Bunga Senandika

AndikaP
Chapter #1

Bunga di Halaman Sekolah

Pagi itu udara masih lembap, sisa hujan semalam menempel di rerumputan dan meninggalkan aroma tanah yang khas. Matahari baru saja naik, sinarnya menembus celah dedaunan flamboyan yang berjajar di halaman sekolah. Udara belum panas, masih terasa segar. Suara riuh murid-murid yang mulai berdatangan membuat halaman sekolah tampak hidup. Namun, di sudut halaman, ada sebuah bangku kayu tua dengan cat hijau yang sudah terkelupas. Di samping bangku itu tumbuh pohon kenanga yang bunganya berguguran pelan, menebarkan wangi samar setiap kali angin bergerak.

Di situlah Nadira duduk, seperti biasa. Tubuhnya kecil dan kurus, rambutnya tergerai sederhana tanpa pita atau hiasan, wajahnya teduh tapi jarang menunjukkan ekspresi. Ia memegang buku catatan berwarna biru tua, lusuh di sudut-sudutnya. Pulpen hitam sudah siap di tangannya, seakan halaman kosong itu menunggu untuk diisi. Nadira tidak peduli dengan keramaian di sekelilingnya. Bagi sebagian besar murid, jam pagi adalah waktu terbaik untuk bercengkrama, bercanda, atau sekadar mengejar perhatian. Bagi Nadira, jam pagi adalah waktu terbaik untuk menulis.

Ia membuka lembaran pertama, lalu mulai menorehkan kata-kata.

“Aku menanam rindu pada tanah sunyi,

menyiramnya dengan air mata yang tak terlihat,

menunggu ia tumbuh menjadi bunga,

tapi yang mekar hanyalah kesepian.”

Tangannya berhenti sejenak. Ia membaca ulang bait itu, mengernyit, lalu menarik napas panjang. Senyumnya samar, seperti senyum getir yang hanya ia pahami sendiri. Setiap bait yang lahir dari tangannya seolah keluar dari ruang kosong dalam dirinya, ruang yang tidak pernah bisa ia isi dengan suara orang lain.

Ia menutup sebentar matanya. Wangi kenanga menyeruak pelan, samar tetapi menenangkan. “Entah sejak kapan aku menyukai wangi ini,” bisiknya dalam hati. “Aromanya seperti bisikan yang hanya bisa kudengar ketika aku benar-benar sendirian.”

Bagi Nadira, bunga kenanga bukan sekadar tanaman. Ia seperti cermin dirinya sendiri: sederhana, tidak mencolok, jarang diperhatikan. Orang lebih memilih mawar dengan warnanya yang merah menyala, atau melati dengan keharumannya yang akrab di banyak telinga. Kenanga berdiri diam, memberi wangi hanya kepada mereka yang benar-benar mau mendekat. Nadira merasa dirinya sama.

Di kelas, ia duduk di barisan tengah. Ia memperhatikan guru, mencatat dengan rapi, tapi jarang berbicara. Teman-temannya tidak benar-benar mengenalnya. Sebagian mengira ia pemalu, sebagian lain menganggapnya sombong. Nadira tidak pernah berusaha meluruskan. Baginya, berusaha menjelaskan diri kepada orang lain hanya akan membuat hatinya semakin lelah.

Saat lonceng istirahat berbunyi, anak-anak berlarian ke kantin. Ada yang berdesakan membeli jajanan, ada yang mengobrol sambil tertawa keras, ada pula yang sibuk bercerita tentang drama televisi atau media sosial. Nadira melangkah pelan, melewati kerumunan itu tanpa suara, menuju bangku kayu di dekat kenanga. Ia membawa sepotong roti dari rumah, tapi lebih sering ia lupa memakannya. Yang paling penting baginya adalah buku catatan.

“Kenapa aku selalu merasa sendiri?” tanya Nadira pada dirinya sendiri. Ia menatap kosong halaman kertas sebelum mulai menulis lagi. “Padahal setiap hari aku dikelilingi banyak orang. Mereka tertawa, mereka saling memanggil nama, saling menggenggam bahu, saling berbagi cerita. Tapi aku? Aku duduk di sini, membiarkan bunga kenanga menjadi satu-satunya yang tahu betapa kosongnya aku.”

Ia menulis cepat, seperti takut kata-kata itu akan menguap jika tidak segera ditangkap.

Lihat selengkapnya