Bunga Tak Bertangkai

Moycha Zia
Chapter #35

Chapter # 35 Akhir

Renald masih berlutut di depan rumah Maxelio dan Rena tangisnya memilukan. Maxelio dan Rena menatapnya dengan campuran rasa sakit dan amarah.

Renald suaranya serak karena tangisan mendongak menatap Maxelio, “Mami, Daddy kumohon dimana Aldara dimakamkan? Aku ingin mengunjunginya.”

Rena memalingkan wajah, air matanya kembali menetes. Maxelio menghela napas berat, seolah setiap tarikan napas itu mengandung beban kepedihan yang tak tertahankan.

Maxelio menatap Renald dengan sorot mata dingin, “Untuk apa? Kau pikir sekarang dia masih membutuhkanmu? Setelah semua yang kau lakukan padanya?”

Renald memaksa diri berdiri dengan langkah goyah, “Aku tahu, aku bersalah, Dad. Aku tahu telah menyakitinya. Tapi aku mohon biarkan aku meminta maaf padanya. Untuk terakhir kalinya. Aku harus melakukannya.”

Maxelio terdiam sejenak menimbang-nimbang. Ada sedikit keraguan di wajahnya, namun kepedihan karena kehilangan putrinya jauh lebih besar daripada amarahnya pada Renald.

Maxelio dengan suara datar menunjuk ke arah jalan, “Pemakaman umum. Blok Mawar dekat pohon kamboja besar.”

Renald mengangguk cepat, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Wajahnya pucat pasi, namun ada tekad yang membara di matanya. Ia bergegas menuju mobilnya meninggalkan Maxelio dan Rena yang hanya bisa memandang kepergiannya dengan tatapan kosong dan hati yang hancur.

Renald tiba di pemakaman umum. Ia berjalan di antara nisan-nisan mencari Blok Mawar. Jantungnya berdebar kencang setiap langkah terasa berat. Akhirnya, ia melihat sebuah pohon kamboja besar dan di bawahnya sebuah nisan yang masih baru. Tertera nama Aldara Axella Abraham.

Renald berlutut di depan makam itu. Tangannya gemetar menyentuh batu nisan yang dingin. Air matanya kembali mengalir deras, membasahi tanah di atas makam. Ia merasakan gelombang penyesalan yang begitu besar menemukan hatinya.

Renald berbisik yang isak tangisnya tertahan, “Aldara ini aku, Renald. Maafkan aku … Maafkan aku yang bodoh ini. Aku baru sadar betapa berharganya dirimu setelah semuanya terlambat.”

Ia terdiam sejenak membiarkan isak tangisnya keluar. Ia teringat kembali semua kenangan bersama Aldara, tawa mereka, dukungan Aldara, kesabarannya. Dan kini semua itu hanya tinggal kenangan yang menyakitkan.

Renald, “Aku menyesal telah menyakitimu. Menyesal karena tidak mempercayaimu. Menyesal karena di butakan oleh kebohongan. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik, Aldara. Jauh lebih baik dari aku.”

Renald tertunduk dalam, tangannya meremas tanah. Langit sore mulai gelap, seolah ikut merasakan kesedihan Renald. Di tengah sepi pemakaman hanya suara isak tangis Renald yang terdengar sebuah melodi penyesalan yang tak berujung.

 

****

Renald kembali ke rumahnya setelah dari makam Aldara. Wajahnya sembab, matanya merah dan bengkak menunjukkan betapa hancurnya perasaannya. Ia masuk ke dalam rumah. Malya yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton TV terkejut melihat kondisi Renald.

Malya khawatir, “Renald, ada apa denganmu? Kenapa matamu seperti itu? Kamu dari mana?”

Renald tidak menjawab. Ia hanya menatap Malya dengan sorot mata yang dingin penuh kemarahan.

Malya mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan Renald, “Kenapa kau menatapku seperti itu?”

Suaranya Renald serak dan berat hampir berbisik, “Aku baru saja dari makam.”

Wajah Malya sedikit memucat. Ia tahu Renald pasti sudah mengetahui semuanya.

Malya, “Makam? Makam siapa?”

Renald mulai meninggikan suara penuh emosi yang tidak terkendali, “Jangan pura-pura tidak tahu, Malya! Aku tahu semuanya! Aku dengar percakapanmu dengan temanmu yang bernama Serlin! Kau bukan adik tiriku! Kau menipuku! Kau menjebakku! Dan yang paling parah kau membuatku kehilangan, Aldara!”

Malya melompat dari sofa wajahnya pucat pasi. Ia mencoba mendekati Renald.

Malya, “Renald, kumohon dengarkan aku dulu! Aku bisa jelaskan! Aku melakukan ini karena aku mencintaimu!”

Lihat selengkapnya