Suasana kantin kampus riuh rendah. Aldara, Falya, dan Merca duduk di meja pojok berhadapan dengan semangkuk mi ayam jumbo milik Aldara.
Falya melihat Aldara dengan tatapan curiga, “Ra, kamu yakkin bisa habiskan mi ayam segede ini? Terakhir kali kamu makan porsi begini, perutmu langsung ngadat dua hari.”
Aldara mengacungkan sumpit, “Jangan meremehkan kekuatan perut mahasiswa akhir bula, Fal. Ini bukan cuma mi ayam, ini tuh survival kit! Lagipula, aku dari tadi pagi belum makan, tau!”
Merca menggeser piringnya menjauh, “Aku sih udah kenyang lihat kamu makan. Aroma mi ayamnya aja udah bikin mual.”
Aldara tertawa renyah, tiba-tiba terbatuk kecil. Ia meraih tisu untuk membersihkan hidungnya, namun matanya langsung terbelalak, “Eh?”
Falya melirik Aldara, lalu matanya membesar, “ALDARA! HIDUNGMU!”
Merca mengikuti arah pandang Falya, langsung melompat dari kursinya dengan jeritan melengking, “ASTAGA! DARAH! DARAH BANYAK SEKALI!”
Darah segar mulai mengalir deras dari hidung Aldara. Ia sendiri terdiam menatap telapak tangannya yang sudah merah.
Aldara mengernyitkan dahi, namun mencoba untuk tenang, “Kok banyak banget, ya? Kayak keran bocor.”
Falya sudah berdiri tangannya sudah menutup mulut dan matanya berkaca-kaca, “BUKAN KERAN BOCOR! ITU DARAHMU! YA ALLAH, ALDARA! KAMU MAU MATI?!”
Merca panik sambil berputar-putar, “TELEPON AMBULANS! PANGGIL DUKUN! INI PASTI KESURUPAN MI AYAM SETAN!”
Aldara memegang kepalanya yang terasa pusing dan pandangannya mulai kabur. Ia mencoba tersenyum lemah, “Jangan lebay, Fal. Mungkin cuma mimisan biasa.”
BRUK!
Aldara limbung. Matanya terpejam, dan tubuhnya ambruk ke meja kantin. Semangkuk mi ayamnya ikut terguling, menyisakan kekacauan.
Falya berlutut di samping Aldara sambil menepuk-nepuk pipinya, “ALDARA!”
Merca histeris di pojok kantin sambil menggigit kukunya, “DIA MATI! DIA MATI!”