Beberapa hari kemudian, Falya dan Merca memutuskan bahwa Aldara butuh penyegaran. Mereka mendaftarkan Aldara untuk kencan buta.
Merca membujuk Aldara, “Ini demi kebaikanmu, Ra. Masa muda hanya sekali, jangan di habiskan dengan meratapi nasib.”
Aldara pasrah. Malamnya, di sebuah kafe remang-remang, Aldara menunggu Mr. Right pilihannya. Tak lama, seorang pria dengan rambut gondrong sebahu dan tato naga di lengan datang menghampiri.
Mr. Right menyapa dengan suara serak, “Aldara?”
Aldara mengangguk ragu, “Ya, saya.”
Pria itu menjulurkan tangan pada Aldara, “Saya Herman. Salam kenal.”
Aldara melihat lebih dekat tato naganya. Ternyata itu bukan naga, melainkan peta Pulau Sumatera yang di warnai krayon.
Obrolan mereka di mulai. Herman ternyata seorang kolaktor kaset dangdut koplo langka dan punya obsesi mengawinkan kucing-kucing liar di lingkungannya. Aldara berusaha sopan, tapi setiap kali Herman menjelaskan detail tentang proyek perkimpoian kucing jalanan miliknya. Aldara merasa ingin lari,
Herman berkata, “Jadi, kamu lebih suka kucing persia atau angora?”
Aldara tersenyum kaku, “Hmm ... saya lebih suka ikan cupang?”
Kencan itu berakhir dengan Aldara pura-pura mendapat telepon darurat dari Maminya yang sedang sakit perut akibat makan martabak keju terlalu banyak.
Setelah pulang dari kencan, Aldara langsung di serbu oleh Falya dan Merca. Ia dan Merca menginap di rumah Falya.
Merca bertanya, “Gimana, Ra? Cocok?”