“Sekarang kamu ambil surat itu! Biarkan suamimu tahu. Urusan datang atau tidak, itu tidak masalah. Malah lebih bagus bila dia tidak datang, perceraian tetap sah. Suami tidak berguna ngapain dipertahankan,” hardik Bude Maya.
Aku rasanya semakin tak suka dengan wanita berkaca mata itu. Kulihat Ibu menuju kamar. Berselang beberapa menit, Ibu keluar membawa sebuah amplop berwarna coklat. Entah kenapa jantungku berdetak begitu kencang.
Air yang aku masak ternyata sudah mendidih, segera kumatikan kompor. Kuurungkan niat untuk membuatkan teh untuk Bude Maya dan suaminya. Aku kembali melihat adegan Bude Maya yang seperti ingin memojokkan Ayah. Amplop yang Ibu bawa, diserahkan ke wanita berkaca mata itu.
“Nih, kamu baca isinya.” Amplop itu dicampakkan di meja oleh Bude Maya.
Ayah mengambil amplop itu, kemudian membuka isinya. Terlihat selembar kertas dikeluarkan dari dalam. Aku yang penasaran dengan isinya masih menunggu Ayah untuk membacakannya.
“Surat pemanggilan dari Pengadilan Agama.” Hanya itu yang diucapkan Ayah, selebihnya Ayah begitu serius memperhatikan kertas itu. Sampai pada akhirnya, Ayah melihat ke arah Ibu.
“Kamu menggugat cerai Aku, Bu?” Pertanyaan dari Ayah membuatku membatu. Rasanya tubuhku tak bisa digerakkan.
“Bu, jawab Aku, Bu!”
“Apa alasan Kamu menggugat Aku?” Ibu masih tak menjawab pertanyaan dari Ayah, melainkan hanya menangis.
“Sudah, sudah. Begini Rudy, biar Mbak yang jelaskan ke Kamu kenapa Nawang menggugat cerai Kamu. Karena Kamu tidak bisa membahagiakan dia. Nyatanya, dia sakit, Kamu tidak bisa membawanya berobat. Sehingga dia begini. Kamu lihat istri Kamu, kurus kering seperti itu. Apa itu namanya kalau bukan tidak bisa membahagiakan?” Penjelasan panjang dari Bude Maya membuatku geram.
“Bu, jawab Aku. Kenapa Kamu diam saja? Aku butuh penjelasan dari Kamu.” Ayah menggoyang-goyangkan tubuh Ibu.
“Katakan padaku, Apa selama ini Kamu enggak bahagia?”
“Rudy, kan, tadi sudah Mbak jelaskan ke Kamu, kenapa Kamu masih tanya ke Nawang,” racau Bude Maya.
“Tolong, Mbak. Aku hanya mau jawaban dari istriku bukan dari Mbak. Aku hanya butuh penjelasan darinya.” Ayah sama sekali tak melihat ke arah Bude Maya. Dia masih memegang pundak Ibu menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Ibu.
Kulihat Ibu menangis, wajahnya tertunduk. Ibu sepertinya tak berani menatap mata Ayah.
“Sri Nawang Wulandari.” Kali ini Ayah memanggil nama lengkap Ibu. Terlihat Ibu semakin terisak.