Bunga Tak Sempat Mekar

Shafura
Chapter #2

Bab 2 Tamu yang Menyebalkan

Rasanya aku tak sanggup melihat Ayah menangis seperti itu. “Ayah, Ibu enggak akan marah, kok, kalau blendernya udah pecah. Lagi pula, Ibu, kan, udah enggak buat kerupuk lagi.”

Beling-beling sudah selesai kukumpulkan dalam kantong plastik. Aku menuntun Ayah untuk duduk di kursi dekat meja makan, karena aku mau menyapu sisa serpihan kaca itu agar tak terinjak. Kantong plastik yang berisi pecahan blender segera kubuang ke tempat sampah di luar dapur. Udara Subuh begitu dingin menusuk sampai ke tulang. Aku segera menutup pintu setelah selesai menyapu serpihan tersebut.

Azan Subuh berkumandang. Kulihat Ayah beranjak dari duduknya. Sepertinya perasaan Ayah sudah kembali tenang. Dia masuk ke kamar mandi. Berselang beberapa menit, dia keluar dengan wajah basah. Ayah mengambil peci dan sajadah di kursi ruang tamu dan segera menuju surau. Masih seperti biasa, Ayah selalu pergi ke surau setiap salat Subuh. Selepas itu, Ayah akan membawa pulang ember yang berisi udang dari tambak Pak Haji Junaedi, yang akan Ayah ider nantinya.

Aku pun segera masuk ke kamar mandi untuk berwudu. Aku kaget, karena Andi sudah berada di depan pintu kamar mandi saat aku membuka pintu hendak keluar.

“Astaghfirullah. Bikin kaget aja kamu, Ndi,” gerutuku. Kulihat dia mengucek-ngucek mata, mungkin bocah itu masih mengantuk.

“Siap salat nanti bobok lagi, gih. Hari ini, kan, Hari Minggu jadi bisa puas-puasin boboknya.” Saranku hanya ditanggapi anggukan olehnya.

Aku merasa bangga sama Adikku itu, meski dia juga sering bergadang untuk bergantian merawat Ibu, tetapi dia masih bisa bangun awal.

Selesai salat Subuh, aku tak lagi melanjutkan mimpi seperti biasa. Akan tetapi, pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Saat aku keluar kamar, aku juga berpas-pasan dengan Ibu yang juga baru keluar dari kamar.

Pagi ini, aku melihat wajah Ibu lebih cerah dari biasanya. Dia tersenyum manis kepadaku, aku pun membalasnya.

“Pagi ini, biar Ibu saja yang buat sarapan, ya, kamu bantu Ibu saja. Tapi Ibu salat Subuh dulu,” ucapnya. Mataku mengembun, segera kuanggukkan dengan cepat.

Ibu mempersiapkan bahan-bahannya. Pagi ini, Ibu mengatakan akan membuat nasi goreng spesial. Aku bantu mengupas bawang, memotong cabai dan tomat. Setelah itu, Ibu menggiling bumbu tersebut. Kalau soal masakan, Ibu lebih suka menggunakan batu gilingan untuk menghaluskan bumbunya. Katanya lebih enak digiling daripada diblender, oleh karena itu blendernya hanya digunakan untuk menghaluskan udang saja. Aku merajang dua siung bawang merah dan satu siung bawang putih untuk membuat telur dadar.

Aroma sedap dari tumisan bumbu nasi goreng menguar merayu indra penciuman. Pas sekali malam tadi aku sudah menanak nasi, sehingga tak perlu lagi memasaknya. Rencananya aku tinggal memanaskannya pagi ini. Aku mengambil nasi dari dandang dan memberikannya ke Ibu. Begitu cekatannya Ibu mengaduk nasi goreng dalam wajan, seperti yang dilakukannya dulu. Semenjak sakit Ibu dilarang turun ke dapur oleh Ayah. Aku dan Ayah yang biasanya memasak untuk makan kami. Namun, sejak Ayah sering pulang petang, aku lah yang menjadi juru masak di rumah Ini.

“Bunga, tolong ambilkan piring tiga buah,” perintah Ibu. Aku bergegas ke rak piring mengambil apa yang dimintanya.

Ibu langsung membagi nasinya ke tiga piring tersebut. Tiga piring nasi goreng sudah tersaji di meja makan.

“Ibu enggak makan? Kok cuma tiga, Bu?” Aku baru menyadarinya setelah melihat tiga piring tersebut di meja.

Lihat selengkapnya