Bunga Matahari, Anggrek, dan Semanggi

Glorizna Riza
Chapter #4

Ran 1

Malam ini, rintik hujan tidak bosan-bosannya turun. Aku memeluk boneka kesayanganku di atas ranjang, sendirian saja. Kosong. Kamar ini terasa berbeda setelah aku mengemas barang-barang.

“Ran?”

Aku menoleh ke pintu yang terbuka. Papa.

“Barang-barangmu sudah selesai dikemas?”

Menjawabnya, aku mengangguk bersama seulas senyum. Kutatap koper besar yang memuat baju-bajuku—gantungan wayang itu berada di sana. Bukan gantungan biasa. Hampir seluruh barangku kuberi aksesoris itu, sekedar untuk mengingatkan pada orang yang kusayangi.

Papa melangkah masuk lantas duduk di tepi ranjang. Mata lelahnya mengedar ke seluruh ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja. “Mulai besok malam, kamu tidak tidur di sini lagi.”

Aku tersenyum seadanya. Memoriku pun berputar. Saat aku kecil, sebelum aku tidur, mama selalu membacakan buku-buku cerita rakyat Indonesia. Favoritku adalah Timun Emas. Cara mama mendongeng begitu mengasyikkan—memainkan intonasi secara tepat, mimik wajah dengan beragam ekspresi, gerakan peraga yang mengocok perut—rasanya aku benar-benar terhisap ke dalam buku saat itu. Buku itu juga masih kusimpan walau sedikit usang, sampai sekarang, aku duduk di bangku SMP. Hingga beberapa bulan yang lalu, mama masih sering membelikanku buku-buku cerita rakyat maupun sejarah Indonesia.

Namun tidak untuk sekarang.

“Pa,” ucapku, entah sadar entah tidak. “Mama, di atas sana … pasti bahagia, kan?”

Papa tidak langsung menjawab, tentu saja, pertanyaan itu terdengar sangat bodoh jika dilontarkan oleh anak SMP.

Namun kemudian, pria berkacamata itu mengangkat kedua sudut bibirnya. “Tenang saja, mama sedang melihat kita sekarang, dari atas sana, seraya tersenyum senang,” katanya. “Yah, itu jika Ran tidak sering menangisinya lagi ….”

Pipiku terasa panas. Hingga beberapa hari yang lalu, aku memang selalu menangis diam-diam, sendirian di kamar. Aku tak menyangka papa tahu hal itu.

“Kita tidak bisa langsung ke Hokkaido untuk ke rumah nenek. Kita ke Tokyo saja, ya?”

“Eh? Jadi, kita sendirian saja?”

“Ya. Papa juga sudah menemukan sekolah yang tepat untukmu.”

Aku pernah menginjakkan kaki di kampung halaman papa—Hokkaido, Jepang—walau hanya sekali. Saat itu liburan tahun baru, sedang musim dingin. Namun karena tidak terbiasa dengan cuaca ekstrem, aku yang saat itu masih berusia delapan tahun justru demam tinggi berhari-hari.

“Teman kuliah papa yang bekerja sebagai editor majalah manga[1], memberitahu bahwa penerbit tempatnya bekerja sedang membuka lowongan. Papa akan coba melamar,” ceritanya.  “Ya sudah, cepatlah tidur. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali.” Papa bangkit sembari menepuk puncak kepalaku. Aku pun mengangguk dan menarik selimut, bersiap untuk tidur.

Ketika papa memadamkan lampu kamar, aku berbisik, “Papa, oyasuminasai[2].”

Oyasumi.” Papa menjawab sembari tersenyum.

Mataku terpejam, namun pikiranku berkelana. Sedih rasanya kehilangan mama dan berpisah dengan teman-teman, namun aku tidak sabar untuk tinggal di Jepang. Bagaimana orang-orang di sana? Apakah aku dapat beradaptasi? Apakah aku akan mempunyai banyak teman? Mungkin perasaanku kali ini persis seperti anak yang kali pertama menginjakkan kaki di sekolah.

Kulihat suatu sudut di dinding kamar, di dekat meja pelajar. Di sanalah aku menempelkan kristal memori—beberapa lembar foto mama yang kupotret sendiri. Hanya dengan memperhatikan itu, hatiku menjadi tenang.

Jemariku mencengkeram selimut, dalam hati berdoa agar semua berjalan baik-baik saja.

###

Suara bising bandara dengan bahasa yang berbeda membuatku terpana.

Kali ini aku menginjakkan kaki di Bandara Internasional Haneda. Papa bercerita bahwa kami akan tinggal di sebuah apartemen di pinggir kota Tokyo, di distrik Shinagawa. Setelah mengambil koper, aku memasukkan banyak-banyak udara musim semi ke dalam paru-paruku.

“Papa!” Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkah papa dengan koper di tangan. “Bukankah ini musim semi? Kenapa tidak ada sakura?” Aku melihat sekeliling. Memang ada banyak pohon di tepi jalan, tetapi tidak ada satupun yang menggugurkan bunga sakura.

Papa tersenyum padaku lantas menjawab, “Apakah kamu lupa, Ran? Ini akhir musim semi. Mungkin satu atau dua minggu lagi, musim panas akan datang.”

Mendengar itu bibirku mengerucut. Ah, rasanya aku tidak sabar menunggu hingga tahun depan. Aku ingin melihat bunga sakura berguguran di hari kelulusanku nanti.

###

Papa berujar puas tepat setelah menutup pintu taxi, “Nah, ini dia.” Matanya memandang sebuah bangunan kubus berlantai dua yang kukenali sebagai apartemen tempat tinggal kami. Aku menarik koperku mendekati papa. “Seharusnya barang-barang kita sudah tiba. Lantai dua, nomor 17. Ayo masuk.”

Aku terus membuntuti papa sembari menarik koperku yang berat. Hingga tiba di depan sebuah pintu bertuliskan 17.

Tadaima.” Papa berkata mantap. Entah mengapa kini matanya tampak berkilat-kilat. “Rumah baru kita. Kore kara yoroshiku ne[3].”

Lihat selengkapnya