Canggung.
Itulah yang kurasakan saat ini, jujur, itu tidak nyaman. Di ruangan yang luas ini, yang terdengar hanyalah denting alat-alat makan. Sesekali aku menghela napas, setidaknya untuk mengurangi rasa sesak dalam dada. Otou-sama[1] menjaga image wibawanya. Okaa-sama[2] mempertahankan gengsinya. Pernah aku berpikir, jika saat ini aku menghilang, mungkin mereka tidak akan menyadarinya.
“Jadi.” Mendadak Otou-sama buka suara. Tentu saja hal itu membuatku gusar. “Saat ini quality time; sangat jarang kita sekeluarga dapat makan malam bersama, bukan begitu?” Kedua sudut bibir Otou-sama yang terangkat justru membuat jantungku terpompa lebih cepat.
Okaa-sama menanggapi, “Kamu benar, Sayang. Kapan ya, terakhir kali kita seperti ini?”
Ayolah, memangnya aku peduli?
“Oh, ya,” ucap Otou-sama. Lelaki berkacamata itu menatapku. “Bagaimana dengan sekolahmu, Kuroba?”
Tatapannya justru terasa menikamku tepat di jantung. Aku berusaha mengontrol diri dengan berpura-pura sibuk mengiris daging steak yang tersaji. “Baik,” jawabku pelan, diam-diam berharap tidak ada lagi yang dipermasalahkan. “Seperti biasanya.”
Kamu berpikir itu masalah nilai? Oh, tidak. Aku selalu merasa baik-baik saja tentang itu, setidaknya selama aku sembilan tahun bersekolah formal saat ini.
“Benarkah?” Okaa-sama juga menatapku, seolah mencari kebenaran. “Kamu tidak … mengikuti klub yang berbau musik, kan?”
Aku mual. Rasanya seperti ada ayam berkokok heboh dalam perutku. Ah, inilah akibatnya jika seorang Kuroba memendam emosi terlalu lama. Mendadak aku rindu sekali dengan gitarku.
Pelan-pelan kumasukkan udara ke dalam paru-paruku. “Tentu saja.”
Maksudku, tentu saja aku berbohong.
“Bagus!” Okaa-sama tersenyum lebar. “Dengan mempertahankan nilai-nilaimu selama ini, Okaa-sama pikir kamu tidak akan ada hambatan untuk masuk SMA favorit, Kuroba. Dan jika semuanya lancar, kamu dijamin dapat lolos universitas yang telah kami targetkan, bukan begitu, Sayang?”
Tolonglah, aku terlalu bosan mendengarnya.
“Oh, atau perlu kamu Okaa-sama daftarkan dalam program bimbel?”
“Ti-tidak usah!” jawabku cepat, lantas tersenyum seadanya. Dengan keadaan seperti ini saja aku nyaris gila, bagaimana jika ditambah dengan rumus-rumus dan materi sains sepanjang malam?
“Tidak masalah jika tidak mengikuti bimbel,” papar Otou-sama. “Otou-sama telah menemukan sebuah SMA yang bagus untukmu. SMA swasta di kawasan elite Joryu, sebagian besar alumninya sukses menjadi dokter. Dengan nilai-nilaimu yang di atas rata-rata, Otou-sama yakin kamu mampu mendaftar di sana.”
Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Bagaimana dengan SMA Bijutsu?”
Keduanya menghentikan aktivitas. Mereka menatapku kau-bercanda-kan?, membuatku merasa tidak nyaman. Uh-oh.
“SMA Bijutsu?” Nada bicara Okaa-sama pun meninggi. “Bukankah itu SMA berunsur seni? Setiap bulan ada saja acara kesenian yang diselenggarakan, berisik sekali.”
SMA Bijutsu memang berada di kompleks sebelah. Awal-awal SMP aku kerap mengintip klub musik mereka saat sore hari, berharap suatu saat nanti dapat bergabung.
“Kuroba, Kuroba. Jika kamu masuk SMA tidak berkualitas seperti itu, bagaimana bisa kamu sukses mendaftar di universitas jurusan kedokteran? Jangan buang-buang waktumu hanya dengan bermain alat musik, Otou-sama ingatkan,” tegas Otou-sama dengan tatapan tajam.
Dadaku sesak. Ingin rasanya aku berteriak. “Tidak bisakah kalian melihatku bahagia?” kataku dengan suara tertekan. Aku berusaha mengontrolnya, namun emosiku yang meluap-luap menghalanginya.
“Bahagia?” Okaa-sama bertanya tak percaya. “Satu-satunya cara yang dapat kami lakukan sebagai orangtua adalah membantumu untuk menjadi dokter, Kuroba. Ojii-sama[3] dan beberapa pamanmu yang lain adalah dokter, itu sudah turun temurun. Atau bahkan kamu ingin mencari istri seorang dokter seperti Okaa-sama ini, suatu saat nanti?” Seulas senyum di wajah Okaa-sama terkesan … meremehkan.
“Sedari kecil, kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi dokter, Kuroba,” timpal Otou-sama. “Jalani saja dan lupakan alat musikmu yang mengganggu itu. Buang-buang waktu saja.”
Tanpa sadar, tanganku mengepal. Seharusnya aku tahu hal itu mustahil terjadi—maksudku, menjalani pendidikan sesuai minat. Apakah aku tidak boleh sedikit saja merasakan bermain musik dengan tenang? Tidak bolehkah aku mengejar mimpiku?
“Gouchisousama deshita[4].” Aku berdiri tegap, lantas meninggalkan ruang makan. Kedua orangtuaku hanya sedikit melirik, kemudian kembali melaksanakan aktivitasnya. Aku melangkah menuju kamarku di lantai dua. Meninggalkan ruangan yang menyesakkan dada.
Gejolak dalam diriku segera kusalurkan dengan memetik gitar secara diam-diam.
###
Angin berembus membelai rambut dan wajahku. Hal itu membuatku terserang rasa kantuk. Ingin rasanya cepat pulang. Klub musik tidak ada kegiatan hari ini, jadi aku akan pulang dan pergi ke suatu tempat—sebuah tempat rahasia, kamu akan kutunjukkan nanti—dan bermain alat musik sepuasnya di sana.
Bel berbunyi. Abe-sensei, guru sejarah yang seperti kura-kura itu pun meninggalkan kelas. Saatnya pergantian pelajaran. Aku membenamkan kepalaku dalam kedua tangan, sedikit menenangkan isi kepalaku yang penuh.
“Yo!” Pundakku ditepuk dengan keras. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pelakunya—Yori, seorang sahabatku yang juga anggota klub musik. “Lesu sekali kamu hari ini, seperti mayat hidup saja,” katanya meledekku.
Aku menggeram pelan. Suaranya persis mobil tua mogok yang dipaksa berjalan. “Biar saja,” balasku. “Aku hanya kurang tidur.”