Rumah Aldara. Beberapa hari setelah panggilan telepon Renald. Aldara terbaring lemah di ranjang, matanya bengkak dan wajahnya pucat. Rena dan Maxelio bergantian merawatnya, menyuapi dan mencoba menghiburnya.
Rena mengusap kening Aldara, “Aldara, Nak. Kamu harus makan. Kamu belum makan apa-apa sejak kemarin.”
Aldara berkata dengan suara parau, “Untuk apa, Mam? Untuk apa aku hidup kalau Renald. Renald tega begini padaku?”
Maxelio duduk di sisi ranjang menggenggam tangan Aldara, “Kita akan cari tahu, apa yang terjadi, Nak? Daddy tidak akan membiarkanmu sendirian. Kita akan temukan Renald.”
Kring! Kring! Kring!
Tiba-tiba, ponsel Aldara berdering. Nomor tak di kenal. Aldara enggan mengangkatnya, namun Rena meminta Aldara untuk mengangkatnya.
Rena berkata, “Siapa tahu penting, Nak. Angkat saja.”
Aldara dengan enggan meraih ponselnya.
Aldara mengangkat telepon itu dengan suara lemah, “Halo?”
Di seberang telepon terdengar suara wanita, “Ini Aldara, istri Renald?”
Jantung Aldara berdegup kencang, “Iya, saya Aldara. Ini siapa?”
Wanita itu memberitahu Aldara, “Maaf mengganggu Anda. Nama saya Serlin. Saya teman Malya. Saya tahu anda tidak mengenal saya, tapi saya harus kasih tahu Anda sesuatu tentang Renald.”
Aldara tiba-tiba terduduk. Rena dan Maxelio saling pandang, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Aldara menegang, “Apa? Apa yang ingin Anda katakan?”
Serlin berkata, “Renald bersama Malya. Mereka sudah bersama sejak hari Anda keluar dari rumah sakit. Saya melihat mereka di arena balap. Dan mereka sering bersama di apartemen Malya. Saya tidak tahan melihat ini, Aldara. Anda berhak tahu kebenarannya.”
Napas Aldara tercekat. Dunia sekelilingnya seperti runtuh. Ia menatap kosong ke depan, tidak bisa mencerna perkataan Serlin.
Aldara berkata, “Tidak! Tidak mungkin!”