Renald baru saja pulang kerja. Rumah tampak sepi. Dia menuju dapur untuk minum, lalu melewati ruang tamu. Terdengar samar suara Malya dan Serlin dari kamar Malya.
Renald bergumam, “Malya sudah tidur ya? Padahal aku ingin cerita tentang promosi jabatan.”
Ketika Renald hendak masuk ke dalam kamar, namun langkahnya terhenti saat mendengar percakapan yang semakin jelas.
Malya tertawa kecil suara agak tertahan, “Untung saja Renald tidak tahu, Serlin. Dia benar-benar polos.”
Serlin, “Aku masih tidak percaya kau melakukan ini, Malya. Menyamar jadi adik tiri Renald? Itu gila!”
Renald terkesiap. Jantungnya berdegup kencang. Ia mendekat ke pintu kamar, lalu menguping pembicaraan Malya di telepon dengan temannya.
Malya berkata dengan sinis, “Apa boleh buat? Hanya itu cara agar aku bisa mendekatinya setelah dia bercerai dari Aldara. Renald selalu baik pada adiknya. Dan saat dia tahu aku sebatang kara, hatinya luluh. Mudah sekali!”
Serlin, “Tapi, kau sampail hamil. Itu risiko besar, Malya. Bagaimana jika Renald mengetahui kebenarannya?”
Malya, “Hah! Justru kehamilan ini yang membuat rencanaku semakin sempurna. Dia tidak akan bisa meninggalkanku sekarang. Dia mencintaiku, Serlin. Lebih tepatnya mencintai anak yang ku kandung. Dia tidak akan tahu kalau dia dijebak.”
Renald merasakan dunianya runtuh. Pikirannya kalut, ia teringat bagaimana Malya dulu muncul dalam hidupnya, mengaku sebagi adik tiri. Bagaimana ia merasa iba dan perlahan jatuh cinta pada sosok rapuh itu. Air matanya mulai menggenang.
Renald berbisik dengan suara yang bergetar, “Adik tiri, dia bohong?”
Malya, “Bayangkan dulu dia mencampakkan Aldara yang sempurna itu demi aku yang malang. Padahal Aldara sudah berjuang mati-matian untuknya. Sekarang, dia ada di dalam genggamanku sepenuhnya.”
Kata-kata Malya seperti ribuan pisau menancap di hati Renald. Bayangan Aldara muncul dalam benaknya, wanita yang ia tinggalkan demi Malya, wanita yang selalu setia, namun ia sakiti karena keegoisannya.
Renald mengepalkan tangan dengan menahan emosinya, “Aldara … Aldara, aku telah melakukan kesalahan besar.”
Serlin yang masih tersambung dengan telepon Malya, “Kau tidak takut karma, Malya?”
Malya, “Karma? Hahaha! Yang penting aku bahagia dan hidup enak. Renald akan jadi suamiku selamanya, dan anak ini akan mengikatnya lebih kuat. Dia tidak akan tahu bahwa Malya yang ia nikahi bukanlah adik tirinya dan semua air mata yang ia lihat dulu hanyalah akting.”
Renald yang mendengar itu sudah tidak tahan lagi. Emosinya meledak, ia mendorong pintu kamar dengan keras.
BRAK!
Renald dengan suara yang bergetar dan tatapan mata penuh amarah serta kekecewaan, “Jadi selama ini semua itu kebohongan?!”
Malya terperanjat kaget, wajahnya memucat pasi.