“Bunga, buruan bangun. Nanti kamu terlambat!” Suara menggelegar Ibu setiap pagi menjadi alarm terbaik bagiku.
Huam, rasanya masih mengantuk sekali. Namun, aku harus segera bangkit, sebelum Ibu kembali memanggil. Tentunya dengan volume suara lebih tinggi. Aku masih duduk di kasur untuk mengumpulkan nyawa dan melakukan sedikit peregangan dengan mengangkat tangan ke atas. Meski hanya beralaskan tilam tahu di tempat tidur kayu ini, tidurku nikmat sekali setiap malam.
Pintu kamarku tiba-tiba ada yang mengetuk, “Mbak, buruan, dong. Nanti Aku telat.” Suara khasnya begitu kukenal.
“Sabar, ini juga udah bangun, kok,” sahutku dari dalam. Aku segera merapikan tempat tidur. Setelah itu, langsung mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu dan menuju kamar mandi.
Saat ingin menuju kamar mandi. Aku mendengar suara nyanyian dari dapur. Suaranya begitu merdu, yang tak asing di telingaku. Pasti suara Ayah dan Ibu. Ya, kedua orang tuaku itu mempunyai hobi yang sama, yaitu bernyanyi. Bahkan mereka pernah berduet di acara pesta ‘kawinan’ tetangga.
Aku berdiri di ambang pintu dapur dan melihat Ayah sedang menggoreng kerupuk, sedangkan Ibu lagi menguleni adonan kerupuk udang untuk pembuatan kerupuk selanjutnya. Ayah adalah penjual udang keliling, sedangkan Ibu adalah pembuat kerupuk udang. Akan tetapi, Ayah selalu membantu Ibu untuk menggoreng kerupuk. Kerupuk itu nantinya akan dititip di beberapa warung nasi dan kios dekat rumah. Kadang aku dan Adikku juga membawa kerupuk-kerupuk itu untuk dititipkan di kantin sekolah.
Alat penggorengan yang dipegang Ayah dijadikan mikrofon olehnya. Bergaya seperti seorang ‘Raja Dangdut’ menyanyikan lagu ‘Siapa Yang Punya’ membuat aku tak sanggup menahan tawa melihatnya. Ibu yang tak mau kalah juga beraksi bak ‘Rica Rachim’ dengan tangan dipenuhi adonan menyolek hidung Ayah. Akhirnya tawaku pun lepas begitu saja. Namun, mereka sama sekali tak terganggu dengan kehadiranku sampai akhirnya lagu itu selesai dinyanyikan. Aku pun memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi untuk mereka.
“Ngapain masih berdiri di situ, Neng? Bukannya mandi sana.” Ucapan Ibu membuat Aku menyengir sendiri. Aku segera bergegas masuk ke kamar mandi.
Rasanya bahagia sekali melihat kedua orang tua yang selalu akur. Aku tak pernah sekali pun melihat atau mendengar Ayah dan Ibu bertengkar atau pun hanya sekedar diam-diaman. Aku rasa mereka pintar sekali dalam menyelesaikan masalah, sehingga tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka.
Tak perlu berlama-lama di dalam kamar mandi. Aku segera menyelesaikan ritual mandiku sebelum Andi—Adikku satu-satunya itu mengetuk pintu kamar mandi. Kalau dipikir-pikir rasanya terbalik. Andi yang cowok, dia begitu rajin dan selalu awal bangun pagi. Selesai salat Subuh, dia tak pernah tidur lagi. Dia menyusun bungkusan-bungkusan kerupuk itu ke dalam keranjang plastik untuk dibawa ke kantin sekolahnya. Sedangkan aku kembali tidur melanjutkan mimpi sampai terbangun lagi oleh alarm terbaikku.
Meski keluargaku begitu sederhana dan hidup dari penghasilan jualan udang dan kerupuk, tetapi kami tak pernah sekali pun mengalami kekurangan. Aku dan Adikku juga bisa bersekolah. Ayah begitu tegas perihal pendidikan. Beliau akan melakukan apa saja demi anak-anaknya bisa sekolah.
***