, matanya berbinar meski masih berkabut oleh kesedihan. Arif duduk kaku di samping, perasaannya berkecamuk. Ia mengangguk perlahan, meski hatinya masih sulit menerima bahwa adiknya, yang sudah lama diratapi, kini duduk di hadapannya.
Di seberang kursi, para kerabat lainnya menatap dengan penuh harap, beberapa tampak terkejut, sementara yang lain hanya bisa terdiam, berusaha memahami beratnya jalan yang harus dilalui Abdu selama beberapa tahun terakhir. Kerut di wajah Daeng Bella semakin dalam seiring dengan kisah yang terus mengalir dari mulut Abdu, memperlihatkan betapa sulitnya menerima kenyataan yang kini terungkap.
Suasana terasa semakin berat ketika Abdu sampai pada bagian di mana ia harus menjelaskan alasan kepergiannya yang begitu lama tanpa kabar, yang membuatnya terjebak dalam keadaan yang tak memberinya pilihan lain selain menghilang dari kehidupan keluarga. Banyak yang tampak tak percaya, bahkan sesekali terdengar tarikan napas berat di antara kerabat yang hadir. Namun, tak seorang pun memotong atau mengajukan pertanyaan, seolah mereka tak ingin melewatkan satu pun detail dari cerita itu. Perasaan sesak menyelimuti seluruh ruangan, seperti awan hitam yang menggantung berat. Masing-masing dari mereka mencoba mengerti, namun rasa kehilangan yang telah begitu lama menghantui mereka, sulit untuk dihapus begitu saja oleh kebenaran yang baru saja terungkap. Pandangan penuh haru, sesekali dipenuhi rasa iba, terlihat di antara mereka, terutama dari wajah-wajah yang selama ini merasakan duka kepergian Abdu seolah kepergiannya adalah luka yang tak akan pernah sembuh. Pak Samad hanya duduk diam, wajahnya kaku namun matanya terus memperhatikan Abdu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada rasa bangga, namun juga kesedihan yang tak terungkapkan. Sesekali, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah-tengah emosi yang meluap di dalam hatinya.
Di luar rumah, terdengar suara orang-orang yang mulai berkumpul di sekitar halaman, penasaran dengan apa yang sedang terjadi diatas. Mereka berbisik-bisik, berbicara dengan nada heran, dan beberapa mulai bertanya-tanya tentang Abdu dan perempuan yang ia temani. Namun tak ada satu pun yang berani mengganggu keheningan di atas rumah.
Semua mata tetap tertuju pada Abdu, yang terus berbicara dengan suara yang perlahan mulai terdengar lebih tegas, seolah beban di pundaknya sedikit demi sedikit terangkat dengan setiap kata yang keluar. Meski demikian, ekspresinya tak pernah benar-benar tenang. Sesekali, Abdu menundukkan kepalanya, menggenggam tangannya erat-erat, seolah menahan perasaan bersalah yang begitu besar. Wajahnya memancarkan kelelahan, bukan hanya karena perjalanan yang panjang, tapi juga oleh beratnya perjalanan yang selama ini ia tempuh.
Di ujung cerita, suasana menjadi sunyi senyap. Tak ada satu pun yang berbicara, tak ada yang berani memulai. Ruangan itu terasa dipenuhi oleh beban emosi yang begitu tebal, hingga bahkan suara detak jantung pun seolah bisa terdengar. Semua yang hadir hanya bisa duduk dalam keheningan, menyerap seluruh kenyataan yang kini terbentang di depan mereka.
Perlahan, satu per satu dari kerabat mulai berdiri, berjalan mendekati Abdu dengan sikap penuh perhatian. Wajah mereka menunjukkan campuran emosi yang sulit dijelaskan—rasa haru, kelegaan, dan kesedihan yang masih tersisa. Namun, di tengah semua itu, ada cahaya kecil dari harapan yang mulai tumbuh di hati mereka.