Sudah menginjak semester akhir. Di kalangan kampus pun aku sudah layak dipanggil Veteran Kampus, Investor Abadi Kampus, Sesepuh Fakultas, Mumi yang Berjalan untuk Bimbingan, atau sebutan-sebutan lain yang menunjukkan bahwa aku adalah mahasiswa tua yang dicabik-cabik oleh skripsi. Tidak hanya aku saja yang bernasib seperti ini, banyak dari temanku yang senasib seperjuangan. Bahkan di masa genting dan kacau seperti ini, ada dari temanku yang masih mengulang mata kuliah.
Tidaklah mudah untuk memacu semangat di tengah gempuran teman-teman seangkatan yang sudah momong bayi, menggelar pernikahan, ada juga yang mengajukan gugatan cerai. Namun, garis perjalanan masing-masing orang itu berbeda. Nyatanya gadis seangkatanku yang paling cantik, sekarang masih belum laku. Sedangkan yang wajahnya pas-pasan sudah momong dua anak. Ada juga yang dulu ketika kuliah pendiam, tahu-tahu setelah lulus menjadi kader partai, tentu saja dengan bantuan orang dalam.
Fakultasku memang unik dan beda dengan yang lain. Dulu ketika masuk kuliah di hari pertama, aku merasakan keanehan yang ditampilkan mahasiswanya. Ada dari mereka yang berambut klimis dan licin, berkemeja panjang, memakai celana bahan bak guru, tapi dia memakai sepatu futsal. Aku menahan tawa ketika itu. Sungguh aku juga pernah melihat mahasiswa yang memakai baju koko, tapi mengenakan celana training olahraga, dengan percaya dirinya memasuki ruang kelas.
Meskipun begitu, tidak sedikit juga yang berpenampilan urakan dan berantakan. Bercelana sobek dengkul, kaos yang berbau keringat atau bolong bekas terkena bara rokok, berambut gondrong, dan sering berkelompok untuk mengadakan diskusi biar terlihat pintar. Populasi aktivis kampus di Fakultasku lumayan banyak dan mendominasi. Mulai dari Presiden Mahasiswa sampai Himpunan Mahasiswa Jurusan dipegang oleh aktivis kampus, tapi ya dari golongan organisasi tertentu saja.
Tapi aku sudah tidak memikirkan hal itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya skripsiku bisa selesai kemudian bisa sidang. Adik-adik tingkat yang tidak aku kenali wajahnya pun bergerombol, di wajah mereka masih memancarkan aura optimis, tinggal menunggu waktu saja akan mangkel, kesal, tidak sedikit yang menangis ketika skripsian atau lelahnya menunggu pembimbing di depan ruangan.
Sudah beberapa semester aku tidak ke kampus, begitu pula dengan teman-temanku. Kali ini kampus terasa berbeda. Tidak ada lagi bendera-bendera organisasi yang dulu biasanya terpasang di sudut-sudut kampus, tidak ada lagi gerombolan mahasiswa yang duduk lesehan sambil diskusi, tidak ada lagi riuhnya mahasiswa yang berdemo di pertigaan kampus. Semua kenangan-kenangan itu membuatku tersenyum tiba-tiba.
Sebenarnya di Fakultasku dilarang merokok. Tapi sebagai mahasiswa tua yang sedang resah, aku mengeluarkan sebatang rokok kemudian membakarnya. Adik-adik tingkat yang melihatnya pun sedikit bengong kemudian saling berbisik. Peraturan larangan merokok yang dipasang di tembok fakultas sudah ada sejak pertama kali aku masuk ke sini. Sejak dulu tetap saja banyak mahasiswa yang kebal-kebul menghisap rokok, tapi sekarang mungkin tidak ada lagi mahasiswa yang seperti itu. Pantas saja aura di Fakultas ini sedikit lebih sejuk dan nampak rimbun hijau.
Di tengah kenikmatanku menghisap rokok, aku dikagetkan dengan sapaan dari salah satu mahasiswa yang bergerombol tadi.
“Mas, maaf mengganggu sebentar….,” kata mahasiswa tersebut tapi dengan ucapan yang menggantung. Dari matanya terpancar pandangan yang menelanjangi penampilanku. Maklum saja, kali ini aku mengenakan kemeja flanel, celana jeans yang sedikit sobek di bagian dengkul, topi rimba, dan ransel daypack outdoor yang menggambarkan penampilanku bukan seperti mahasiswa dari Fakultas ini. Berbeda jauh dari penampilan mahasiswa tersebut yang berpakaian rapi tapi masih mengenakan sepatu futsal ke kampus.
“Iya, ada apa ya?” jawabku sambil menghisap rokok.
“Maaf, Mas. Kan ada peraturan larangan merokok di Fakultas ini. Mohon mas untuk mematikannya. Atau ada yang bisa saya bantu? Mas ini dari fakultas mana atau dari kampus mana? Mau cari siapa?”
Aku tersenyum tapi dalam hati berkata “Asu.”
Sungguh sudah tidak ada yang mengenalku lagi di sini kecuali petugas tata usaha, orang pantri, dosen, penjaga warung selatan Fakultas, dan beberapa mahasiswa tua lain.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ide iseng. Berhubung dia tidak tahu siapa aku sebenarnya dan aku malas naik ke lantai tiga untuk bimbingan. Maka aku akan melancarkan aksiku.
“Oh iya, dek. Mohon maaf saya tidak tahu. Saya mahasiswa dari Semarang, niat saya ke sini mau ketemu salah satu dosen tapi saya bingung mau nyari ke mana, hp saya juga mati. Berhubung saya pusing, jadi saya rokokan dulu di sini. Soalnya di Fakultas saya boleh merokok bagi mahasiswa yang berani hehehe.”
“Mau cari siapa, Mas. Biar saya bantu.”
“Saya mau cari Pak Samsul. Hari ini saya ada janji dengan beliau, ada mega proyek yang kami kerjakan bersama. Kalau proyek ini tidak selesai, wah nasib Fakultas ini bisa dipertaruhkan lho.”
Raut wajah mahasiswa itu berubah menjadi kaget dan antusias. Dia yang tadinya berdiri tiba-tiba ikut bergabung duduk denganku.
“Proyek apa tuh, Mas? Kok menyangkut nasib Fakultas?”
Di dalam hati aku tertawa mati-matian, tapi aku tetap menampilkan wajah yang kalem dan serius.
“Proyek besar pokoknya.”
“Jarang-jarang Pak Samsul kedatangan tamu lho, Mas. Biasanya kalau ada tamu pasti tamunya orang besar dan penting.”
“Lhooo kamu kira aku bukan orang penting?”
“Bukan gitu, Mas. Kalau boleh tahu, Mas ini bergerak di bidang apa ya?”
“Saya ini peneliti di bidang pendidikan. Kebetulan saya dan Pak Samsul punya visi dan misi yang sama di bidang ini. Nah, Pak Samsul minta tolong saya untuk mempersiapkan akreditasi, gitu.”
“Wah mantap sekali Mas ini. Oh iya, nama Mas siapa? Biar saya yang memberitahu ke Pak Samsul kalau ditunggu tamunya di Taman Fakultas.”
“Wah apa tidak merepotkan Anda?”
“Tidak, Mas. Kebetulan saya ketua himpunan mahasiswa jurusan di sini.”
“Wah mantap sekali. Oh iya nama saya Raka. Tapi nanti bilang saja ke Pak Samsul kalau ditunggu peneliti dan pengamat pendidikan dari Semarang. Jangan sebut nama saya, beliau sudah tahu kok.”
“Oh iya siap Mas Raka. Tunggu sebentar ya, Mas. Saya ke ruangan beliau dulu.”
“Terima kasih ya.”
“Sama-sama, Mas.”
Mahasiswa itu berjalan cepat dan menaiki anak tangga. Gerombolannya yang tadi sempat berbisik-bisik mulai menganggukkan kepala kepadaku sebagai pertanda sapaan. Aku cukup puas kali ini menjahili ketua himpunan mahasiswa jurusan tadi. Aku tidak sabar menunggu reaksi Pak Samsul yang nantinya juga kena imbas dari keisenganku. Pak Samsul adalah salah satu dosen terbaik di Fakultas ini, beliau begitu memperhatikan potensi dan bakat yang dimiliki mahasiswanya, beliau juga yang menyadarkanku untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini. Bukan hanya aku yang disadarkan, tapi teman-temanku yang senasib denganku juga demikian. Hari ini katanya mereka akan bimbingan bareng, tapi sampai sekarang belum terlihat batang hidungnya.
Batang kedua mulai aku bakar. Salah satu orang pantri yang kebetulan lewat menyapaku. Beliau adalah orang yang sering aku mintai teh hangat dari dapur kampus. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, terakhir kali itu pun di tahun 2018. Untungnya beliau masih mengingatku. Tidak lama setelah itu, beberapa temanku mulai muncul dengan penampilannya yang masih saja urakan, bahkan salah satu temanku bernama Rizki lebih mirip orang yang akan naik gunung dibanding orang yang akan bimbingan skripsi.
Ada tiga teman yang datang kali ini. Kebetulan pembimbing kami adalah Pak Samsul. Oh iya, Pak Samsul ini adalah spesialis penanganan skripsi mahasiswa yang nasibnya di ujung tanduk. Temanku yang pertama bernama Rizki, si anak mapala yang salah jurusan. Dia ini memiliki wajah yang mirip dengan Felix Siauw, sehingga kami lebih senang menyebutnya Rizki Siauw. Temanku yang kedua bernama Fahmi, dia juga baru terlihat kembali di kampus setelah sibuk mengobati patah hati ditinggal menikah pacarnya yang bernama Dista. Memang wanita sekalinya menjadi bajingan maka langsung bisa dianugerahi bajingan kelas kakap. Temanku yang ketiga bernama Anis, orang yang paling tua secara umur dan semester di Fakultas ini.
“Fakultas kok tambah sejuk dan terkesan alim ya,” kata Anis setelah melihat tampilan mahasiswa dan mahasiswi di sini yang terkesan seperti di Mesir.
“Bagi rokok dong,” lanjutnya.
“Iya juga ya. Atau masa kita yang memang sudah habis. Memang masih ada yang berpenampilan tidak karuan macam kita ini?” kata Fahmi.
“Sudah tidak ada sih, kita doang yang terkesan anarko hahaha,” kataku.
“Eh Raka, sudah ketemu Pak Samsul?” tanya Rizki.
“Santai, ada orang yang aku utus untuk menjemput beliau.”
“Ha, maksudnya?”
Aku pun mulai menceritakan kronologi ketua himpunan mahasiswa jurusan yang aku kerjain untuk memanggil Pak Samsul. Mereka tertawa girang setelah mendengar ceritaku. Kehadiran kami di tengah gerombolan mahasiswa yang asing dengan wajah kami, mengharuskan untuk berakting seolah kami bukan mahasiswa sini.
“Asli iseng banget kamu, Ka. Astagfirullah hahaha,” kata Fahmi.
“Kok lama ya utusanmu datang membawa Sang Juru Selamat,” kata Anis.
“Sabar, belum lama dia aku utus kok. Rokokan saja dulu kita.”
“Sudah sampai bab berapa kalian nih?”
Pertanyaan dari Rizki membuat kami hening. Seperti ada trauma yang ada di hati ketika ada yang membahas tentang skripsi.
“Kalau aku baru bab empat ini. Data sih sudah dihitung, ya tinggal ngerapihin saja,” kataku
“Kalau aku sama. Tapi belum transkip wawancara.” kata Fahmi.