Kantin kampus yang cukup ramai, siang hari. Falya dan Merca sedang duduk di salah satu meja makan siang.
Suara bising kantin. Falya sedang mengaduk es tehnya, Merca sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba Merca memekiki kecil.
Merca membelalak, ponselnya hampir terjatuh, ”FALYA! Ya Allah!”
Falya terkejut hampir tersedak, ”Astaga, Merca! Ada apa? Kenapa kamu?”
Merca wajahnya pucat pasi, lalu menatap Falya dengan tatapan tak percaya, ”Ini, ini Aldara.”
Falya mengernyitkan dahi, ”Aldara? Ada apa dengan Aldara? Jangan bilang dia ...”
Merca menarik napas gemetar, ”Dia kecelakaan. Tabrakan mobil. Baru saja aku dapat kabar dari grup angkatan. Dia ada di rumah sakit.”
Falya membeku. Sendoknya terlepas dari genggamannya, jatuh ke piring dengan bunyi nyaring.
Tring!
Falya berkata, “Kecelakaan? Aldara? Sejak kapan? Ya Allah, dia gimana? Parah, nggak?”
Merca menggeser ponselnya mendekat sambil menunjukkan layar pada Falya, ”Sore hari, aku ingat terakhir bertemu dengan Aldara itu, waktu hujan turun deras, lalu kami berdua salat di masjid kampus. Setelah hujan reda baru aku dan Aldara pulang. Astaghfirullah.”
Falya menatap Merca matanya berkaca-kaca sambil memeluknya, ”Ini bukan salahmu. Semua takdir, Mer.”
Merca melepaskan pelukan Falya sambil menangis tersedu-sedu, ”Aku teman baiknya baru dapat info tentang semua ini. Aku teman macam apa, Fal?”
Wajah Falya berubah menjadi sendu, ”Bukan kamu aja yang sedih, aku juga. Aku nggak bisa bayangin. Aldara yang ceria itu, tiba-tiba begini. Gimana perasaannya sekarang, ya? Pasti sakit sekali.”
Merca mengangguk pelan, suaranya sedikit bergetar, ”Pasti. Dia sendirian di sana, kan? Orangnya juga jarang cerita kalau ada apa-apa. aduh, aku jadi kepikiran.”
Falya mengusap matanya mengusap matanya yang mulai basah, ”Aku juga. Nggak nyangka banget. Dia itu kan kemarin masih ketawa-ketawa bareng kita di kelas.”
Merca berucap, “Betul! Makanya aku syok banget waktu baca pesannya. Langsung lemas rasanya. Tapi untunglah dia sudah siuman. Setidaknya itu kabar baik."
Falya menghela napas panjang mencoba menenangkan diri, ”Hufftt. Iya, itu yang paling penting. Dia selamat. Kita harus jenguk dia, Merca. Sekarang juga kalau bisa.”
Mata Merca berbinar, ”Setuju. Aku juga mikir begitu! Nggak bisa tenang kalau belum lihat dia sendiri. Kita harus pastikan dia baik-baik saja.”
Falya Nampak berpikir, ”Kita perlu bawakan apa,ya? Buah-buahan? Atau ...”