“Pergi kau!”
“Aku muak melihatmu!”
“Pergilah, kami tidak menginginkanmu!”
“Kau pikir, kau siapa?!”
“Aku membencimu! Oh, tidak. Yang benar adalah kami memberncimu!”
Kira-kira, seperti itulah perkataan yang menggambarkan tatapan sinis mereka. Oh, tidak, aku salah. Yang benar adalah: aku benar-benar mendengar teriakan itu. Dan itu … membuatku sangat takut.
BRUK!
“Hei, kalau jalan hati-hati, dong! Jangan sambil melamun!” ketus anak perempuan berambut gelombang yang bertabrakan denganku.
“Aa, hontou ni gomennasai[1],” ucapku sembari menunduk.
“Cih, jelas saja, memang seharusnya begitu, kan,” timpal seorang temannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Dasar Kuaci!” Mereka mendorongku hingga nyaris terjatuh, dan akhirnya berjalan pergi.
Yah, orang yang berambut gelombang tadi adalah Ringo Akai (baca: ringgo), anak seorang pemilik cabang perusahaan Apple di Jepang.
Aku menghela napas.
###
Aku tak habis pikir, mengapa aku diterima di sekolah sombong seperti Yuufuku Junior High School? Yah, sekolah ini adalah sekolahnya para bangsawan. Oh, tidak, aku bukan bangsawan. Orang-orang yang bersekolah di sini, sebagian besarnya merupakan darah biru. Bahkan beberapa artis remaja juga bersekolah di sini. Aku? Aku hanya beruntung mendapatkan beasiswa di sini. Beasiswa terkutuk.
Aku melihat pantulan diriku di toilet sekolah. Seperti monster. Lem berwarna kuning melekat di wajahku. Kulepas kacamataku, kemudian kubersihkan dengan hati-hati. Air mataku tidak berhenti mengalir, membuat wajahku semakin jelek saja.
Otakku berusaha untuk tidak memutar memori mengenai kejadian memalukan beberapa menit yang lalu.
Pagi ini, seperti biasa, di sekolah aku duduk menyendiri di sudut belakang kelas. Kuperhatikan orang-orang berlalulalang. Beberapa berkelompok, terlihat asyik mengobrol, kemudian meledakkan tawa. Terkadang, aku ingin menjadi salah satu bagian dari mereka.
Semua baik-baik saja hingga bel tanda dimulainya pelajaran pertama berbunyi. Kesenian. Hana-sensei, yang merupakan guru kesenian kami, berhalangan hadir. Jadilah kami diberi tugas untuk membuat prakarya dari batang es krim. Aku yang cukup handal dalam kesenian, merasa tak masalah. Dengan lancar aku menyusun benda itu menjadi lampion. Kemudian, aku berusaha mengeluarkan lem kental dengan susah payah. Jujur saja, aku merasa curiga ketika Ringo memperhatikanku dengan senyum sinisnya.
Apa boleh buat, suara croot dari lem yang menyemprot wajahku, membuat semua di ruangan itu tertawa. Kejam.
Hal itulah yang membuatku malu. Yah, itu hanyalah salah satu ijime[2] yang kuterima dari teman-teman, terutama Ringo.
###
“Tadaima[3].”
“Himawari? Okaeri[4]!” Mama menyambutku di depan pintu. Aku pun memasang senyum termanisku, meskipun kejadian tadi membuatku lelah.
Bagaimanapun, mama adalah motivasiku untuk tetap bersekolah saat ini.
“Kamu tampak lelah, Hima-chan. Segeralah mandi, air hangatnya telah Mama siapkan.”
Membayangkan ofuro[5] saat keadaan seperti ini, membuatku sedikit lega. Pastilah nyaman saat mentari terbenam, berendam di bak mandi yang penuh dengan air hangat. Lalu makan malam dengan menu kesukaan, kemudian mengerjakan PR, dan tidur.
“Bagaimana di sekolah?”
Aku menuntaskan suapan pertamaku—ebi tempura favoritku—kemudian menjawab seadanya, “Seperti biasa.”
Mama hanya mengangkat alis. Tangannya menyatu di atas meja, kemudian menghela napas. “Mama paham perasaan dan keadaanmu,” katanya. “Apa boleh buat, papa hanya dapat mengirimi uang tiga bulan sekali. Itupun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan untuk biaya di sekolah negeri pun Mama tidak sangggup.”
Buru-buru aku menelan suapanku yang lain, kemudian mencela, “B-bukan begitu maksudku.” Kusesap matcha di atas meja, lalu melanjutkan, “Tidak usah repot-repot pindah sekolah. Aku mulai terbiasa dengan lingkungan seperti itu.”
Lingkungan seperti itu yang kumaksud adalah pergaulan para orang kaya, yang satu paket dengan sikap sombong dan pribadi eksklusif mereka. Cukup dengan berdiam diri, menyendiri dan tidak ikut bergabung dengan obrolan sesumbar mereka, kurasa aku cukup aman.
“Bagaimana dengan Ringo?”