Suasana riuh rendah. Bu Hani sedang menjelaskan materi di depan. Aldara duduk di bangku bagian tengah, wajahnya sedikit pucat, sesekali memegang pelipisnya. Falya dan Merca duduk di sebelahnya.
Falya melihat wajah Aldara pucat, lalu berbisik, ”Ra, kamu pucat banget. Nggak enak badan?”
Aldara tersenyum tipis berusaha tegar, ”Nggak apa-apa, Fal. Hanya sedikit pusing. Semalam kurang tidur.”
Merca menyambar antar obrolan Aldara dan Falya, ”Kamu sering banget kelihatan capek akhir-akhir ini. Jangan-jangan kamu kurang gizi, Ra.”
Aldara hanya tersenyum tipis, ia tidak menjawab mencoba fokus pada mata kuliah Bu Hani. Tapi pandangannya mulai kabur, kepala Aldara terasa berdenyut hebat. Ia meremas pena di tangannya. Tiba-tiba, setetes darah menetes dari hidungnya mengenai catatannya.
Falya terkejut, ”Aldara! Hidungmu!”
Darah semakin banyak mengalir pada hidung Aldara. Pandangannya berputar. Aldara terhuyung, lalu tubuhnya limbung ke samping. Akhirnya, ia pun pingsan.
Falya panik melihat Aldara pingsan, ”Aldara! Bangun, Ra! Bu Hani, Aldara pingsan!”
Bu Hani tergopoh-gopoh, wajahnya khawatir. Beberapa mahasiswa membantu mengangkat Aldara dan membawanya keluar kelas.
Aldara segera di larikan ke sebuah rumah sakit oleh teman-teman kampusnya, Falya dan Merca menemani.
Aldara terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Infus terpasang di tangannya. Falya dan Merca duduk di samping ranjang, wajah mereka di penuhi kecemasan, Falya memegang tangan Aldara.
Suara Falya bergetar, ”Untung kita langsung bawa kamu ke sini, Ra. Kamu bikin kita khawatir setengah mati.”
Merca menimpali, ”Iya, Ra. Kita sampai bolos matkul Bu Hani tadi. Dokter bilang apa sebenarnya?”
Aldara membuka mata secara perlahan. Ia mencoba tersenyum, tapi terlihat jelas betapa lemahnya dia.
Aldara menjawab dengan suara parau, ”Kata dokter, aku hanya kelelahan. Tekanan darah rendah.”
Falya merasa penasaran, ”Kelelahan? Tapi sampai mimisan hebat dan pingsan begitu? Ada yang kamu sembunyikan pada kita, Ra?”
Aldara mengalihkan pandangannya, ia enggan menatap Falya.
Aldara tersenyum tipis, ”Nggak ada, Fal. Cuma memang jadwal kuliahku padat. Aku bantu-bantu Hubby di kantornya.”
Merca bertanya, ”Renald? Suamimu itu? Dia tahu kamu di rumah sakit?”
Aldara terdiam sejenak.
Aldara bersuara dengan lemah, ”Aku belum kasih tahu dia. Dia sedang sibuk banget sama proyek barunya. Nanti juga aku kasih tahu, kalau dia udah nggak terlalu sibuk.”
Falya dan Merca saling pandang. Mereka mengetahui Renald sangat gila kerja.
Falya berkata, ”Ra, ini serius. Suamimu harus tahu kondisi kamu. Ini bukan Cuma kelelahan biasa, kan? Wajahmu sering pucat, kamu sering pusing. Ada apa sebenarnya?”
Air mata Aldara mulai menggenang di pelupuk mata. Ia tidak bisa menahannya lagi.
Aldara terisak, ”Aku, aku nggak mau Renald khawatir. Dia udah pusing dengan kerjaannya. Aku nggak mau jadi beban.”
Merca mengelus punggung Aldara, ”Aldara, di aitu suamimu. Beban atau nggak, dia berhak tahu. Justru dia harusnya jadi orang pertama yang tahu dan menjagamu.”
Kring! Kring!
Ponsel Falya berdering. Renald menelepon, Falya menatap Aldara.
Aldara melarang Falya menerima telepon dari Renald, ”Jangan angkat, Fal.”