Semakin hari pasangan suami istri semakin mesra, Renald yang memperlakukan Aldara dengan begitu manis, perhatian dan Istimewa. Sehingga benih-benih cinta telah tumbuh di hati Aldara membuat cintanya pada pria yang saat ini sudah sah menjadi suaminya malah semakin besar. Tak ada bedanya dengan Renald, karena Aldara menjalani tugas sebagai seorang istri dengan begitu baik, hingga pria ini merasa menjadi suami yang paling beruntung yang telah memiliki istri seperti Aldara.
Aldara yang awalnya menolak pernikahan ini, karena kedua orang tuanya melakukan perjodohan dengan pria yang tak di kenal olehnya, bahkan rupanya saja tak tahu bagimana wujudnya, sangat asing buat dirinya. Namun seiring waktu setelah mengenal pria asing yang saat ini telah menjadi suaminya, bernama Renald Gunadi Ardhana dengan memperlakukannya sangat baik, maka ia berjanji dalam dirinya akan menjadi seorang istri yang baik dan penurut. Beda hal jika pria itu melakukan perselingkuhan dan pengkhianatan dalam pernikahannya, maka Aldara akan bertindak tegas sebagai seorang istri.
Matahari pagi, malu-malu mengintip dari balik jendela, menyinari kamar yang masih tertutup oleh gorden. Tubuh Aldara terasa berat, sisa mimpi semalam masih berputar di kepala. Tangannya meraba-raba nakas, mencari sebuah ponsel, ia melihat angka jam pada ponsel tersebut telah menunjukkan pukul 06.30 kedua matanya mengerjap-ngerjap.
“Oh! Masih jam 6 pagi, toh!” celetuk Aldara.
Aldara memejamkan matanya kembali, namun otak berputar seolah mengingatkan bahwa yang di lihatnya ada yang salah, ia membuka kembali kedua matanya, di raih ponsel di sampingnya melihat kembali angka jam tersebut kali ini ponselnya di lihat lebih dekat ke arah wajahnya, tiba-tiba kedua matanya terbelalak, “Apa? Pukul setengah tujuh?!" Ia segera mendorong selimut tebal, rambutnya masih kusut, matanya masih setengah terpejam, ketika sebelah kakinya ingin menjejakan pada lantai yang dingin.
Bruk!
Aldara terjungkal dari ranjang, lalu menjerit, “Awwh, sssh. Pinggang gueee!”
Ia melihat ke sekeliling kamar tak ada Renald.
“Hufft ... bisa malu di lihat misua!” gerutu Aldara sambil mencoba bangun dengan memegangi pinggangnya.
Dengan jalan terseok-seok, Aldara menyiapkan outfit untuk pergi ke kampus. Setelah itu ia mengambil handuk, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Cklak!
Tak membutuhkan waktu lama, Aldara membersihkan dirinya dalam waktu yang singkat, karena mengejar waktu yang mungkin dapat di kejarnya.
Ia sudah keluar dari kamar mandi sudah berpakaian dengan lengkap, berjalan menuju meja riasnya, di sana terdapat selembar kertas yang berisikan tulisan dari Renald.
Dear, honey.
Maafkan diriku yang tak bisa sarapan bersama dirimu, bahkan papi dan bunda. Hari ini aku ada meeting pagi bersama klien. Kamu ingat kemarin bilang jika aku harus menjadi panutan untuk karyawannya, nah aku nurut lho, apa katamu kemarin, jangan sampai telat ke kantor. Aku sudah berangkat pagi sebelum meeting di mulai. Jangan lupa sarapan sebelum pergi ke kampus.
Salam Sayang,
Hubby R.
Dep … Dep … Dep …
Aldara setelah membaca surat dari Renald. Tiba-tiba detak jantungnya merasakan kencang, kedua pipinya berubah warna menjadi merah merona menghangat, ia tersenyum bahagia.
“Tung ... Tung, bisa aja hubby pagi-pagi baperin gue, Arrrgggh jangan murahan dong!” celoteh Aldara.
Aldara memasukkan selembar kertas itu ke dalam tasnya, lalu ia segera memakai rangkaian skincare di pagi hari untuk melindungi wajahnya. Namun untuk make up akan di pakai setelah sampai kampus selalu berada di dalam tas, bahkan di dalam mobil pun ada.
Tap … Tap … Tap … Tap …
Aldara menuruni anak tangga dengan langkah bersemangat.
Amira yang melihat menantunya turun dari tangga, lalu menyapanya, “Selamat pagi, anak Bunda yang cantik."
Aldara membalas menyapanya, “Selamat pagi, bunda cantik.”
“Bunda, Dara minta maaf gak bantu buat sarapan pagi ini,” lanjutnya.
“Nggak apa-apa sayang, bi Inah sudah datang pagi-pagi sekali,” ucap Amira sambil mengusap rambut Aldara.
“Ayo, sekarang sarapan sebelum berangkat ke kampus. Tadi Bunda sarapan hanya berdua dengan Papi,” ajak Amira menggandeng lengan Aldara.
Kriet!
Aldara dan Amira menarik kursi makan bersamaan.
Aldara seakan ingat dengan jam kuliahnya, ia melirik jam yang berada di tangannya, lalu ia beranjak dari kursi makan.
“Lho? Kenapa sayang?” tanya Amira yang melihat Aldara kembali berdiri.
“Maaf, Bunda sarapannya Dara bekal saja, aku sudah telat ke kampus,” ucap Aldara.
“Tunggu satu menit, Bunda akan buatkan bekal buat Dara,” ucap Amira segera berdiri dari kursi, lalu berjalan cepat menuju dapur.