BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #2

HUJAN DAN JAS HUJAN #2

Pagi ini aku mempersiapkan diri ke Banjarnegara untuk menemui Hana. Tadi malam dia sudah kuberi tahu tentang hal ini dan tentang taruhan yang diajukan oleh teman-teman. Dia tertawa terbahak sampai aku bisa membayangkan betapa manisnya dia saat itu. Hampir empat tahun hubungan kami berlangsung. Awal pertemuan kami pun tidak disengaja dan saat itu penuh dengan kegemasan.

Aku ingin sedikit menyegarkan ingatanku pagi ini dengan mengingat awal pertemuan kami. Di tahun dan di bulan itu sudah memasuki musim hujan yang rutin dan deras. Aku baru saja selesai makan bakso di warung langgananku yang terletak di Taman Siswa. Memang sejak awal aku berangkat dari kos, awan hitam sudah menghantui dengan deras air hujannya. Maka saat itu aku memutuskan untuk membawa jas hujan.

Aku melajukan motorku menuju kampus. Sebenarnya tidak ada kelas siang ini, tapi niatku ke kampus adalah untuk nongkrong di markas Illuminati. Beberapa dari mereka juga nitip bakso dari tempat langgananku. Samar terdengar suara gemuruh geledek kemudian disusul dengan rintik kecil. Aku masih tidak berniat untuk memakai jas hujan, aku berasumsi rintik kecil yang turun sampai aku tiba di kampus. Tiba asumsiku salah. Tidak lama kemudian hujan deras disertai angin yang turun. Buru-buru aku menepikan motorku ke ruko yang kebetulan sedang tutup dan memiliki tempat untuk berteduh.

Jok motor aku buka untuk mengambil jas hujan. Ketika aku hendak memakainya, pandanganku teralihkan kepada seorang wanita di sebelahku yang nampak gundah, resah, seperti ingin menangis sambil melihat hujan yang masih deras turun. Saat itu aku tidak jadi mengenakan jas hujan dan lebih memilih untuk bertanya kepada wanita itu

“Mbak,” kataku pelan. Wanita itu menoleh ke arahku. Seperti disambar petir, sekarang aku melihat wajah ayunya. Aku dibuatnya hening membatu beberapa saat.

“Iya, Mas.”

“Kok kelihatannya gundah banget? Mau nangis juga kayaknya?”

Wanita itu dengan cepat menyeka air matanya “Eh tidak, Mas. Cuma gini, sebentar lagi saya ada kuliah dan presentasi. Dosennya galak banget. Kalau tidak masuk presentasi pasti dapat nilai jelek. Saya lupa bawa jas hujan tadi.”

Aku pun melihat jas hujan yang sedang aku pegang. Lagipula aku tidak sedang buru-buru. Tanpa pikir panjang, aku meminjamkan jas hujanku ke wanita itu.

“Ini bawa jas hujan saya saja. Kebetulan saya lagi nyantai.”

Pandangan wanita itu menggambarkan kaget. Pelan dia mengambilnya dari tanganku. Bibirnya yang gemetar karena dingin membuatnya semakin lucu.

“Beneran ini tidak apa-apa, Mas?”

“Iya, santai saja. Cepetan dipakai, keburu telat lho.”

Dengan cepat wanita itu mengenakan jas hujanku. Aku menahan tawa karena dia tenggelam saat mengenakannya. Maklum saja, jas hujanku ukurannya besar, sedangkan wanita itu mungil.

“Hahahaha kebesaran. Terima kasih ya, Mas.”

“Iya sama-sama.”

“Eh, tapi masnya nunggu di sini lama dong sampai hujannya reda?”

“Tidak apa-apa. Saya suka lihat hujan kok.”

“Oh iya, nama masnya siapa? kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya.

“Raka.”

“Saya Hana. Hampir lupa, saya mengembalikan jas hujannya ke mana ya?”

“Bawa saja dulu. Kalau jodoh tidak akan ke mana.”

“Maksudnya?”

“Eh, kalau aku dan jas hujanku jodoh, pasti bakal balik kok. Sudah sudah, sebaiknya kamu cepat berangkat. Sudah jam segini lho.”

“Terima kasih ya, Mas. Saya berangkat dulu.”

Saat itu hujan seakan berganti iramanya. Tidak lagi suara air jatuh yang mengenai atap ruko, tapi irama hujan berganti dengan lagu Dewa19 yang berjudul Cinta Kan Membawamu. Aku terkena jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Hana. Sejujurnya jika menyangkut tentang perasaan, aku tidak bisa berbohong. Saat itu aku melihat Hana melajukan motor dengan jas hujan yang kedodoran. Dilihat dari belakang saja sudah manis, apalagi kalau dari depan.

Waktu pun terus berlalu. Hujan yang tadinya deras sudah hampir reda. Aku memutuskan untuk menerabas rintik kecil menuju kampus. Bakso yang aku bungkus sudah hampir dingin. Pasti teman-teman akan protes dan tidak menerima alasanku. Aku tidak peduli, yang penting pertemuanku dengan Hana membahagiakan segalanya.

Akhirnya aku sampai di kampus. Setelah aku memarkirkan motorku, aku langsung menuju markas Illuminati. Di sana sudah ada beberapa anggota yang sedang asik berbincang sambil ngemil kacang. Meskipun markas kami ada di luar gedung, tapi air hujan tidak terlalu banyak membasahi markas karena dinaungi pohon mangga besar.

“Lama banget,” kata Fahmi.

“Iya nih, lapar banget ini lho,” kata Dista.

Saat itu Fahmi dan Dista adalah pasangan paling serasi di Fakultas ini. Di mana ada Fahmi maka di situ juga ada Dista. Mereka berdua juga sama gila dan sintingnya. Setelah aku memberikan bungkusan bakso ke orang-orang yang nitip, Anis bergegas ke Pantri Fakultas untuk meminjam mangkok dan sendok. Memang Fakultas ini sudah seperti rumah kami sendiri.

“Kenapa lama banget sih?”

Ketika mendapati pertanyaan tersebut, aku malah tersenyum tiba-tiba dan membuat teman-temanku ngeri sendiri.

“Habis nolongin bidadari hehehe,” kataku.

Teman-temanku yang mendengarnya pun menyebutku gila, tidak waras, dan harus cepat-cepat diruqyah.

“Mana ada bidadari di dunia ini.” kata Anis.

“Ada. Ini tuh,” kata Fahmi sambil menunjuk Dista.

“Adaaaa. Tadi aku nolongin dia pas lagi neduh. Dia kan tidak bawa jas hujan, terus dia ada kuliah penting. Yasudah aku tolongin deh,” kataku.

“Asuuuuu so sweet bajingan.”

“Terus kalian kenalan?” tanya Dista.

“Iya dong. Namanya Hana. Tapi aku lupa nanya dia kuliah di mana.”

“Yaaaah jas hujanmu hilang dong.”

“Tidak apa-apa. Ganjarannya setimpal kok hehehe bisa kenalan sama bidadari.”

“Raka stress.”

Hujan sudah reda. Aku dan teman-teman masih berada di markas Illuminati sampai sore. Kami berbincang banyak saat itu, tapi pikiranku masih berfokus kepada Hana. Rokok yang aku hisap seakan bertambah nikmatnya dan asapnya membentuk rupa ayu wajah Hana.

“Ngelamun teroooos.” kata Rizki sambil mendorongku.

Lihat selengkapnya