Bunga Senandika

AndikaP
Chapter #2

Puisi yang Hilang

Hari itu langit mendung sejak pagi. Udara terasa lebih dingin, membuat banyak murid enggan berlama-lama di halaman sekolah. Hujan tipis yang turun sejak subuh meninggalkan genangan kecil di jalan setapak. Nadira, seperti biasa, tidak terburu-buru. Ia berjalan perlahan menuju perpustakaan setelah pelajaran selesai, langkahnya nyaris tanpa suara.

Perpustakaan sekolah bukan tempat populer. Hanya beberapa murid yang datang ke sana, kebanyakan untuk mencari buku pelajaran menjelang ujian. Tapi bagi Nadira, perpustakaan adalah surga kecil. Bau buku yang khas, suara kipas angin tua yang berdengung, dan rak-rak tinggi yang seakan menyimpan rahasia dunia membuatnya betah berlama-lama.

Ia duduk di sudut ruangan, membuka buku catatan biru tua yang selalu ia bawa. Di sampingnya tergeletak buku sastra Indonesia yang ia pinjam untuk sekadar membaca acak. Suasana hening membuatnya leluasa menulis, menumpahkan isi hati tanpa gangguan.

Tangannya bergerak pelan.

“Aku bukan siapa-siapa,

sekadar bayang-bayang yang lewat,

tapi jika kau berhenti sejenak,

kau akan tahu aku bernyawa.”

Nadira menatap bait itu, lalu menutup bukunya. Hari itu hatinya terasa lebih berat. Kerinduan yang tak jelas arah membuatnya lelah, dan menulis adalah satu-satunya cara agar ia tidak larut dalam sepi.

Tak lama kemudian, bel tanda pulang berbunyi. Nadira menutup bukunya buru-buru, membereskan meja, dan memasukkan buku pelajaran ke dalam tas. Hanya saja, dalam tergesa-gesa ia lupa pada satu hal: buku catatan biru tua itu tertinggal di atas meja, tersembunyi di antara tumpukan buku perpustakaan. Ia tidak menyadari ketika keluar dari ruangan, langkahnya tenang seperti biasa menuju gerbang.

Beberapa menit kemudian, perpustakaan mulai sepi. Seorang siswa laki-laki masuk dengan langkah terburu-buru. Namanya Raka, kelas sebelas, salah satu siswa yang cukup dikenal karena ramah dan aktif di organisasi sekolah. Ia datang ke perpustakaan untuk mengembalikan buku sejarah yang dipinjamnya.

Saat meletakkan buku itu di meja pengembalian, matanya tertumbuk pada sebuah buku catatan kecil berwarna biru tua yang tertinggal. Sampulnya polos, sedikit lusuh, tidak ada nama. Raka menoleh kanan-kiri. Tidak ada siapa pun di sekitar meja. Ia mengambil buku itu, membolak-balik halamannya.

Awalnya ia hanya berniat memastikan pemiliknya. Tapi begitu membaca kalimat pertama di halaman depan, langkahnya terhenti.

“Aku menanam rindu pada tanah sunyi,

menyiramnya dengan air mata yang tak terlihat,

menunggu ia tumbuh menjadi bunga,

Lihat selengkapnya