Sebulan kemudian, semua keluarga dan tetangga mulai berkumpul di rumah Arif. Mereka semua sedang mempersiapkan segala perlengkapan menuju pesta pernikahan Arif dan Zahrana.
Di halaman rumah panggung yang sederhana itu, Daeng Kulle dan beberapa laki-laki lainnya, saling bergotong royong membelah bambu-bambu petung untuk membangun wala suji. Beberapa yang lain, juga ada yang sibuk membuat keranjang yang dianyam dari bambu. Di samping rumah, Daeng Ti'no bersama dua ibu-ibu lainnya tengah sibuk mengaduk dodol di atas panci besar, menggunakan sodet yang panjang. Mereka bertiga mengaduk secara bergantian. Disisi lain, beberapa ibu-ibu juga ada yang sibuk memarut kelapa, ada yang mencuci piring sambil mengoceh tak karuan. Ada yang menggoreng ikan, ada juga yang sedang membuat kue kering. Anak-anak berlarian bermain-main di belakang rumah. "Masih kurang bambunya, Daeng!" Teriak daeng Kulle pada daeng Bella.
Di ruang tamu, semua kursi sudah di pindahkan. Disitu ada halija sedang sibuk mengatur bosara, nampan bulat berhias kain sutra emas dan merah yang akan diisi dengan berbagai hidangan khas. Para anak muda juga ambil andil, mereka tengah menyiapkan panggung pelaminan yang akan dipakai oleh pengantin. Kain patola dan sarung tenun sutra berwarna cerah digantung dengan hati-hati, membingkai panggung dengan warna-warna merah, hijau, dan emas. Di kamar Arif, Indah dan beberapa perempuan muda sibuk menghias ruangan dengan bunga rampai dan janur kuning. Mereka duduk melingkar, merangkai bunga melati, mawar, dan kenanga menjadi rangkaian bunga harum.
Di teras rumah Arif dan Abdu sedang mengamati para kerabat yang sibuk bekerja.
Wajah Arif tampak sangat berseri, matanya berbinar-binar memandangi orang-orang bekerja. Tentu itu adalah pancaran hatinya yang penuh kebahagiaan. Sebenarnya kalau tawaran Abdu di terima untuk melangsungkan pesta di gedung yang ada di kota, mungkin kerabat-kerabat tidak akan repot seperti ini, tetapi Pak Samad mencegahnya, katanya meski sederhana tetapi kalau pesta di adakan di rumah sendiri, tentunya akan lebih berkah.
Di sisi lain, Zahrana bersama papa dan mamanya juga sedang sibuk mengurus segala keperluan di rumah daeng Bella. Kenapa di rumah daeng Bella? Abdu yang menyarankan, mengingat tak cukup waktu dan jarak yang terlalu jauh untuk kembali ke Samarinda. **
Tiba hari yang dinantikan, hari pernikahan Arif dan Zahrana. Pagi itu, suasana di rumah panggung semakin ramai. Para tamu mulai berdatangan, menambah riuh suasana dengan obrolan dan tawa. Di depan rumah, para tetua adat dan keluarga terdekat berkumpul. Angin sejuk pagi hari membawa harum bunga rampai dan aroma hidangan yang telah disiapkan sejak malam sebelumnya. Arif tampak gagah dengan busana pengantinnya. Ia mengenakan jas tutup berwarna putih gading, disulam dengan benang emas di bagian kerah dan lengan. Di kepalanya, songkok guru hitam berhias benang emas yang sudah dipersiapkan sebelumnya, melekat rapi, melambangkan kehormatan dan statusnya sebagai pengantin pria. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun tak bisa menutupi kecemasan yang tersirat dari tatapan matanya. Ruang tamu yang tadinya dipenuhi peralatan kini telah berubah menjadi tempat sakral, di mana prosesi ijab kabul akan dilangsungkan. Di tengah-tengah ruangan, tikar pandan digelar dengan rapi. Para tokoh adat dan keluarga duduk bersila di sekeliling. Para pria mengenakan baju adat Makassar lengkap, sementara para wanita tampak anggun dengan balutan baju bodo dan kain sutra berwarna cerah.
Saat prosesi dimulai, Pak Samad, duduk bersebelahan dengan seorang penghulu. Tangan kirinya memegang tangan Arif dengan lembut, sementara tangan kanannya menuntun putranya untuk siap mengucapkan ijab kabul. Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara lembut angin dan detak jantung yang terasa kian kencang. “Arif bin Samad,” suara penghulu memecah keheningan. “Apakah kamu siap melangsungkan ijab kabul dengan Zahrana binti Ibrahim, dengan mas kawin yang telah disepakati?”
Arif menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk tegas. “Aku siap,” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Penghulu kemudian mulai melafalkan kalimat ijab, suara lirihnya terdengar penuh khidmat. Arif, dengan mantap dan penuh keyakinan, menyambut dengan kalimat kabul yang diucapkannya dengan lantang, “aku terima nikahnya Zahrana binti Ibrahim dengan mas kawin tersebut tunai karena ALLAH.”
Seisi ruangan diam sejenak, menunggu. Penghulu tersenyum sambil mengangguk, "Bagaimana bapak-Ibu?