Aldara duduk di kursi roda yang di pinjamkan rumah sakit, lalu menatap kamar tidurnya, ”Akhirnya, pulang juga. Rasanya seperti mimpi.”
Merca mendorong kursi roda Aldara dengan hati-hati, ”Ini bukan mimpi, Ra. Ini kenyataan. Kamu hebat, kamu kuat. Lihat, kan? Kamu berhasil melewati masa sulit ini.”
Falya menyiapkan minuman hangat untuk Aldara, ”Yang penting sekarang kamu bisa istirahat di rumah sendiri. Nanti kita jadwalkan fisioterapinya bareng. Kami siap kok nganterin.”
Aldara menatap Falya dan Merca secara bergantian, matanya penuh rasa terima kasih, ”Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Kalian benar-benar penyelamatku. Aku beruntung punya kalian.”
Falya tersenyum hangat, ”Bukankah, kita sahabat, Ra? Selamanya.”
Merca merangkul bahu Aldara perlahan, ”Betul! Dan ini baru awal. Masih banyak petualangan yang menunggu kita di kampus nanti. Pokoknya, kita tunggu kamu sampai benar-benar pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa.”
Aldara mengangguk, air mata harunya menetes di pipinya. Ia memejamkan mata merasakan kehangatan persahabatan yang tulus. Jalan menuju pemulihan total memang masih panjang, namun dengan dukungan Falya dan Merca, ia tidak akan pernah berjalan sendirian. Masa depan yang sempat terasa kelabu, kini kembali bercahaya dengan harapan.
****
Hari berganti hari, Bulan berganti bulan, saat itu Aldara dinyatakan telah pulih oleh dokter. Kemauan untuk pulih sangat bulat, ia kangen kampus dan tema-teman lainnya.
Mulai saat itu, setiap pagi, ritual Aldara sedikit bergeser. Bukan lagi sekadar menyesap kopi dan membaca berita finansial. Tapi saat ini Aldara tengah berdiri di depan cermin untuk memastikan bekas luka pada pelipisnya yang tertutup sempurna oleh riasan. Falya dan Merca akan menjadi garda terdepan Aldara yang tak pernah absen menemaninya sejak insiden itu, kini mereka punya tugas menjadi bodyguard pribadi yang mengawasi setiap gerak-gerik sang princess kampus.
Celetuk Falya, matanya menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki Aldara yang berbalut blus dan rok pensil, “Ra, yakin mau pakai scarf itu? Kayak mau kondangan mantan tau."
Aldara memutar bola mata dengan jengah, ”Ini namanya chic, Falya. Elegan. Bukan kayak kamu, pakai kaus kegedean begitu selama tiga hari berturut-turut.”
Merca terkekeh melihat perdebatan dua sahabatnya, ”Sudah, sudah. Ayo berangkat. Nanti telat kelas pak Yudhis, diomeli kita.”
Perjalanan menuju kampus bagaikan karnaval dadakan. Aldara yang biasanya kalem, kini mendadak jadi pusat perhatian. Bisikan-bisikan mahasiswa lainnya berhamburan, ”Itu Aldara, ya? Yang kecelakaan? Wah, cantik banget. Padahal baru sembuh, lho.”
Falya dan Merca sibuk menyikut siapa saja yang berani melirik terlalu lama. Hardik Falya pada seorang mahasiswa yang hampir menabrak tiang karena terpukau oleh Aldara, “Mata di jaga, Mas!”
Di kelas pak Yudhis, dosen sosiologi yang terkenal dengan wajah datar, namun ocehan tajamnya menyambut Aldara dengan tatapan, ”Nona Aldara, akhirnya Anda sudi menampakkan diri. Saya kira Anda sudah beralih profesi menjadi patung lilin.”
Satu kelas menahan tawa. Aldara hanya tersenyum tipis, ”Maaf, Pak. Ada sedikit insiden.”
Pak Yudhis melirik tajam Falya dan Merca yang sudah pasang kuda-kuda ingin membelanya, ”Insiden napa pun, seharusnya tidak menghalangi Anda untuk mengejar ilmu, Nona. Kecuali Anda mengalami amnesia akut dan lupa cara berpikir.”