Rena menatap Fernando dan Malya dengan murka, ”Jadi ini yang membuat Renald terlambat?! Kalian tidak punya hati Nurani! Dimana kemanusiaan kalian?!”
Wajah Fernando memerah, tetapi ia tetap mencoba mempertahankan wibawanya, ”Ini bukan urusan kalian! Ini urusan keluarga kami!”
Maxelio maju melangkah mendekat Fernando, ”Keluarga? Kalian berani menyebut diri kalian keluarga, setelah mencoba ingin menghancurkan keluarga orang lain? Pergi dari sini! Sekarang! Sebelum saya memanggil satpam.”
Malya menatap enald dengan tatapan terluka yang pura-pura, seolah ingin Renald merasa bersalah. Namun, Renald tidak goyah.
Malya berkata pada perawat, “Bawa Ayah pergi dari sini. Sekarang!”
Perawat itu dengan sigap mendorong kursi roda Fernando menjauh. Malya sempat menoleh ke belakang, melayangkan pandangan penuh dendam kepada Renald, sebelum akhirnya ikut pergi meniggalkan Renald dan keluarga Aldara dalam keheningan yang tegang dan penuh amarah.
Kepergian Malya dan Fernando tidak mengurangi beban di hari Renald. Ia kembali menatap pintu ruang operasi, hatinya remuk redam. Ia merasa bodoh karena sempat terjebak dalam permainan Malya, meskipun hanya sebentar.
Renald berlutut di samping Rena, “Maafkan aku, Mami. Maafkan aku. Aku tidak seharusnya meninggalkan Aldara."
Rena berkata, “Bukan salahmu, Nak. Ini semua takdir. Sekarang kita hanya bisa berdoa."
Ketiganya terduduk di kursi tunggu, menanti kabar yang entah akan membawa kebahagiaan atau kehancuran. Waktu berjalan terasa lambat. Setiap menit bagaikan berjam-jam. Renald memejamkan mata, memohon dalam hati agar Aldara bisa bertahan. Ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi tanpa Aldara.
Waktu terus merangkak di ruang operasi. Setiap derit roda brankar yang lewat, setiap panggilan nama dari perawat, membuat Renald, Maxelio dan Rena menahan napas. Ketiga wajah itu terpahat jelas oleh kecemasan, kelelahan dan ketakutan. Renald mondar-mandir tak tentu arah, sesekali berhenti di depan pintu ruang operasi yang tertutup rapat, seolah ingin menembusnya dengan tatapan mata. Rena terus menggenggam tasbihnya, bibirnya tak henti merapal doa, sementara Maxelio hanya terdiam, pandangannya kosong menatap lantai.
Renald berkata dalam hati dengan penuh frustasi, “Honey, bertahanlah."
Cklak!
Pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter bedah keluar dengan masker yang di turunkan, menampakkan wajah lelah, namun lega. Renald langsung datang menghampiri dokter itu, di ikuti oleh Maxelio dan Rena.
Suara Renald tercekat, “Dokter, bagaimana Aldara? Bagaimana kondisi istri saya, dok?”
Dokter berkata, “Operasinya berjalan lancar, Pak Renald. Aldara sudah melewati masa kritisnya dan kondisinya sekarang stabil. Kami sudah memindahkan ke ruang pemulihan. Sebentar lagi anda bisa bertemu."